MELAMAR

43 3 0
                                    

Keesokan harinya, suasana rumah masih terasa hening saat Baskara bangun dengan pikiran yang sudah bulat. Tanpa ragu, ia memanggil Arga, Bumi, Kala, dan Dewa ke ruang tengah. Anak-anaknya yang masih setengah mengantuk berkumpul, bingung dengan ekspresi serius di wajah papanya.

Baskara: “Papa sudah mengambil keputusan, dan Papa butuh kalian untuk mendampingi Papa hari ini,” katanya dengan nada yang lembut tapi tegas. “Papa ingin kita semua pergi bersama ke rumah Bu Rossa... untuk melamar secara resmi.”

Mata Arga berbinar mendengar kata-kata itu, sementara adik-adiknya yang lain tampak terkejut. Bumi, dengan ekspresi datarnya yang khas, tetap menatap papanya dengan penuh perhatian.

Dewa: “Lamar? Maksud Papa beneran mau nikah sama Bu Rossa?” tanyanya, setengah tak percaya.

Baskara: “Iya, Nak. Setelah ngobrol panjang dengan Arga, Papa sadar bahwa ini saatnya untuk melangkah ke depan. Papa sudah bicara dengan Bu Rossa, dan kami sepakat untuk mempercepat hubungan ini,” jelas Baskara sambil tersenyum penuh keyakinan.

Kala, yang biasanya paling banyak bicara, kali ini hanya diam dengan senyum malu-malu, seolah ia juga merasa senang sekaligus penasaran akan apa yang akan terjadi nanti.

Arga: “Terima kasih, Pa,” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Ini yang Arga harapkan buat Papa. Kalau Papa bahagia, kami semua juga bahagia.”

Tak lama kemudian, mereka bersiap-siap dan berangkat bersama ke rumah Rossa. Perjalanan ke rumah Rossa diwarnai percakapan ringan di antara anak-anak yang saling menebak-nebak bagaimana reaksi Rossa nanti. Ada rasa antusias yang terpancar dari mereka semua.

Sesampainya di rumah Rossa, Baskara mengetuk pintu dengan hati yang berdebar. Begitu pintu terbuka, Rossa menyambut mereka dengan senyuman hangat, meski ada sedikit keterkejutan melihat Baskara datang dengan seluruh anak-anaknya.

Baskara: “Rossa, hari ini aku datang dengan maksud yang sudah kita bicarakan. Aku ingin meminta izin dari anak-anakmu, sekaligus resmi melamarmu di hadapan mereka dan anak-anakku,” katanya penuh rasa haru.

Rossa, yang mendengar lamaran langsung di hadapan anak-anaknya, merasa hatinya meluap dengan kebahagiaan yang mendalam. Serra dan Clara, yang ikut mendampingi ibunya, tersenyum penuh dukungan, sementara Arga dan saudara-saudaranya memandang Baskara dengan rasa bangga.

Hari itu, kebahagiaan sederhana terpancar dari wajah semua orang, seolah mereka telah menjadi satu keluarga yang baru dan saling mendukung satu sama lain.

Baskara menatap Serra dengan hati yang penuh haru. Awalnya, ia khawatir melihat Serra menangis, takut kalau anak perempuan Rossa itu belum siap menerima kehadirannya dalam hidup mereka. Ia bahkan sempat berpikir untuk kembali mempertimbangkan keputusannya, namun sebelum ia sempat berbicara, Serra mengambil tangannya dengan lembut.

Serra: “Papa…” Serra memanggil dengan suara lirih namun penuh keyakinan, menyeka air mata di pipinya. “Aku merestui hubungan Papa sama Bunda. Karena Serra percaya ada cahaya suci di dalam diri Papa… Rasanya seperti aku sudah menemukan sosok Papa yang datang di saat yang paling tepat.”

Kata-kata itu menembus langsung ke hati Baskara. Ia tidak pernah membayangkan Serra akan menerimanya dengan cara yang begitu tulus. Selama ini, ia selalu merasa takut akan membawa masa lalu dan traumanya ke dalam kehidupan mereka. Namun, mendengar Serra menyebutnya sebagai “Papa” membuatnya merasa bahwa ia pantas mendapat kesempatan baru ini.

Baskara: “Terima kasih, Serra. Papa tidak pernah berpikir bisa mendapatkan penerimaan seindah ini dari kamu,” ucap Baskara dengan suara yang sedikit bergetar. Ia menatap Rossa, yang ikut terharu mendengar restu dari anaknya sendiri.

Serra kemudian menoleh pada Clara, yang berdiri di sebelahnya dengan senyum malu-malu. Clara mengangguk setuju sambil memeluk Serra, seolah memberi tanda bahwa ia juga mendukung hubungan ini dengan sepenuh hati.

Clara: “Selama Bunda, Semoga lancar sampai hari H pernikahan, aku juga bahagia. Kita semua butuh kebahagiaan yang utuh di keluarga ini.”

Dengan restu dari Serra dan Clara, Baskara merasakan sebuah kelegaan yang luar biasa. Ia menoleh ke arah Rossa, yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca penuh rasa syukur. Hari itu, ikatan antara dua keluarga yang sebelumnya terpisah oleh kesedihan dan trauma menjadi semakin kokoh dengan restu dari setiap anak.

Dengan cepat kabar lamaran Baskara dan Rossa menyebat ke seluruh sekolahan dan juga kantor baskara.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang