Trauma itu datang

87 4 0
                                    

Saat di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa lebih hangat dan cair daripada yang Rossa bayangkan. Baskara, yang biasanya dikenal sebagai sosok serius dan tegas di mata banyak orang, ternyata sangat mudah bercanda dan santai ketika berbicara dengannya.

“Nggak nyangka ya, Bu Rossa, ternyata jadi guru bisa ngadepin situasi rumit kayak tadi,” ucap Baskara sambil tersenyum, matanya sesekali menatap jalan.

Rossa tertawa kecil, sedikit merasa canggung, tapi tetap merespons dengan hangat. “Iya, pak Baskara. Urusan anak-anak itu kadang lebih rumit daripada orang dewasa. Apalagi kalau mereka udah mulai ada konflik.”

Baskara mengangguk paham. “Betul. Tapi saya salut sama Ibu. Tadi waktu di ruang BK, Ibu tetap tenang meskipun pasti rasanya khawatir banget.”

Mendengar itu, Arga yang duduk di kursi belakang bersama Serra hanya bisa mengangkat alis. Tatapannya beralih antara Baskara dan Rossa, terlihat sedikit bingung dan heran. Papa bisa secair ini sama Bu Rossa? Pikirnya dalam hati. Selama ini, Arga selalu melihat papanya bersikap dingin dan tertutup dengan wanita lain setelah ibunya meninggal. Baskara tidak pernah terlihat tertarik untuk membuka diri lagi dengan perempuan mana pun.

Namun, hari ini berbeda. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Baskara berbicara dengan Rossa. Terlihat jelas bahwa Baskara merasa nyaman, dan itu membuat Arga semakin heran. “Eh, Papa kok beda ya,” gumamnya pelan, yang membuat Serra menoleh dengan tatapan bertanya.

“Kenapa?” tanya Serra dengan suara lirih.

Arga menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan rasa herannya. “Nggak, Cuma... Papa biasanya nggak gitu kalau ngobrol sama orang lain, apalagi perempuan.”

Serra menatap Baskara di kursi depan, lalu tersenyum kecil. “Mungkin karena Bu Rossa berbeda. Kadang ada orang yang bikin kita nyaman tanpa sadar,” ujarnya sambil tersenyum menggoda.

Arga hanya mendengus pelan, tidak terlalu merespons ucapan Serra. Dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri, mencoba mencerna perubahan sikap papanya. Baskara yang selama ini terlihat dingin dan kaku dengan wanita, kini begitu cair dan santai berbicara dengan Rossa. Ini bukan hal yang biasa.

Di kursi depan, Baskara dan Rossa terus melanjutkan obrolan mereka, bercanda dan membahas hal-hal ringan, dari pekerjaan hingga kehidupan sehari-hari. Rossa yang awalnya merasa canggung, kini mulai terbiasa dengan kehangatan yang ditunjukkan Baskara.

“Eh, tapi pak Baskara beneran udah nggak apa-apa, kan? Saya khawatir aja, takutnya masih sakit gara-gara waktu itu nolong saya,” kata Rossa tiba-tiba, mengingat insiden di sekolah.

Baskara terkekeh pelan. “Santai, Bu. Saya baik-baik aja kok. Kalo nggak, nggak mungkin bisa bawa mobil sekarang.”

Rossa tersenyum lega. “Syukurlah. Saya ngerasa bersalah soalnya, gara-gara saya Pak Baskara sempet pingsan.”

Baskara hanya tersenyum, menoleh sejenak ke arah Rossa. “Nggak usah dipikirin, Bu. Itu udah lewat. Yang penting sekarang semuanya baik-baik aja, kan?”

Rossa mengangguk. Suasana kembali terasa hangat dan nyaman. Arga di belakang masih memperhatikan, meskipun dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya bisa merenung melihat papanya yang berbeda dari biasanya.

Saat mereka mendekati jalan tol, suasana di dalam mobil berubah. Baskara, yang sebelumnya tampak santai bercanda dengan Rossa, tiba-tiba terlihat kaku. Wajahnya mulai memucat, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Rossa yang sedang berbicara tidak menyadari perubahan ini, tetapi Arga, yang duduk di belakang, mulai merasa ada yang tidak beres.

“Pak Baskara, belok kiri ya, lewat tol aja biar lebih cepat sampai,” kata Rossa sambil menunjuk arah ke gerbang tol.

Baskara hanya mengangguk pelan, tangannya memegang setir lebih erat dari sebelumnya. Tol ini… pikirannya langsung melayang pada masa lalu yang begitu berat. Tempat ini adalah saksi bisu kejadian tragis yang merenggut nyawa Ifada, istrinya. Sejak saat itu, dia selalu menghindari jalur ini.

Namun kali ini, demi mengantar Rossa dan Serra, dia memaksa dirinya untuk tetap melewati jalan itu. Saat mereka memasuki tol, perasaan tidak nyaman semakin menyerang Baskara. Sekilas bayangan tentang kecelakaan itu mulai membayang di kepalanya—suara benturan keras, sirene ambulan, dan tangisan yang tidak pernah bisa dia lupakan.

Tangannya mulai gemetar, dan pandangannya kabur. Setiap kilometer yang mereka tempuh di tol terasa semakin menekan. Lalu, saat mereka mendekati lokasi kecelakaan dulu, detak jantung Baskara semakin cepat, perasaannya semakin tidak karuan. Seolah-olah dia kembali berada di hari yang sama ketika dia kehilangan istrinya. Matanya mulai perih, dan kepalanya terasa berat.

Arga yang dari tadi memperhatikan, mulai merasa ada yang tidak beres dengan papanya. “Papa? Papa nggak apa-apa, kan?” tanyanya dengan nada khawatir.

Baskara tidak menjawab. Pandangannya mulai kabur, seolah jalan di depannya berganti menjadi kilasan-kilasan masa lalu. Trauma yang selama ini dia simpan rapat-rapat kini muncul begitu kuat, dan tubuhnya terasa melemah. Pusing menyerang, hampir membuatnya kehilangan kendali.

“Papa! Hati-hati!” seru Arga, suaranya menggema di dalam mobil.

Rossa yang mendengar kepanikan Arga, menoleh ke arah Baskara, baru menyadari betapa pucatnya wajah pria itu. “Pak Baskara! Bapak baik-baik aja?” tanyanya panik, suaranya bergetar.

Baskara mencoba tetap tenang, tetapi tubuhnya semakin lemah. Dia merasa seolah terjebak di antara kenyataan dan trauma yang begitu kuat.

Saat perasaan panik melanda Baskara, Arga merasakan ketegangan yang semakin menekan. Ia tidak bisa tinggal diam melihat kondisi papanya yang semakin memburuk. “Pak Baskara, kita harus berhenti sejenak,” ucapnya, suaranya penuh urgensi.

Baskara berusaha menepis kekhawatirannya. “Nggak, Arga. Kita bisa terus,” jawabnya, meskipun napasnya terasa semakin berat. Namun, Arga tidak mau menyerah.

“Papa, please! Kita butuh istirahat,” desaknya sambil menunjuk ke arah rest area yang terlihat di pinggir jalan.

Dengan sedikit ragu, Baskara akhirnya mengangguk dan mengarahkan mobil ke rest area. Saat mobil berhenti, Arga langsung keluar dan berlari ke sisi pintu papanya. Dia membuka pintu dan menarik tangan Baskara. “Ayo, Papa. Kita keluar dan tarik napas dalam-dalam.”

Baskara berusaha bangkit dari kursinya, tetapi tubuhnya terasa lemas. Saat Arga melihat wajah papanya yang semakin pucat, dia segera memeluknya. “Papa, papa tidak sendirian. Arga di sini,” katanya, berusaha menguatkan.

“Arga…” Baskara berusaha bicara, tetapi suaranya tertahan. Dia tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang bisa menjelaskan rasa traumanya yang mendalam.

Rossa yang keluar dari mobil juga merasakan suasana tegang. Dia menghampiri mereka dengan cepat. “Pak Baskara, apa yang terjadi? Kenapa Bapak terlihat seperti ini?” tanyanya, suaranya bergetar.

Arga menatap Rossa dengan penuh harap. “Bu Rossa, Papa… Papa nggak suka lewat tol ini,” jawabnya pelan, tidak ingin menjelaskan lebih jauh.

“Kenapa? Apa ada yang salah?” tanya Rossa, semakin panik melihat kondisi Baskara.

Baskara menunduk, merasakan beratnya semua perasaan yang mengganjal di dadanya. Dia ingin menjelaskan, tetapi suaranya seakan hilang. Arga merangkulnya lebih erat. “Papa, tenang. Kita di sini. Nggak ada yang perlu ditakutin.”

Rossa melihat ke arah Arga, memahami betapa beratnya situasi ini. Dia mencoba memberi dukungan. “Pak, jika ada yang ingin Bapak ceritakan, kami di sini untuk mendengarkan,” ucapnya lembut.

“Enggak… saya baik-baik saja,” Baskara berusaha tersenyum, tetapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Rasa sakitnya terlalu dalam untuk ditutupi.

Arga menggenggam tangan papanya. “Papa, ini bukan tentang baik-baik saja. Ini tentang papa yang merasa nyaman. Kita semua ingin papa merasa aman,” tegasnya, berusaha meyakinkan.

Rossa mengangguk setuju. “Kami di sini untuk membantu, Pak. Jika ada yang ingin Bapak bicarakan, tidak ada yang perlu disembunyikan.”

Baskara hanya menggelengkan kepala, tidak mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi ke rossa karena dia pikir rossa akan melihat baskara sebagai laki laki lemah karena trauma itu, jadi dia lebih baik diam dan tak mau bercerita.

Arga menatap papanya dengan penuh empati. “Papa, kami tidak akan memaksa Bapak untuk melaluinya. Kita bisa ambil jalan lain. Yang penting Bapak merasa baik-baik saja,” katanya, meyakinkan.



Baskara merasakan beban di dadanya sedikit mengendur. Dia tahu bahwa tidak ada yang bisa menghapus kenangan itu, tetapi dengan kehadiran orang orang terdekatnya, dia merasa tidak sendirian lagi. “Terima kasih,” ucapnya pelan, terasa seperti beban besar terangkat dari pundaknya.

Mereka berempat berdiri di rest area, saling mendukung satu sama lain, dengan Baskara akhirnya bisa sedikit melepaskan rasa sakitnya di tengah kehadiran orang-orang yang peduli.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang