Bab 18: Trauma? Mungkin

2 1 0
                                    

Bab 18: Trauma? Mungkin

“Dalam perang, hanya yang kuat yang bertahan. Tapi yang setia adalah yang dihormati.” -- Niccolò Machiavelli

Obrolan pelan terdengar dari tamtama yang sedang bersandar pada tembok belakang pos, beberapa masih berdiri, ada yang jongkok, dan ada yang duduk. Senjata mereka ditaruh di tanah. Romanov beranjak ke area pos di mana prajurit-prajurit yang selamat beristirahat, yaitu di belakang pos. Suasana di sana  terkendali, dengan para prajurit yang mencoba menenangkan diri setelah kejadian pengkhianatan.

Romanov berjalan mendekat, matanya mengamati satu per satu wajah mereka. Beberapa terlihat lelah, yang lain masih waspada, seolah-olah siap untuk bertindak jika diperlukan. Romanov berhenti di depan mereka, dan dengan suara tenang namun tegas, dia mulai berbicara. “Bagaimana kondisi kalian?” tanyanya sambil melihat langsung ke arah masing-masing prajurit. “Ada yang butuh perawatan?”

Liev menjawab, “Kami baik-baik saja, Kapten. Hanya sedikit kelelahan, tapi tidak ada luka serius.”

Romanov mengangguk, tapi masih tampak fokus. “Kalian harus melakukan pemeriksaan ulang. Pastikan kalian tidak melewatkan apa pun. Luka kecil bisa menjadi masalah besar.”

Dia kemudian menepuk bahu salah satu prajurit terdekat, yaitu Liev yang berdiri sambil bersandar, dan berkata, “Istirahat sebentar, jangan terlalu lengah. Kita harus tetap siap. Situasi bisa berubah.”

Ketika Romanov yang biasanya dingin dan tampak tidak terlalu peduli pada prajuritnya, tiba-tiba menepuk-nepuk bahu Liev, suasana langsung berubah. Beberapa prajurit saling menatap dengan raut terkejut.

Liev awalnya kaku, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Dia melirik ke arah rekan-rekannya yang masih menahan nafas, kemudian tersenyum gugup. “Baik, Kapten,” jawabnya singkat, masih dengan tatapan kaget. Romanov hanya menjawab dengan anggukan. Lalu, dia berjalan menjauh.

Tamtama lain, yang duduk di sebelah Liev, hanya bisa menatap Romanov yang berjalan pergi dengan dahi berkerut. Ia menggumam pelan, “Apa ini mimpi?”

Kebingungan yang samar-samar terasa hangat tiba-tiba terasa, seperti mereka baru saja melihat sisi lain dari pemimpin yang mereka kira tidak pernah ada. Meskipun Romanov tidak mengatakan banyak, satu tepukan di bahu tersebut mengirimkan pesan yang kuat bagi prajurit-prajuritnya: di balik sikap dinginnya, ia peduli dengan keselamatan dan kesejahteraan mereka.

Liev menelan ludah. Rahangnya terjatuh. Dengan ekspresi kaget, tangannya memegang bahunya yang baru saja disentuh Romanov. “Kalian yakin tadi itu kapten ...?” bisiknya.

Prajurit lain juga memiliki wajah heran dan terkejut. Salah satu dari mereka menggeleng, kemudian berbicara. “Tidak juga ..., kapten  tidak pernah melakukan kontak fisik seperti itu sebelumnya, apalagi terlihat peduli dengan bawahannya.”

“Itu yang membuatku heran,” sahut Liev, masih memegang bahunya.

Seseorang tertawa pelan melihat ekspresi kebingungan Liev yang lucu, cara rahang Liev terjatuh ... dan matanya yang melebar.

“Mungkin ... sedang tidak tega melihat bawahannya yang mengenaskan setelah dikhianati manusia bajingan seperti Zurislav?”

celetuk salah satu prajurit muda sambil mengelus dagu. Ucapannya mengundang senyum tipis dari teman-temannya.
Liev menggelengkan kepalanya. “Mulutmu jujur, Aleksei. Namun terlalu ceplas-ceplos.”

Aleksei mengangkat bahu. “Jujur bukan hal yang buruk, hei.”

***

Fajar telah datang, langit di luar pos menunjukkan warna semburat jingga yang indah, kontras dengan tim Romanov yang baru saja mengalami insiden mengerikan.

The Thin Line of Duty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang