merasa paling kuat

54 3 0
                                    

Setelah perjalanan yang terasa panjang, mobil akhirnya tiba di rumah Baskara. Bryan cepat-cepat keluar untuk membuka pintu bagi bosnya, sedangkan Arsya menyusul dari belakang. Baskara turun dari mobil dengan langkah yang tetap mantap, meski di dalam dirinya, rasa lelah semakin tak bisa diabaikan.

Sesampainya di dalam rumah, anak-anak Baskara, Arga, Kala, Bumi, dan Dewa, sudah menunggu dengan cemas. Mereka berdiri di ruang tamu, wajah-wajah mereka dipenuhi kecemasan begitu melihat papanya pulang lebih awal dari yang diperkirakan.

“Papa udah pulang?” tanya Arga, mencoba menahan emosinya. “Kenapa papa nggak bilang dari tadi?”

Baskara mengangkat tangan, memberi isyarat untuk tenang. “Papa baik-baik aja. Cuma perlu istirahat sedikit.”

Dewa yang paling kecil, dengan mata yang berkaca-kaca, langsung menghampiri papanya. “Papa, nggak boleh sakit lagi ya”

Baskara menepuk pelan kepala Dewa, berusaha tersenyum meski tubuhnya terasa semakin lemas. “Papa kuat kok. Kamu nggak usah khawatir, ya.”

Arga yang berdiri di samping, tak bisa menahan diri lagi. “Tapi Pa, papa jangan kerja dulu ya,papa nggak perlu paksain diri buat proyek papa atau pun pekerjaan dikantor papa itu.”

“Arga bener, Pa,” timpal Kala, yang biasanya paling pendiam di antara mereka. “Kalau papa terus begini, nanti sakitnya tambah parah.”

Baskara menghela napas panjang, lalu menatap anak-anaknya satu per satu. “Papa tahu kalian khawatir. Tapi tanggung jawab papa nggak bisa ditinggal begitu aja. Semua yang papa lakukan ini juga buat kalian. Supaya kalian punya masa depan yang lebih baik.”

Bryan dan Arsya, yang mendengarkan dari belakang, hanya bisa saling bertukar pandang. Mereka tahu ini bukan saatnya berdebat, tapi kondisi Baskara yang semakin melemah membuat mereka semakin khawatir.

“Pak Baskara,” Bryan angkat bicara, “sejujurnya, kami semua khawatir. Kalau bapak terus begini, takutnya nanti dampaknya nggak Cuma ke pekerjaan, tapi juga ke kesehatan Bapak.”

Arsya ikut menimpali, “Kami bisa urus proyek, Pak. Bapak nggak perlu turun langsung ke lapangan kalau kondisinya belum pulih. Lagipula, semua orang di tim juga bisa kita andalkan.”

Baskara menghela napas lagi, menunduk sejenak sebelum menatap Bryan dan Arsya. “saya mengerti apa yang kalian katakam. Tapi kalian juga harus tahu, ini bukan hanya soal pekerjaan. Ini soal tanggung jawab.”

“Pa, tanggung jawab itu juga buat diri sendiri,” tambah Arga, dengan nada tegas tapi penuh perhatian. “Kalau papa ga bisa tanggung jawabin diri sendiri, gimana bisa tanggung jawab urus semuanya?”

Baskara terdiam sejenak, menyadari betapa keras kepala dirinya selama ini. Dia tahu anak-anaknya dan timnya benar. Tapi dalam dirinya, ada dorongan kuat untuk selalu bertanggung jawab atas segalanya, meskipun itu mengorbankan dirinya sendiri.

Akhirnya, dengan suara rendah dan berat, Baskara berkata, “Baik. Papa akan istirahat dulu. Tapi aku nggak akan berhenti bekerja. Bryan, Arsya, kalian tetap urus proyek itu dan laporkan perkembangan setiap hari. Arga, kamu jaga adik-adikmu. Jangan khawatirkan papa.”

Anak-anaknya terlihat sedikit lega, meski masih ada rasa khawatir yang jelas terpancar di mata mereka. Bryan dan Arsya mengangguk, meskipun dalam hati mereka berharap Baskara benar-benar akan lebih menjaga kesehatannya.

Baskara lalu berjalan perlahan menuju kamarnya dengan bantuan Bryan. Sebelum masuk, dia menoleh ke arah anak-anaknya dan berkata, “Jangan terlalu cemas. Papa nggak apa-apa.”

Tapi di dalam hati semua orang, termasuk dirinya sendiri, mereka tahu bahwa itu hanyalah kata-kata penenang. Sebab kebenarannya, Baskara sedang menghadapi salah satu ujian terberat dalam hidupnya, dan kali ini bukan hanya soal bisnis, tapi soal dirinya sendiri.

Rossa memasuki rumah dengan hati-hati, disambut oleh Bryan yang langsung mengarahkan langkahnya menuju kamar Baskara. Namun, saat sampai di depan pintu, ia ragu untuk mengetuk. Bryan memberitahu bahwa Baskara baru saja tertidur lagi setelah seharian penuh kelelahan.

Rossa menatap pintu kamar itu dengan hati yang bimbang. “Mungkin nanti saja, biar Pak Baskara istirahat,” gumamnya pada diri sendiri, tetapi Bryan mempersilahkannya untuk masuk jika memang ingin menjenguk.

Akhirnya, dengan langkah perlahan, Rossa membuka pintu kamar dan melihat sosok Baskara yang terbaring di tempat tidur. Wajahnya masih tampak pucat, napasnya tenang tapi terlihat jelas bahwa dia belum sepenuhnya pulih. Rossa mendekat, tetapi menjaga jarak. Tidak ingin membangunkan pria yang jelas-jelas sangat kelelahan.

Dalam diam, Rossa berdiri di sisi tempat tidur, memperhatikan raut wajah Baskara yang meskipun tenang dalam tidur, terlihat menyimpan beban besar. Pikirannya melayang, membayangkan betapa kerasnya perjuangan pria ini menjalani hidup sebagai seorang ayah, seorang pengusaha, dan seorang lelaki yang selalu mengutamakan tanggung jawabnya di atas segalanya.

“Seandainya saja kamu punya seseorang yang selalu ada untuk menjaga dan memperhatikanmu,” batin Rossa, menatap wajah Baskara yang masih terpejam. “Kamu pasti nggak akan seburuk ini, nggak akan terlalu memaksakan diri sampai jatuh sakit.”

Rossa ingin melakukan sesuatu, mungkin sekadar menyentuh tangan atau pipi Baskara, tetapi dia menahan diri. Dia tahu ini bukan saat yang tepat. Akhirnya, ia hanya duduk di kursi di samping tempat tidur, menunggu dengan sabar sambil berharap bahwa suatu hari, seseorang akan selalu ada untuk menjaga pria ini—mungkin dirinya, mungkin bukan. Tapi ia tahu, Baskara pantas mendapatkan perhatian lebih dari sekadar rasa simpati atau kagum.

Waktu berjalan pelan, dan di dalam kamar itu, hanya ada suara napas lembut Baskara dan pikiran-pikiran Rossa yang berputar dalam keheningan.

Rossa masih duduk di samping tempat tidur, tatapannya lembut saat melihat Baskara yang masih tertidur. Rasa sayangnya semakin jelas terlihat dalam setiap gerakan kecil yang ia lakukan, seperti saat ia merapikan selimut Baskara atau menyibakkan sedikit rambut yang menutupi dahinya.

Bryan, yang sejak tadi berdiri tak jauh dari pintu, memperhatikan semuanya dengan senyum kecil di wajahnya. Ia tidak menyangka bahwa ada seseorang di luar keluarganya yang begitu peduli pada bosnya. Bryan tahu betapa keras kepala dan mandirinya Baskara, jarang sekali ada yang bisa mendekati atau bahkan menjaga dirinya seperti ini.

“akhirnya ada yang benar-benar memperhatikan dengan tulus ke Pak Baskara,” gumam Bryan dalam hati, senyum tipisnya semakin lebar. Melihat Rossa yang penuh perhatian, dia merasa sedikit lega. Mungkin, dengan kehadiran wanita ini, Baskara tidak lagi harus menghadapi semuanya sendirian. Bryan pun merasa harapan baru muncul untuk bosnya yang selama ini selalu menanggung segalanya seorang diri.

Dalam diam, Bryan mengambil keputusan untuk tidak mengganggu momen itu. Ia melangkah mundur keluar dari kamar, membiarkan Rossa tetap di sana dengan perasaannya yang tulus, dan berharap, semoga ini menjadi awal yang baik untuk Baskara.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang