Rossa melihat anak-anak Baskara yang masih berkumpul di sekitar tempat tidur ayah mereka. Mereka terlihat lelah, apalagi besok mereka masih harus sekolah. Dengan lembut, Rossa menawarkan diri untuk menjaga Baskara sementara anak-anak pulang.
“Kalian pulang saja ya” kata Rossa, menatap Arga, Bumi, Kala, dan Dewa dengan penuh perhatian. “Besok kalian kan harus sekolah, biar ibh aja yang jaga papa kalian malam ini. Kalian pulang dulu, istirahat.”
Arga menatap Rossa, sedikit ragu. “Tapi, Bu Rossa... Papa belum sepenuhnya sembuh. Apa nggak apa-apa ninggalin Papa?”
Rossa tersenyum menenangkan. “Papa kalian pasti nggak mau kalian kelelahan besok. Ibu bakal jaga papa kalian baik-baik, dan kalau ada apa-apa, bakal bakal langsung kasih kabar. Tenang aja.”
Dewa yang paling bungsu menggenggam tangan papanya yang terbaring, tampak enggan berpisah. “Tapi... aku masih mau di sini. Aku nggak mau ninggalin Papa.”
Rossa berjongkok di samping Dewa, menatapnya penuh pengertian. “ibu ngerti, Dewa. Tapi sekarang yang penting kalian juga harus jaga kesehatan. Kalau kalian capek, gimana bisa bantu papa kalian nanti? Tenang, ibu bakal di sini, lagian ada om Bryan dan Om Arsya kan yang akan jagain papa kalian”
Arga akhirnya mengangguk, meskipun jelas dia masih berat hati. “Baiklah, Bu Rossa. Kalau ada apa-apa, tolong segera kabarin kita, ya.”
Rossa tersenyum lagi. “Pasti, Arga. Kalian nggak usah khawatir. Papa kalian ada di tangan yang aman.”
Dengan sedikit enggan, akhirnya Arga, Bumi, Kala, dan Dewa setuju untuk pulang. Mereka berpamitan pada Baskara, meskipun pria itu masih terbaring lemah, dan meninggalkan rumah sakit setelah memastikan semua baik-baik saja.
Malam itu, suasana di kamar rawat Baskara hening. Jam dinding menunjukkan pukul 23.30 ketika Baskara terbangun dari tidurnya. Badannya masih lemas, tapi pikirannya mulai lebih jernih. Saat dia membuka mata, ada hal yang langsung menarik perhatiannya.
Di sebelah ranjangnya, Rossa tampak tertidur di kursi. Kepalanya bersandar di tepi ranjang, napasnya teratur, tanda dia tertidur cukup lelap. Baskara mengerutkan kening, agak terkejut melihat betapa dekatnya Rossa. Dia menatap wajahnya yang terlihat damai dalam tidur, kepalanya terbaring di sisi ranjangnya. Hatinya tersentuh, sekaligus merasa tak enak karena Rossa harus menjaga dirinya hingga ketiduran seperti itu.
Tanpa disadari, senyum kecil muncul di wajah Baskara. Dia benar-benar tak menyangka kalau Rossa bisa sepeduli itu pada dirinya. Di tengah kesakitannya, ada perasaan hangat yang menjalar di dadanya, seperti sesuatu yang sudah lama hilang mulai muncul kembali. Perhatian dan ketulusan Rossa membuatnya merasa lebih tenang.
Baskara mencoba menggerakkan tangannya perlahan, agar tidak membangunkan Rossa. Dia ingin membetulkan posisi kepalanya yang tampak tidak nyaman di atas ranjang. Namun, gerakannya terhenti. Dia malah terdiam sejenak, hanya menatap wanita yang sekarang berada begitu dekat dengannya.
“Rossa...” bisiknya dalam hati, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Meski begitu, senyumnya tak hilang. Mungkin ini pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa dihargai dan diperhatikan seperti ini.
Tiba-tiba, Rossa tersadar dari tidurnya. Perlahan, dia membuka matanya dan melihat Baskara yang ternyata sudah terjaga. Dia langsung duduk tegak, pandangannya dipenuhi kekhawatiran.
“Pak Baskara? Bapak kenapa bangun?” Rossa bertanya dengan nada cemas, suaranya masih sedikit serak karena baru saja bangun. Dia refleks mendekatkan tubuhnya, menatap wajah Baskara dengan ekspresi khawatir.
Baskara tersenyum tipis, walaupun dia masih terlihat lemah. “Iya, aku ke bangun,” jawabnya pelan, berusaha menunjukkan kalau dia baik-baik saja. Namun, Rossa tetap saja tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.
“Bapak masih pusing? Kenapa nggak panggil saya?” Rossa bertanya lagi, kali ini tangannya sudah bergerak otomatis memeriksa dahi Baskara, memastikan suhunya sudah normal. Baskara hanya bisa menatapnya, merasa sedikit terharu dengan perhatian yang diberikan Rossa.
“Nggak, Saya Cuma haus, makanya kebangun,” ucap Baskara sambil mencoba terlihat tenang.
Rossa mendesah pelan. “Haus kenapa nggak bilang dari tadi? Saya ambilin air ya,” katanya langsung beranjak dari kursinya menuju meja kecil di samping tempat tidur. Dia mengambil segelas air dan menyerahkannya kepada Baskara.
Baskara menerima gelas itu sambil tersenyum. “Makasih, Rossa. Maaf ya, saya jadi ngerepotin kamu.”
Rossa menggeleng. “Nggak ngerepotin kok, Pak. Yang penting Bapak cepet sembuh. Kalau ada apa-apa, bilang aja, jangan bergerak sendiri,” balasnya sambil menatap Baskara dengan serius, berharap Baskara lebih jujur tentang kondisinya.
Setelah memberikan air minum, Rossa menatap Baskara dengan lembut, “Pak, sekarang tidur lagi ya. Biar cepet pulih”
Tapi Baskara hanya menggeleng pelan, senyum tipis muncul di wajahnya. “Saya udah biasa bangun tengah malam, Rossa. Setiap hari jam segini pasti bangun, biasanya buat ngerjain pekerjaan sambil nunggu Subuh. Jadi nggak apa-apa, aman.”
Rossa langsung mengerutkan keningnya. “Pak Baskara, itu nggak baik. Apa Bapak tau kalau begadang terus-terusan gitu bisa bikin kondisi Bapak makin drop?”
Baskara tertawa kecil, tapi lemah. “Saya udah terbiasa, Rossa. Lagian, biasanya pekerjaan saya banyak yang harus diselesaikan.”
Rossa menatap Baskara tajam. “Kebiasaan atau nggak, tetap aja itu nggak sehat, Pak. Lihat kondisi Bapak sekarang. ada waktunya tubuh Bapak butuh istirahat. Kalau terus begini, Bapak malah sakit dan nggak bisa kerja sama sekali. Itu yang Bapak mau?”
Baskara terdiam, tak menyangka Rossa akan menegurnya seperti itu. Nada suara Rossa terdengar penuh kekhawatiran dan tegas, bukan sekadar basa-basi. “Saya ngerti, bu Rossa, tapi—”
“Nggak ada ‘tapi,’ Pak. Sekarang prioritas Bapak hanyalah kesehatan, bukan kerjaan. Anak-anak Bapak juga pasti lebih khawatir soal kondisi Bapak dibanding kerjaan Bapak,” potong Rossa dengan nada yang semakin serius.
Baskara akhirnya hanya bisa menghela napas panjang, menerima omelan Rossa tanpa perlawanan. “Iya, saya ngerti. Saya coba untuk untuk perhatikan itu.”
Rossa menatapnya sejenak, lalu tersenyum lembut. “Bagus. Jangan Cuma janji ya, Pak. Bapak harus beneran jaga kesehatan.”
Baskara melirik ke arah Rossa yang terlihat lelah, lalu mengalihkan pembicaraan untuk rossa saja yang beristirahat, “ bu Rossa, kamu istirahat aja. Biar saya yang berjaga, lagian ibu juga nggak bisa tidur lagi.”
Rossa menatap Baskara dengan mata menyipit, jelas-jelas kesal dengan tawaran itu. “apa-apaan sih pak? Bapak yang sakit, kok malah nyuruh saya istirahat? Ini yang butuh istirahat itu Bapak, bukan saya.”
Baskara tersenyum, seolah berusaha melunakkan suasana. “Tapi saya udah biasa, ibu Rossa. Saya baik-baik aja.”
“Nggak, Pak. Dengar ya, Bapak yang lagi dirawat, bukan saya. Jangan kebalik. Bapak ini keras kepala banget, ya? Apa saya harus marah lagi biar Bapak sadar?” Rossa menggerutu, suaranya terdengar tegas tapi jelas penuh perhatian.
Baskara tertawa kecil, meski suaranya lemah. “kan emang Kamu marah terus dari tadi.”
“Iya, marah karena Bapak nggak dengerin omongan saya. Udah, nggak usah banyak alasan. Tidur lagi sana, biar saya yang berjaga,” ucap Rossa sambil menyilangkan tangan di dada, menatapnya penuh ketegasan.
Baskara mengangkat tangan seolah menyerah. “Oke, oke. Saya tidur lagi, tapi kamu juga istirahat, ya? Jangan sampai malah kamu yang sakit.”
Rossa menghela napas panjang, tapi kali ini senyum kecil muncul di wajahnya. “Iya, iya. Tapi Bapak yang harus beneran tidur duluan.”
Baskara hanya mengangguk, menutup matanya perlahan-lahan, mengikuti perintah Rossa, meski dalam hati dia masih merasa ingin menjaga perempuan yang kini justru menjaga dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara CINTA & TRAUMA
Romansaperjalanan Kisah seorang laki-laki yang mengejar Cinta sejatinya untuk memendam rasa Traumnya. . . . PERAN DIAMBIL DARI MAGIC5 Baskara=Fathir Rossa=Salma Arga=Rahsya Kala=Gibran Bumi=Noah Dewa=Irsyad Serra=Naura Clara=Adara Giovani=Dika Rangga=Mi...