cinta Terhalang orang tua

57 2 0
                                    

Di sekolah, Arga duduk sendirian di bangku taman sambil menerawang. Di kepalanya terlintas bayangan Papa dan Bu Rossa. Meskipun senang melihat ayahnya tampak lebih bahagia, ada rasa khawatir yang sulit ia jelaskan.

“Kalau Papa sama Bu Rossa makin deket... berarti aku juga bakal makin sering ketemu Serra, atau bahkan menjadi kakak serra nantinya,” batinnya. Arga mulai gelisah karena ia menyukai Serra, anak Bu Rossa, tapi belum pernah benar-benar menyatakannya. Baginya, perasaannya ke Serra adalah rahasia yang ingin ia jaga—belum waktunya untuk dibicarakan.

Tiba-tiba, Kala dan Bumi mendekatinya. “Eh, ngapain lo melamun di sini sendirian?” goda Bumi sambil menyikut pelan Arga.

Arga tersentak dari lamunannya. “Enggak kok. Cuma lagi mikir soal Papa aja,” jawabnya singkat.

Kala menatap Arga dengan penasaran. “Mikir soal Papa atau soal Serra?” tanyanya, memancing.

Arga hanya menghela napas. “Dua-duanya, kali.”

Kala dan Bumi saling pandang, lalu Kala menambahkan, “Kalau Papa bahagia sama Bu Rossa, lu juga dukung, kan?”

Bumi mengangguk setuju, tapi tetap penasaran. “Tapi lo kayaknya juga ada kepikiran hal lain deh, Ga. Apa lo ga ikhlas kalau akhirnua Serra jadi saudara lo?”

Arga langsung menatap Bumi, mencoba Menbenarkan Ucapan bumi “Diam deh Bumi, lo ga tau apa apa!” ucapnya sambil berdiri, kesal.
Kala membela Bumi “Yaelah ga ga... Kita juga tau kali kalau lu cinta mati sama Serra, bilang aja kalau iya” sembil ngeledek

“Apaan sih!” Jawab arga sambil meninggalkan saudaranya.

Sambil berjalan menuju kelas, Arga terus memikirkan bagaimana perasaannya pada Serra. Di satu sisi, ia ingin lebih dekat dengan Serra, tapi di sisi lain, ia belum siap jika ternyata kedekatan ayahnya dengan Bu Rossa membawa perubahan besar dalam keluarganya. Pikiran-pikiran ini berputar di kepalanya hingga tanpa sadar ia hampir menabrak seseorang.

“Arga! Lagi melamun apa sih?” tanya Serra, yang kebetulan lewat dan tersenyum melihat Arga yang terlihat kikuk.

“Oh... Serra,” ucap Arga, sedikit gugup. “Enggak, ga mikirin apa apa kok”

“ya udah, kekantin yuk” ajak serra dengan ceria

Mereka berjalan bersama menuju kantin, dan suasana pun mulai terasa lebih ringan. Serra bercerita tentang pelajaran yang menurutnya sulit dan tentang rencana kegiatan sekolah, sementara Arga mendengarkan dengan senyum tipis di wajahnya. Ia menikmati setiap detik bersamanya, meskipun tidak berani mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.

Saat mereka sampai di kantin, tiba-tiba Serra berkata, “Aku sebenarnya senang Papa kamu deket sama Bunda”

Arga terdiam, kaget dengan pernyataan Serra. “Eh, beneran?”

Serra mengangguk. “Ya... aku pikir mereka berdua pantas dapat kebahagiaan lagi,” ujarnya dengan ekspresi hangat. “Lagipula, aku pengen lihat Bunda bahagia.”

Arga hanya tersenyum kecil, berusaha menutupi degup jantungnya yang makin cepat. Mendengar Serra bicara seperti itu memberinya harapan, tapi ia tetap tak ingin terburu-buru. Baginya, yang terpenting sekarang adalah memastikan kebahagiaan Papa dan Serra… walaupun semua ini terasa lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Arga menatap Serra ragu-ragu, mencoba menyusun kata-kata. “Serra… kalau misalnya Papa sama Bu Rossa benar-benar bersama, kamu… kamu nggak merasa aneh atau hancur gitu? Soalnya… ya, kamu tahu kan, kita bakal jadi saudara.”

Serra terdiam sejenak, matanya sedikit berkaca-kaca, tapi kemudian ia tersenyum lembut. “Arga, jujur aja… awalnya mungkin bakal kerasa aneh. Tapi kalau itu bikin mereka bahagia, aku nggak mau egois. Apalagi Bunda. Dia udah lama sendiri,” katanya sambil menghela napas dalam. “Aku Cuma pengen Bunda ngerasa dicintai lagi.”

Arga mengangguk, merasakan ada kelegaan di hatinya meski masih campur aduk. “Ya, aku ngerti kok… Aku juga pengen Papa bahagia. Tapi.....”

Serra tersenyum, menepuk bahu Arga pelan. “Tapi apa?”
Arga hanya tersenyum, lalu menarik Serra “ikut aku” sambil memeganb tangan Serra ke Taman sekolah.
“Ada apa sih ga, kamu mau ngapain ditamab?” tanya Serra dengan heran.

Arga menarik napas dalam, pandangannya beralih ke arah Serra yang masih berdiri di sampingnya. Tiba-tiba, dorongan kuat muncul di hatinya untuk mengatakan sesuatu yang selama ini ia pendam.

“Serra… mungkin ini kedengarannya egois atau nggak tepat,” ujarnya, suara pelan tapi tegas. “Tapi aku nggak bisa terus-terusan nutupin ini dari kamu. Aku suka sama kamu.”

Serra terkejut, matanya membelalak sedikit, tidak menyangka Arga bakal berkata sejujur itu. “Arga…” Serra berbisik, seolah tak percaya.

Arga mengangguk pelan, matanya serius menatap Serra. “Aku tahu, kalau Papa dan Bu Rossa beneran bersama, kita nggak akan pernah bisa bilang apa yang kita rasa. Kita bakal jadi saudara, Serra. Dan… aku nggak siap kehilangan kesempatan ini, bahkan sebelum sempat kita tahu gimana perasaan kita yang sebenarnya.”

Serra menunduk, jantungnya berdebar lebih cepat. “Aku… aku juga nggak tahu harus gimana, Arga. Aku… aku nggak pengen nyakitin bunda dan keluargamu. Tapi di saat yang sama… aku juga nggak bisa bohong sama diriku sendiri.”

Keduanya terdiam sesaat, merasakan betapa rumit dan beratnya situasi ini. Serra mengusap matanya perlahan, mencoba menahan emosinya. “Arga… apa yang kita lakukan kalau mereka beneran bersama? Gimana kita… aku juga punya perasaan yang sama seperti kamu”
Arga menggenggam tangan Serra, perlahan tapi erat. “Kita nggak tahu, Serra. Tapi… sekarang aku Cuma pengen kamu tahu perasaanku. Apa pun yang terjadi, setidaknya aku nggak nyesel pernah bilang ini sama kamu.”

Serra hanya mengangguk pelan, tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang dipenuhi perasaan campur aduk—antara harapan dan keraguan yang belum sepenuhnya terjawab.

Serra menundukkan kepala, menggigit bibirnya seolah ingin menahan perasaan yang bercampur di hatinya. “Arga… aku juga nggak pengin kita jadi asing satu sama lain. Tapi, kalau kita beneran jadi saudara…” ucapnya pelan, suaranya gemetar. “Kamu pikir, kita bisa pura-pura nggak pernah ngerasa apa-apa?”

Arga menarik napas panjang, menatap ke arah langit. “Aku nggak tahu, Serra. Itu yang bikin semua ini makin berat. Tapi, kalau Papa bahagia sama Bu Rossa, aku nggak bisa egois. Selama ini, Papa udah banyak ngorbanin waktu dan dirinya buat kami. Dia juga punya hak untuk bahagia.”

Serra mengangguk kecil, walaupun air matanya hampir saja jatuh. “Kamu bener. Kalau bahagia bahagia, aku juga nggak mau jadi penghalang. Tapi, Arga, apa kita bisa bener-bener pura-pura?”

Arga hanya bisa mengangkat bahu. “Kita mungkin harus belajar, Serra. Walau sesakit apa pun itu. Kita nggak bisa terus egois hanya demi perasaan kita. Papa dan Bu Rossa berhak buat nentuin apa yang terbaik buat mereka. Dan kalau suatu hari kita memang harus jadi saudara…” Arga tersenyum tipis, walau perih terlihat di matanya. “Aku akan selalu ada buat kamu, apa pun status kita nanti.”

Serra terdiam, lalu perlahan tersenyum walaupun hatinya terasa berat. “Aku juga, Arga. Kita akan tetap ada buat satu sama lain, apa pun yang terjadi.”

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang