Bab 20: Puncak Operasi

0 0 0
                                    

Bab 20: Puncak Operasi

“Kesetiaan tidak dapat dipaksakan. Itu adalah sesuatu yang lahir dari rasa hormat dan keyakinan.” -- John Wooden

Saat penyergapan dimulai, Romanov mengambil posisi di sebuah titik tersembunyi di ketinggian, di belakang tim utamanya. Dari lokasi ini, dia bisa mengawasi seluruh pergerakan tim dengan pandangan yang jelas terhadap medan operasi. Dia memantau situasi melalui teropong berteknologi tinggi yang terhubung ke feed drone, memungkinkan pengamatan visual sekaligus memantau komunikasi tim.

Posisinya sedikit lebih jauh dari pintu masuk pangkalan, tetapi masih cukup dekat untuk turun ke medan jika situasi mendesak. Romanov tidak berada di garis depan, posisinya lebih sebagai pengawas dan pengendali. Dari balik pohon besar, dia terus berkomunikasi dengan tim melalui perangkat radio yang terhubung dengan seluruh unit. Ini memberinya ruang untuk bereaksi cepat jika rencana harus berubah mendadak, termasuk jika musuh menyadari keberadaan mereka atau letnan yang berkhianat mencoba melarikan diri. Jika situasi darurat muncul, dia harus siap turun langsung.

Malam semakin gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup bulan yang tertutup awan. Mata dinginnya mengawasi tiap gerakan tim penyerbu yang sudah bersiap beberapa meter di depan. Tangan kirinya menggenggam radio, dia melihat ke arah tiap anggota tim penyerbu yang bersiap di posisi mereka masing-masing, menunggu aba-aba untuk bergerak. Suasana hening, hanya terdengar desiran angin di antara ranting pohon dan napas berat dari para prajurit. Romanov, sambil menjaga suaranya tetap rendah untuk menghindari terdengar oleh musuh, mulai berbicara.
“Alpha, Bravo, status?”

“Siap di posisi,” jawab suara pemimpin tim Alpha, diikuti laporan yang sama dari tim Bravo. Mereka tidak boleh membiarkan letnan dan anak buahnya lolos.

“Semua unit, dengar. Perimeter sudah diamankan. Penyerbu Alpha, Bravo, kalian harus menembus pangkalan tanpa terdeteksi. Jangan berikan mereka waktu untuk bereaksi. Prioritas kita, Letnan Zurislav harus ditangkap hidup-hidup. Tidak ada tembakan kecuali terpaksa.” Suaranya nyaris berbisik di saluran radio, tetapi penuh otoritas. Ia kemudian menatap langsung pada pemimpin tim penyerbu, memberikan isyarat terakhir dengan anggukan.

“Mulai,” perintah Romanov akhirnya, tanpa jeda. Dengan sinyal tersebut, tim penyerbu mulai bergerak maju secara perlahan, memanfaatkan setiap bayangan dan rintangan di sekitar untuk mendekati pintu masuk pangkalan bawah tanah.

Waktu terasa berjalan lambat, tapi timnya bergerak dengan efisiensi diam-diam, tanpa suara.

Setibanya di pintu masuk yang tersembunyi oleh tumbuhan liar, tim Bravo mengambil posisi di sekitar, menutup setiap jalur pelarian yang mungkin digunakan Letnan. Tim Alpha mulai mempersiapkan infiltrasi ke dalam pangkalan. Sebuah suara gesekan logam terdengar samar ketika salah satu prajurit membuka pintu baja yang tersembunyi di bawah dedaunan kering. Jantung Romanov berdegup sedikit lebih cepat setelah melihat anak buahnya turun dalam aksi, meski wajahnya tetap tenang. Ini adalah momen yang paling berbahaya.

Tiba-tiba, letusan tembakan terdengar dari dalam. Letnan dan anak buahnya rupanya menyadari keberadaan mereka. Tembakan itu membelah malam yang sunyi, memaksa semua orang bergerak cepat.

“Kontak!” teriak salah satu anggota tim Alpha melalui radio. Baku tembak langsung pecah.

Kapten Romanov tetap tenang, segera memberikan instruksi. “Alpha, berlindung! Bravo, perkuat posisi. Jangan biarkan mereka keluar!”

Tim Alpha berlindung di balik dinding dan struktur di dalam pangkalan, membalas tembakan dengan presisi. Tim Bravo, di luar, memperketat penjagaan di sekeliling, memastikan tidak ada yang bisa melarikan diri. Tembakan terus bersahutan, menghantam logam dan beton di sekitar mereka.

“Granat asap, sekarang!” Romanov memerintahkan. Asap mulai memenuhi area pertempuran, memberikan kesempatan bagi tim Alpha untuk mendekat tanpa terlihat oleh musuh.

Rahang Romanov mengencang saat dia memperhatikan dengan cermat setiap langkah anak buahnya. Meski ia terkenal sebagai pemimpin yang dingin dan berjarak, dalam situasi seperti ini, taktik dan keselamatan timnya menjadi prioritas utama. “Perlahan, ambil posisi. Fokus cari posisi Letnan, jangan bunuh dia,” lanjutnya, suaranya tetap stabil meski situasi semakin genting.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, tembakan musuh mulai mereda. Beberapa dari mereka sudah dilumpuhkan, namun Letnan belum terlihat. Suasana tegang. Romanov menyadari bahwa Letnan mungkin bersiap untuk perlawanan terakhir, atau bahkan melarikan diri melalui jalur tersembunyi lain di dalam pangkalan.

Dia memberikan perintah terakhir. “Tim Bravo, siapkan diri untuk penyergapan di pintu keluar. Tim Alpha, masuk lebih dalam. Kita bawa Letnan Zurislav hidup-hidup.”
Romanov terus memantau perkembangan melalui perangkat komunikasi di tangannya. Suara tembakan dari dalam pangkalan bawah tanah terdengar samar tetapi jelas, menggema di antara pepohonan lebat yang mengelilingi mereka. Tim penyergap sudah mulai masuk, dan baku tembak pecah beberapa menit setelah mereka menerobos pintu masuk terowongan.

“Posisi terkunci. Tim Alpha, laporkan situasi.” Suara di radio terdengar tegang, meski tetap tenang.

“Musuh bersembunyi di bagian terdalam pangkalan. Mereka menembaki kami dari dalam, tapi kami sudah mengepung lorong utama,” jawab salah satu prajurit. Romanov mengangguk, meskipun tak ada yang bisa melihatnya. Situasi ini kritis, dan Zurislav yang mereka buru berada di dalam, terlindung oleh anak buahnya.

“Tekan mereka, jangan masuk terlalu cepat,” perintah Kapten, suaranya datar. Namun penuh kendali.

Sementara tim penyergap terus menekan, pemindai termal mulai bekerja. Di layar kecil yang berada di tangan prajurit, beberapa sosok terlihat bergerak di balik dinding. Mereka bersembunyi di salah satu ruangan terdalam, mencoba bertahan sambil menembakkan peluru secara sporadis ke arah tim yang mendekat.

“Kontak visual. Mereka ada di dalam ruangan, sekitar lima orang, termasuk Letnan.” Suara prajurit dari Tim Alpha kembali terdengar.

Romanov menghela napas pelan, matanya tetap terfokus pada layar kecil yang ada di depannya. Ini momen penting. Dia tidak ingin Zurislav terbunuh dalam baku tembak ini. Bukan hanya untuk keadilan, tapi karena informasi penting mungkin masih bisa digali dari pengkhianat itu.

“Gunakan gas air mata. Paksa mereka keluar,” perintah Romanov cepat.

Beberapa detik kemudian, bunyi granat gas dilemparkan terdengar dari radio, disusul batuk-batuk dan teriakan dari dalam pangkalan. Suara tembakan dan saling tukar peluru mulai mereda. Tim Alpha bergerak maju untuk mengapit setiap sudut dan mengepung ruangan di mana Zurislav dan anak buahnya berada. Membuat mereka tak punya banyak pilihan lagi.

Dalam hitungan menit, prajurit yang sudah berada di posisi siap siaga mendekati pintu. Beberapa kali peringatan diberikan, menawarkan Zurislav kesempatan untuk menyerah. Rasa tegang menggantung di udara, sementara mata setiap prajurit tak berkedip, menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.

“Letakkan senjata dan keluarlah dengan tangan di atas kepala, atau kami akan masuk!” teriak tegas pemimpin tim terdengar di seluruh ruangan. Suara napas berat seluruh tim terdengar, mereka menunggu keputusan dari Zurislav dan anak buahnya. Pemimpin tim, menoleh ke setiap anggota. Mereka siap masuk jika Zurislav tidak kunjung keluar.

The Thin Line of Duty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang