saling mengikhlaskan

47 3 0
                                    

Di rumah, suasana terasa tegang ketika Baskara memanggil Arga ke ruang keluarga. Dia berdiri dengan tatapan serius, menunggu anaknya menjawab pertanyaan yang sudah menggelayut di pikirannya sejak pertemuan dengan Rangga.

“Arga, ada yang ingin Papa tanyakan,” suara Baskara tegas, tetapi ada nada cemas yang tersirat di dalamnya.

Arga menatap ayahnya, merasakan ketegangan di udara. “Apa, Pa?”

“jujur ga, Papa sudah mendengar kabar tentang kamu dan Serra. Apa benar kamu mencintainya?” Baskara langsung melontarkan pertanyaan tersebut.

Arga terlihat bingung dan sedikit terkejut. Dia tidak menyangka Papa-nya akan bertanya seperti itu. “Eh, Pa… Itu…,” dia berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku dan Serra itu Temen aja kok.. Tapi”

Baskara memotong, “Tapi apa? Kalau kamu suka, bilang saja.”

Dengan keberanian yang tersisa, Arga mencoba untuk tetap teguh. “Papa, aku sama serra itu Cuma temen kok.”

Baskara menggelengkan kepala, marah. “Kalau sampai kamu bohong sama Papa, jangan anggap papa ini Papa kamu lagi!” ucapnya dengan tegas. Suara Baskara sedikit meninggi, dan tatapan matanya tajam, membuat Arga merasakan ketegangan yang semakin meningkat.

“Papa!” Arga hampir berteriak, merasa tersudut. “arga ga bohong!”

“Kalau kamu benar-benar mencintainya, ungkapin aja. Jangan sampai ada yang disembunyikan dari Papa, Arga!”

Suasana menjadi hening, Arga menunduk, berusaha meredam rasa sakitnya. Dia tahu ayahnya hanya ingin yang terbaik untuknya, tapi ancaman itu membuatnya merasa tertekan.

“iya pa, aku benar suka sama Serra. Tapi… aku juga tahu situasinya” Arga akhirnya mengaku, suaranya pelan. “Kalau Papa dan Bu Rossa bersatu, kami bisa jadi saudara, kan? Ya udah gapapa, lagian kita juga masih muda”

Baskara merasa marah dan kecewa mendengar pengakuan Arga. “Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau kamu suka sama Serra? Biar Papa nggak menaruh hati sama ibunya!” suaranya terdengar tegas, bahkan sedikit bergetar.

Arga terkejut, “Papa! Aku gapapa kok, aku justru senang kalau papa suka sama bu rossa! Papa udah cukup menderita, dan aku nggak mau bikin papa patah hati lagi,” jawabnya dengan nada kesal.

Baskara menyipitkan mata, merasa terpojok. “Tapi kamu juga harus jujur sama Papa! Ini semua bisa dihindari jika kamu ngomong dari awal! Sekarang, papa malah merasa terjebak di antara perasaan kamu dan perasaan Rossa!”

Mereka berdua saling menatap dengan penuh emosi, tak ingin mengalah. Arga berusaha menenangkan, “Papa, aku minta tolong. Buka hati untuk Bu Rossa. Mungkin ini bisa jadi awal yang baru bagi kita semua. Ga usah mikirin arga, arga gapapa kok”

“Gampang sekali kamu bilang gapapa! ” Baskara berteriak, menyentak kesabaran. “Seharusnya kamu yang mengerti posisi papa ga! Papa ga bisa begitu saja menghalangi kebahagiaan kalian. Dan sekarang, kamu malah baru ngomong, papa ga maj kamu berkorban ga!”

Arga merasa hatinya dipenuhi rasa frustrasi. “Papa, arga udah bilang, papa ga perlu mikirin arga! Justru Arga Bahagia kalau Arga punya ibu lagi, terlebih saudara Arga juga Serra sahabat arga!”

“Bahagia? Dengan cara ini?” Baskara berkata, suaranya penuh kepahitan. “Papa malah merasa semuanya jadi bersalah! Seharusnya papa bisa memahami kamu lebih baik! Bukan malah menyakiti kamu!”

Keduanya terdiam sejenak, masing-masing merenungkan kata-kata yang terlontar. Suasana menjadi semakin tegang.

“Papa, udah pah, ga ada gunanya kita berdebat. Aku ingin kita bisa jujur satu sama lain dan sekarang arga juga udah jujur kan sama papa, Arga Cuma mau papa punya kebahagiaan lagi,” Arga berusaha meraih tangan ayahnya, tetapi Baskara menarik tangan itu.

“Jujur? Dengan situasi seperti ini? Ini bukan jujur ga, ini HANCUR!” Baskara berkata, dan tanpa menunggu jawaban, ia segera pergi meninggalkan ruangan.

Arga merasa hatinya remuk. Dia ingin mengejar ayahnya, tetapi Baskara sudah pergi entah ke mana. “Papa, tunggu!” serunya, tetapi langkah ayahnya sudah jauh.

Arga merasa bingung dan sedih. Dia ingin mendukung ayahnya, tetapi sekarang semua terasa semakin rumit. Dalam hatinya, dia berharap hubungan antara Baskara dan Rossa tidak akan membuat semuanya menjadi lebih buruk.

Arga berusaha menenangkan diri di kamar. Dia duduk di pinggir tempat tidur, mencoba memikirkan dengan jernih. “Papa pasti pulang” ujarnya dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu, pikiran positif itu mulai pudar. Larut malam pun tiba, dan Baskara belum juga muncul.

Panas dingin mulai menyelimuti Arga. Rasa cemas menghimpit dadanya. “Kemana sih Papa? Kenapa belum pulang?” pikirnya, gelisah.

Ketika adik-adiknya, Dewa dan Bumi, masuk ke dalam kamar, Arga segera berusaha menyembunyikan kepanikan yang mulai menggelayuti hatinya. “maj kemana lu?” tanya Dewa yang terlihat bingung.

“Eh, mau nyusul Papa ke kantor,” jawab Arga, berusaha terdengar tenang.

“Jam segini? Kan udah larut malam!” Bumi protes. “nunggu sampai besok saja, ah! Lagian Papa pasti bakal pulang.”

Arga merasakan desakan rasa bersalah karena tidak bisa mengungkapkan semua yang terjadi. “Ngga, lebih cepat lebih baik,” jawabnya, mencoba meyakinkan adik-adiknya dan dirinya sendiri.

“Kalau gitu, gue ikut ya!” Dewa dan Bumi berkata bersamaan.

Arga menggelengkan kepala. “Enggak, ini urusan gue. Kalian tunggu di rumah saja, ya. Sebentar doang”

Dewa dan Bumi saling pandang, tidak yakin dengan keputusan kakaknya, tapi mereka juga tahu Arga tidak akan bisa dihalangi. “Oke, tapi hati-hati, ya!” pesan Bumi.

Arga keluar rumah, langkahnya terburu-buru, menyusuri jalanan malam yang sepi. Rasa cemas menggelayuti pikirannya. Dia tidak tahu apa yang harus diharapkan. Dia hanya ingin menemukan papanya dan memastikan dia baik-baik saja. “Semoga Papa tidak melakukan sesuatu yang bodoh,” pikir Arga, berharap bisa menemukan Baskara sebelum keadaan menjadi semakin rumit.

Setibanya di kantor, Arga langsung merasakan suasana sepi yang menyelimuti ruangan. Langkahnya terasa berat saat dia berjalan masuk. Dia mencari-cari sosok papanya di antara tumpukan berkas dan meja kerja yang berantakan, tetapi yang dia temui hanyalah Pak Mamat, penjaga kantor yang sedang merapikan barang-barangnya.

“Pak Mamat, papa kesini nggak tadi? ” tanya Arga dengan nada cemas.

Pak Mamat menggelengkan kepala. “Nggak ada, tapi saya lihat Tadi keluar sih.”

“Keluar? Ke mana?” Arga bertanya, hatinya semakin gelisah.

“ke proyek mungkin” jawab Pak Mamat. “Tapi saya nggak tahu pasti.”

Arga merasa jantungnya berdegup kencang. “Proyek mana? Di mana tepatnya?” Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi panik mulai merayap.
“kamu lurus aja, kalau ada pembangunan proyek ya itu” jawab pak mamat dengan nada tenang.
Tanpa berfikir lama Arga langsung tancap gas ke proyek yang diarahkan pak mamat.

Saat mereka tiba di lokasi proyek, suasana di sekitar sangat berbeda. Banyak pekerja yang tampak sibuk dengan tugas masing-masing, tetapi di antara hiruk-pikuk itu, Arga tidak melihat sosok Baskara di mana pun. “Papa!” teriak Arga sambil berlari di antara para pekerja, mencari sosok yang dia rindukan.

Arga mulai merasakan kepanikan yang luar biasa. “papa dimana?!” teriaknya, suaranya penuh kekhawatiran. Dia tidak tahu lagi harus ke mana, dan harapannya untuk menemukan papanya semakin menipis.

Arga berhenti sejenak, merasakan napasnya yang mulai memburu. Dia mengeluarkan ponsel dari saku dan menatap layar dengan cemas. Tangan kanannya gemetar sedikit saat dia mencari nama Rossa di kontaknya. Dengan perasaan campur aduk, akhirnya dia menekan tombol panggil.

Setelah beberapa deringan, suara Rossa terdengar di ujung telepon. “Halo, Arga? Ada apa?”

“Bu Rossa… ” suaranya terputus-putus, mencoba menahan kepanikan. “ibu sekarang bersama papa nggak? Papa belum pulang, dan aku udah susul di kantor tapi ga ada, di proyek juga ga ada. Apa Bu Rossa tahu di mana dia?”

Mendengar nada cemas di suara Arga, Rossa langsung khawatir. “ha? ibu ga sama papa kamu kok! Papa kamu belum pulang daru kapan? Dia pergi ke mana?”

“Aku nggak tahu! Dia tadi pergi setelah… setelah kita berdebat. Aku takut ada yang terjadi sama dia!”

Rossa terdiam sejenak, berusaha menenangkan diri. “Arga, coba ingat-ingat, apa ada tempat yang biasa dia kunjungi atau proyek yang dia tangani?”

“papa biasanya di kantor atau proyek baru di pinggiran kota, tapi aku udah cari di semua tempat itu dan nggak ada!” Arga mulai merasa putus asa. “Aku nggak tahu harus ke mana lagi bu..”

“Tenang, Arga. Sekarang kamu dimana? Ibu akan bantu secepatnya.  kamu ke di proyek terakhir yang kamu kunjungi. Kita bisa bertemu di sana,” Rossa memberi saran.

“Baik, Bu Rossa. Aku tunggu di sini,ibu cepat ya” Arga menjawab dengan suara serak.

Setelah menutup telepon, Arga merasa sedikit lebih tenang mengetahui Rossa akan membantunya. Dia segera menghidupkan motornya lagi dan melanjutkan perjalanan ke proyek terakhir yang dia kunjungi.

Di sepanjang jalan, pikiran Arga kembali melayang, membayangkan wajah Papa yang penuh kasih dan perhatian. “Papa, di mana pa? Aku khawatir pah” bisiknya pelan, berharap agar semua ini segera berakhir dengan baik.

Sesampainya di proyek tersebut, Arga melangkah cepat menuju area kerja, berharap menemukan Baskara di sana. Dia melihat beberapa pekerja sedang sibuk, tapi tidak satu pun yang tampak mengenali sosok papanya. “Papa… papa dimana?” bisiknya, penuh harap.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang