tantangan, penyesalan, dan memantapkan

48 3 0
                                    

Saat Serra masih memeluk Baskara dengan erat, ia merasakan tubuh pria itu mulai melemah. Perlahan, pelukan Baskara tak sekuat tadi, dan wajahnya mulai pucat. Rasa sakit di dadanya kian menghimpit, napasnya menjadi berat, seolah-olah ada beban besar yang menekan dadanya.

Serra: “Om Baskara… Om baik-baik saja, kan?” Serra menatapnya, cemas saat melihat wajah Baskara yang semakin pucat.

Baskara mencoba tersenyum, namun bibirnya tampak gemetar, tak sanggup menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Matanya perlahan memejam, dan tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan. Serra, yang masih memeganginya, terkejut dan langsung menahan tubuh Baskara.

Serra: “Om Baskara! Om, bangun! Om…”

Rossa yang ada di samping mereka langsung  mendekat, wajahnya dipenuhi kepanikan saat melihat tubuh Baskara yang semakin lemah.

Rossa: “Mas Baskara! Mas, bangun!” Rossa mengguncang tubuh Baskara dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya.

Tubuh Baskara yang semakin berat akhirnya tak bisa lagi ditahan oleh Serra, dan ia jatuh pingsan di pangkuan Rossa. Wajahnya yang biasanya tegar kini tampak sangat rapuh, seolah sedang berjuang melawan sakit yang begitu hebat. Serra dan Rossa saling bertatapan dengan panik.

Rossa: “Serra, cepat! Telepon ambulans sekarang! Kita harus bawa Om Baskara ke rumah sakit!”

Serra, yang kini diliputi perasaan bersalah dan panik, dengan tangan gemetar meraih ponselnya dan segera menghubungi ambulans. Rossa terus memegangi tangan Baskara, menggenggamnya erat, berharap Baskara bisa bertahan.

Rossa (berbisik): “Mas, tolong bertahan… Kamu nggak boleh menyerah. Aku dan anak-anak membutuhkanmu…”

Serra yang berdiri di samping mereka, matanya mulai berkaca-kaca, penuh dengan rasa sesal.

Serra: “bun, ini semua salah aku… Aku nggak bermaksud bikin Om Baskara sampai seperti ini… Aku hanya ingin yakin, tapi aku malah menyakitinya.”

Rossa menoleh ke Serra, mencoba menenangkan meskipun dirinya pun penuh rasa takut.

Rossa: “Serra, sekarang kita fokus selamatkan Om Baskara dulu.”

Dalam hitungan menit yang terasa seperti seabad, akhirnya suara sirene ambulans terdengar di kejauhan. Para petugas medis segera datang dan membawa Baskara ke rumah sakit. Serra dan Rossa ikut masuk ke dalam ambulans, berpegangan tangan, penuh kecemasan.

Di dalam ambulans, Serra tak henti-hentinya menatap Baskara yang terbaring lemah, dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Perasaan bersalah membekas di hatinya, dan ia terus berdoa agar Baskara bisa melewati ini. Rossa, yang duduk di sebelah Serra, menggenggam tangannya erat sebagai tanda dukungan.

Sesampainya di rumah sakit, Baskara langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Rossa dan Serra menunggu di luar, menahan napas setiap kali seorang dokter atau perawat keluar-masuk ruangan.

Serra: “bun, kalau Om Baskara kenapa-kenapa… aku nggak akan pernah memaafkan diriku.”

Rossa memeluk bahu Serra dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan meski hatinya juga dihantui kekhawatiran yang mendalam.

Rossa: “Serra, kita hanya bisa berdoa. Bunda yakin om bas akan melewati ini.”

Malam itu, Rossa dan Serra hanya bisa menunggu dengan penuh kecemasan di depan ruang gawat darurat, berharap agar keajaiban datang dan Baskara bisa segera pulih.

Waktu terasa melambat di depan ruang gawat darurat. Serra tak bisa berhenti menggigit kuku jari-jarinya, sementara Rossa terus berusaha menenangkan diri meskipun hatinya berdebar kencang. Keduanya menunggu dengan penuh harap, berdoa agar Baskara bisa melewati semua ini. Namun, seiring berjalannya waktu, kekhawatiran Serra semakin menggerogoti hatinya.

Serra: “bun, kenapa lama banget? Apa ada yang salah dengan Om Baskara? Aku merasa sangat bersalah… Seandainya aku tidak menantangnya untuk minum…”

Rossa mengalihkan pandangannya dari pintu ruangan dan menatap Serra, berusaha memberikan pengertian.

Rossa: “Serra, jangan terlalu menyalahkan diri kamu, Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang penting sekarang adalah om Baskara mendapatkan penanganan terbaik. Kita harus percaya pada dokter.”

Akhirnya, setelah menunggu berjam-jam, pintu ruang gawat darurat terbuka, dan seorang dokter keluar dengan ekspresi serius. Serra dan Rossa langsung berdiri, menatap dokter dengan harapan sekaligus ketakutan.

Dokter: “Ibu,  kami sudah menangani Pak Baskara. Namun, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan.”

Rossa mengangguk, sementara Serra menggenggam tangannya, menunggu dengan penuh cemas.

Dokter: “Pak Baskara mengalami serangan jantung yang disebabkan oleh konsumsi alkohol, namun bukan hanya itu. Ternyata, dia memiliki riwayat penyakit jantung yang lebih serius dari yang kami perkirakan. Beberapa hari yang lalu, dia juga mengalami masalah serupa yang tidak kami ketahui saat dia dibawa ke rumah sakit.”

Kata-kata dokter membuat Serra dan Rossa tertegun.

Rossa: “Apa… Apa maksudnya, dokter?”

Dokter: “Tubuh Pak Baskara sudah tidak dapat menerima alkohol lagi. Jika dia terus memaksakan diri untuk meminum, risikonya bisa sangat fatal. Untuk saat ini, kami sudah memberikan perawatan intenif, alhamdulillah nya kondisi pak baskara sudah stabil”

Serra mendengar itu semua dengan hati yang semakin berat. Ia merasa beban bersalah semakin menumpuk di pundaknya.

Serra: “Jadi semua ini karena Serra ya bun, serra yang membuat om bas kembali ke masa lalunya….”

Dokter: “cantik, ingatlah bahwa keputusan untuk meminum adalah keputusan pribadi. Kamu tidak bisa menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Yang terpenting adalah bagaimana kita melangkah ke depan.”

Rossa mengangguk setuju dengan dokter, berusaha menenangkan Serra yang tampak semakin putus asa.

Rossa: “serra, yang penting sekarang kamu sudah percaya kan sama om bas, dia rela seperti ini demi kami loh”
Serra:  ‘iya bun serra percaya”

Setelah dokter menjelaskan keadaan Baskara, ia meminta mereka untuk menunggu beberapa saat lagi sebelum bisa menemui Baskara di ruang perawatan. Serra dan Rossa kembali duduk di bangku menunggu, dengan perasaan campur aduk.

Serra tak bisa menahan air mata yang mengalir di pipinya. Rossa merangkulnya dengan lembut, memberi kekuatan yang dibutuhkan Serra.

Rossa: “calon papa kamu itu orang yang kuat sayang, Pasti sekarang om bas udah baik-baik saja”

Tak lama kemudian, dokter memanggil mereka kembali dan mengizinkan mereka untuk melihat Baskara. Dengan hati berdebar, mereka melangkah masuk ke ruang perawatan. Baskara terbaring di ranjang, dengan alat medis yang terpasang di sekelilingnya. Tubuhnya terlihat lemah, tetapi wajahnya yang biasanya tegar kini tampak damai.

Serra mendekat, memegang tangan Baskara yang terasa dingin.

Serra (berbisik): “Om Baskara, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud membuatmu sakit. Aku ingin kamu baik-baik saja….”

Baskara: “Serra… jangan… nangis…”

Suara Baskara lemah, tetapi ia berusaha berbicara dengan tenang untuk menenangkan Serra. Namun, nada bicaranya tidak beraturan, membuatnya tampak semakin rapuh. Serra menghapus air mata dari pipinya, tetapi tidak bisa menghentikan tangisnya.

Serra: “Om… aku minta maaf. Semuanya karena aku… Kalau saja aku tidak memaksa om untuk minum, semua ini tidak akan terjadi!”

Baskara merasakan sakit di dadanya, tetapi lebih dari itu, ia merasakan sakitnya melihat Serra merasa bersalah. Ia berusaha mengangkat tangannya, meski terasa berat, dan menggapai tangan Serra.

Baskara: “Dengarkan sayang… ini… bukan salahmu… ini.. Pengorbanan awal om ke bunda kamu... Dan kamu juga...”

Serra menggelengkan kepala, masih terisak.

Serra: “Tapi Om, aku… Aku tidak tahu kalau om sudah tidak bisa minum alkohol. Aku hanya… tidak ingin kehilangan orang yang ku sayang.”

Rossa, yang berdiri di samping mereka, ikut merasakan beratnya situasi. Ia tahu betapa sulitnya bagi Serra dan berusaha memberikan dukungan.

Rossa: “Serra, semua ini adalah bagian dari proses. Kita semua belajar dari kesalahan. Yang penting adalah bagaimana kita saling percaya satu sama lain”

Baskara menatap Rossa, terima kasih tersirat di matanya. Meskipun ia merasakan sakit yang teramat sangat, kehadiran mereka memberi sedikit kekuatan.

Baskara: “Rossa… Serra… aku minta tolong… jangan beri tahu anak-anak tentang ini.”

Keduanya terkejut dengan permintaan Baskara, tetapi mereka tahu betapa pentingnya menjaga situasi ini tetap tenang. Rossa mengangguk, mencoba memahami kekhawatiran Baskara.

Rossa: “Tapi, Mas… mereka perlu tahu. Mereka harus tahu bahwa kamu sakit.”

Baskara menggelengkan kepalanya dengan tegas, meski terasa berat.

Baskara: “Tidak. Aku tidak ingin mereka khawatir. Arga sudah cukup terbebani dengan semua ini. Dan aku tidak mau anak-anak lainnya merasa ketakutan melihatku dalam keadaan ini.”

Rossa yang tau betapa keras kepalanha baskara pun mengikuti kemauannya, dan saat itu juga dokter datang dan memperbolehkan Baskara untuk pulang karena kondisinya sudah stabil. Tapi dokter juga meminta untuk Baskara tetep Istirahat yang cukup.


Dua Hari kemudian, Baskara merasakan kebangkitan semangatnya. Keberanian dan dukungan dari Rossa dan Serra memberinya harapan baru. Ia merasa lebih baik, dan meskipun masih ada rasa sakit di dadanya, ia bertekad untuk tidak membiarkan masa lalunya mengendalikan hidupnya lagi.

Kebetulan dirumah Baskara, Rosa datang bersama Serra, tanpa basa basi Baskara langsung meminta Rossa untuk mempercepat Pernikahannya karena seperti ada seseorang orang yang tak suka dengan pernikahan nya.

Baskara: “Rossa, aku ingin kita segera mempersiapkan pernikahan kita. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Rossa terkejut, tetapi ada kilau bahagia di matanya.

Rossa: “Apa kamu yakin, Mas? Setelah semua yang terjadi, aku tidak ingin terburu-buru.”

Baskara: “Aku yakin. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Aku ingin membangun masa depan bersamamu.”
Rosa: “ya udah, kalau kamu siap aku ya siap”

Baskara: “oke Aku tidak mau ada lagi. Bryan!”

Bryan, asisten dekat Baskara, segera muncul.

Bryan: “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Baskara: “Segera persiapkan semua hal untuk pernikahan. Aku ingin semua ini berlangsung secepatnya.”

Bryan mengangguk, tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu betapa seriusnya Baskara dalam menjalani hubungan ini dan memahami bahwa Baskara ingin melindungi orang-orang yang dicintainya.

Baskara menatap Rossa dan Serra, penuh keyakinan.

Baskara(dalam hati) : “Aku tidak akan membiarkan siapapun menghancurkan kebahagiaan ini.”

Dengan semangat baru, mereka mulai mendiskusikan segala hal yang perlu disiapkan untuk pernikahan, menciptakan suasana penuh canda tawa dan harapan di rumah. Keluarga baru ini bersatu, siap menghadapi tantangan apapun yang mungkin akan datang, dengan cinta dan kebersamaan sebagai kekuatan utama mereka.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang