Bab 12: Mereka Datang

1 1 0
                                    

Bab 12: Mereka Datang


“Dalam perang, kebenaran adalah hal pertama yang menjadi korban.” -- Hiram Johnson

Fajar menyingsing. Cahaya lembut merayap di antara celah-celah kantong pasir dan dinding kayu. Di dalam, Fyodor dan Volkova masih duduk bersisian, merenungkan percakapan panjang yang baru saja mereka lalui. Udara terasa tenang, tetapi dipenuhi beban yang tak terucapkan.

“Sulit dipercaya,” gumam Fyodor, suaranya hampir tenggelam oleh angin pagi yang sejuk.

Volkova tersenyum tipis, namun kali ini, senyumnya tidak membawa humor seperti biasa. Ia hanya mengangguk pelan, menatap tanah, seakan mencoba menahan semua perasaan yang membuncah. Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua, sejenak memberi ruang bagi pikiran-pikiran yang terlalu berat untuk diungkapkan.

Memang benar, setiap manusia memiliki luka masing-masing yang membuat mereka lebih kuat. Mereka hanyalah manusia, bukan pahlawan yang kebal akan luka. Mereka dipaksa menjadi kuat, bukan karena pilihan, tapi karena keadaan yang memaksa mereka terus maju. Seperti ranting yang patah dan dipaksa bertahan oleh angin, begitu juga mereka berdua. Semua rasa sakit, tangisan yang tertahan, bercampur dengan harapan samar yang masih berpendar di hati mereka.

“Kita tidak pernah memilih ini,” Volkova berbisik pelan, suaranya cukup lembut.
Mereka hanya jiwa-jiwa yang terimpit oleh kekejaman dunia, terseret dalam permainan kekuatan yang tak mereka pilih. Namun, di tempat ini, kekuatan bukan pilihan. Itu adalah keharusan, untuk bertahan di medan yang tidak pernah mengenal belas kasih.

Pada pagi hari sekitar pukul 08.00-10.00, Kapten melakukan pengecekan rutin atau inspeksi. Romanov juga mendapat tugas berpindah antar pos untuk melakukan inspeksi rutin seperti, memastikan kondisi logistik, keamanan perimeter, atau senjata.) Pukul 09.00, Romanov mencapai pos yang digunakan Fyodor dan Volkova beristirahat. Melihat Romanov yang dapat, para prajurit bereaksi seperti biasa, segera berdiri tegap dan memberikan hormat sebelum Romanov memberikan instruksi lanjutan pada mereka untuk mengizinkan kepada aktivitas semula. Dia berjalan mendekati Letnan, tetapi, sesuatu menarik perhatiannya.

Radio yang berada di meja berbunyi. Terdengar suara statis/bunyi desis pendek, tanda bahwa ada transmisi yang masuk. Semua mata personel, mengarah ke radio tersebut. Romanov menghentikan langkahnya. Seketika, situasi menjadi hening.

“Komando lapangan, ini Pos Radar Alpha.”

“Tiga pesawat musuh mendekat dari utara, ETA tiga menit, serangan udara sangat memungkinkan!” Suara di sana berbicara dengan nada tegas dan mendesak, menandakan bahwa situasi darurat akan segera datang.

ETA berarti Estimation Time of Arrival, atau estimasi waktu kedatangan.

“Jangkauan seratus kilometer, menuju posisi kalian.”

Deg ...!

Tamtama yang tadinya sedang duduk, langsung mengambil posisi berdiri. Mereka saling menatap dengan ekspresi bingung dan panik. Beberapa dari mereka, otomatis membuka mulutnya. Jantung terasa turun dari tempatnya. Tiga menit? Hanya memiliki waktu 3 menit? Sebaiknya segera bergerak sebelum mendapatkan tiket menuju surga.

Zurislav mendongak, menatap Romanov yang berdiri di depan meja. Romanov masih seperti biasanya, memiliki ekspresi tenang dan datar, matanya menatap Zurislav dengan tajam, lalu ia mengangguk. Melihat respons dari Romanov, Zurislav segera berbicara kepada pemantau radar, lewat radio.

“Laporan diterima. Komando lapangan segera bergerak,” balas Zurislav dengan tegas.

Saat Romanov dan Zurislav bertatapan, suara yang mereka familier telah datang, yaitu deru pesawat tempur. Romanov mengeluarkan  perintah tegas dari posisinya. “Masuk ke dalam bungker, sekarang!” bentaknya.

Setelah mendengar perintah Romanov, mereka merasakan campuran takut dan cemas, seketika, bulu kuduk berdiri. Para prajurit berlari, melangkah cepat menunggu tempat perlindungan yang aman, diiringi Zurislav yang membantu memimpin mereka, memastikan tidak ada yang tertinggal.
“Cepat! Kita tidak bisa kehilangan satu orang pun!” teriaknya.

Romanov menghitung mundur di dalam hati untuk memperkirakan. Setelah mencapai ujung tangga, Romanov melangkah masuk. Di dalam bungker, Romanov dan Zurislav berdekatan, mereka segera menghubungi Mayor lewat radio, berharap untuk mendapatkan dukungan segera. Setelah transmisi berhasil, Zurislav berbicara.

“Mayor, ini Letnan Zurislav. Pos Gamma ada potensi serangan udara dua menit lagi, mohon segera kirimkan dukungan,” ujarnya.
Romanov yang berada di sampingnya, mengawasi prajurit yang terlihat gugup di dalam bungker, sementara Letnan terus berkomunikasi. “Komandan, kami butuh dukungan udara secepatnya, ini mendesak,” lanjutnya, menantikan jawaban yang bisa menentukan nasib mereka.

Suara gemuruh melintas, mengganggu ketenangan, detak jantung mereka hampir mengalahkan suara bom yang mulai jatuh, panik tidak bisa terhindar.

Tanah terguncang, beberapa prajurit terjatuh, bumi di bawah kaki bergoyang, wajah mereka menyentuh tanah. Teman mereka yang berada di sisi, segera berusaha sebisa mungkin untuk membantu. Disusul dengan debu dan puing-puing yang runtuh akibat dentuman serangan udara. Para prajurit tidak bisa mendapatkan penglihatan baik karena debu. Sementara, napas mereka mulai sesak karena tidak cukupnya oksigen.

Hanya dengan 1 kali batuk dan gerakan tiba-tiba Fyodor yang tersandung ke depan, membuat Volkova dengan spontan memegangi lengannya. “Tahan posisi, Fyodor, kau bisa tertimpa,” ucapnya dengan cukup keras agar Fyodor mendengarnya. Prajurit mulai melemah, sementara yang lain membantu teman mereka.

“Tetap tenang!” teriak Romanov, berusaha menenangkan tim yang mulai panik. Zurislav masih berfokus kepada radio yang dia pegang.

Romanov memperhatikan suara pesawat dengan teliti di tengah kebisingan bungker. Satu ledakan terjadi, mereka berusaha mempertahankan keseimbangan. Setelah ledakan mereda, Romanov menoleh ke arah Zurislav. “Pesawat musuh belok setelah menjatuhkan bom.”

Anggukan kepala terlihat dari Zurislav, lalu dia kembali berbicara di radio. Setelah atasannya membalas, helaan napas lega terdengar. Dia menoleh ke Romanov. “Mereka akan segera datang.”

Bungker gelap dan pengap, para prajurit duduk berdesakan, berusaha menenangkan napas di udara yang semakin tipis. Romanov masih berdiri di dekat pintu, matanya terus memantau senjata di tangan, sementara Di tengah kesunyian yang mendebarkan, hanya ada satu hal yang dipikirkan semua orang: kapan ini akan berakhir?

Dengan udara yang mulai menipis dan rasa sesak yang meningkat, prajurit akan berusaha untuk tetap tenang, tetapi susah. Zurislav memberi perintah agar prajurit mengontrol napas mereka untuk menghemat oksigen dan mencegah kepanikan. Beberapa prajurit masih berdiri, ada yang jongkok, duduk, maupun yang berbaring di tanah dengan tengkurap.
“Tetap tenang. Tarik napas perlahan. Jangan buang energi. Kita akan keluar dari sini.”

Obrolan pelan mulai terdengar dari para prajurit. Fyodor yang sudah terjatuh ke tanah, terengah-engah, dengan Volkova yang berjongkok di sampingnya. “Fyodor?” panggilnya.

“Kenapa?” balas Fyodor di sela-sela napas beratnya.

“Setelah ini kita harusnya dapat istirahat lebih lama.”

“Terserah, Volkova, aku setuju tapi ....”

Volkova mengernyit. “Kau terdengar seperti akan mati jika dari napasmu.”

“Hampir,” canda Fyodor.

Volkova berdehem. “Semoga kita tidak perlu bertahan lama di sini, bungker ini seperti oven, betul?!” tanyanya dengan keras sambil mengangkat kepalanya dan menatap setiap prajurit.

Beberapa tamtama yang masih memiliki energi tersisa, meneriakkan, “Ya!”

Romanov menggelengkan kepalanya setelah melihat Volkova sedikit mencairkan suasana.

“Mereka tidak akan berdiam,” Boris, yang berdiri di depan Romanov, bergumam.

Romanov mengangkat alisnya setelah mendengar Boris. “Siapa?”
“Atasan kita, tentu saja. Mereka akan segera melakukan pengintaian untuk mengupayakan serangan balasan, mungkin?” tanyanya sambil menebak-nebak.

“Jika musuh melakukan serangan lanjutan setelah ini, iya.”

The Thin Line of Duty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang