kegelisahann yang memuncak

69 3 0
                                    

Baskara menarik napas dalam-dalam, menatap Rossa dengan tatapan penuh penyesalan. “Rossa, aku benar-benar minta maaf... Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini,” ucapnya pelan, mencoba menahan perasaan yang bergejolak di dadanya. “Aku tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaan Arga. Aku tahu betapa pentingnya Serra untuknya.”

Rossa menatap Baskara dengan kekecewaan yang terpendam, namun sebelum ia sempat merespons, Arga langsung bersuara dengan nada keras, penuh ketegasan dan sedikit emosi. “Papa, aku nggak setuju! Jangan paksa aku untuk menerima Serra lagi, Serra sudah Arga anggap seperti Adek aku pah.. Aku nggak rela dan ga mau kalau Papa nggak lanjut sama Bu Rossa. Dia orang yang bisa buat Papa bahagia, mungkin bu Rossa juga yang nantinya akan Menghancurkan Trauma papa..  Kalau papa bersama Bu Rossa, Papa ga akan terjebak diantara Cinta dan Trauma papa lagi!”

Baskara menatap putranya, terkejut mendengar ketegasan dalam nada suara Arga. “Arga… Papa—” Belum selesai ia berbicara, tiba-tiba dadanya terasa sesak. Seperti ada sesuatu yang berat menghimpit jantungnya. Tangannya refleks memegang dada, mencoba menenangkan rasa sakit yang tiba-tiba datang.

Arga yang melihat reaksi papanya langsung panik. “Papa! Papa, Papa kenapa?!” Ia mencoba mendekat, memegang bahu Baskara yang mulai terhuyung lemah. Napas Baskara terdengar semakin berat, tubuhnya melemas, dan pandangannya mulai kabur. Ia mencoba mengatur napas, tapi rasa sakit di dadanya semakin menjadi. Dalam kepanikan itu, Arga terus memegang papanya, suaranya pecah saat ia berusaha membangunkan Baskara.

Rossa segera memanggil dokter, suaranya penuh kepanikan. Dalam hitungan detik, tim medis bergegas datang, membawa peralatan darurat. Baskara dibaringkan di tempat tidur, dan para dokter langsung melakukan prosedur RJP (resusitasi jantung paru) dengan penuh kesigapan. Mesin defibrilator dipersiapkan, dan dalam suasana yang penuh ketegangan, suara detak jantung yang lemah terdengar melalui monitor.

Arga berdiri di sudut ruangan, tubuhnya gemetar, matanya basah oleh air mata. Ia memandangi tubuh papanya yang terbaring lemah, tanpa daya untuk membantu apa pun. Di saat yang sama, Rossa mendekati Arga, memberikan bahunya sebagai sandaran. Arga tak sanggup lagi menahan tangisnya, ia memeluk Bu Rossa erat-erat, menangis terisak-isak di bahunya.

Rossa berusaha kuat, meski di dalam hatinya ia juga dipenuhi rasa takut dan cemas. Matanya terus memandangi tim medis yang bekerja keras menyelamatkan nyawa Baskara. Dalam keheningan yang mencekam, terdengar suara dokter yang memberi perintah, “Siapkan defibrilator! Kita akan coba lagi.”

Arga menggigit bibirnya, menahan rasa sakit melihat papanya yang terus mendapatkan kejut jantung. “Papa… Arga mohon papa bertahan, Pa,” bisiknya pelan dengan suara yang penuh harapan.

Satu kali… dua kali… mesin defibrilator memberikan kejutan ke dada Baskara, mencoba membangunkan kembali denyut jantungnya yang melemah. Arga tak bisa menahan perasaannya lagi, ia semakin erat memeluk Bu Rossa, seolah mencari kekuatan dari wanita yang ia tahu juga sangat menyayangi papanya. Rossa membelai kepala Arga dengan lembut, meski ia sendiri harus menahan air mata agar tidak pecah di depan Arga.

“Papa... arga nggak tahu harus gimana kalau Papa pergi,” lirih Arga sambil terisak, suaranya nyaris putus-putus. Rossa hanya bisa mengusap punggungnya, mencoba memberi sedikit kekuatan di tengah situasi yang sangat memilukan ini.

Tak lama kemudian, setelah beberapa kali kejutan jantung dan upaya yang tiada henti, salah satu dokter berkata dengan tenang, “Kita dapatkan denyut nadi kembali.”

Mendengar itu, Arga mendongak, matanya penuh harap. “Papa... papa saya masih hidupkan?” bisiknya penuh haru, meski rasa takut masih menyelimuti hatinya. Rossa menepuk bahunya lembut dan mengangguk, seolah menguatkan Arga bahwa Baskara masih di sini bersama mereka.

Dokter menarik napas panjang sebelum mulai menjelaskan dengan hati-hati, menatap Rossa dan Arga yang masih dalam kepanikan. “Pasien mengalami serangan jantung ringan akibat konsumsi alkohol yang berlebihan. Alkohol sangat memengaruhi kondisi fisiknya, terutama karena tubuhnya tidak terbiasa lagi dengan alkohol dalam jumlah sebanyak itu. Jantungnya mengalami stres yang berlebihan,” jelas dokter dengan nada serius.

Arga menunduk, meremas jemarinya sendiri, merasa bersalah karena tahu betul kenapa papanya bisa terjebak dalam situasi ini. Perasaan bersalah itu semakin menusuk ketika ia menyadari bahwa keputusannya untuk merahasiakan perasaannya terhadap Serra telah memberikan tekanan batin kepada papanya.

“Kalau begini…,” gumam Arga lirih, suaranya penuh penyesalan, “ini salahku, Dok. Papa ke bar karena aku…”

Dokter menatap Arga dengan penuh pengertian dan mencoba menenangkannya. “Kondisi papa kamu memang serius, tapi yang penting sekarang adalah pemulihannya. Kami akan memantau kondisinya dengan ketat dan pastikan ia mendapatkan perawatan yang tepat,” ucap dokter lembut namun tegas. “Yang perlu dilakukan sekarang adalah mendukungnya untuk menjaga kesehatan fisik dan mentalnya. Pengaruh minuman beralkohol, apalagi di tengah beban mental yang berat, bisa sangat berisiko bagi papa kamu”

Rossa menghela napas panjang, menyentuh bahu Arga dan memberikan dukungan melalui sentuhannya yang lembut. “kamu harus kuat, Ga. Ini saatnya kita jadi kekuatan untuk Papa. Jangan menyalahkan dirimu, ya.”

Arga menatap Bu Rossa, mencoba menghapus air mata yang membasahi pipinya. Ia mengangguk pelan, meski rasa bersalah masih menggantung di hatinya. “Aku Cuma… nggak mau papa merasa terbebani sampai seperti ini,” bisiknya dengan suara serak.

“Sekarang yang penting, kita bantu Papa pulih dulu,” tambah Rossa dengan nada tegas tapi penuh kelembutan, mencoba membangkitkan semangat Arga. “Setelah itu, kita akan sama-sama cari jalan terbaik supaya tidak ada yang merasa terpaksa atau terbebani.”

Arga mengangguk, mulai memahami bahwa yang paling dibutuhkan papanya saat ini adalah dukungan dari orang-orang terdekat, bukan penyesalan dan rasa bersalah. Meski ada kerumitan antara perasaannya pada Serra dan cinta papanya pada Bu Rossa, ia tahu semua bisa dihadapi dengan cara yang lebih bijak.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang