Saat Arga membantu Baskara keluar dari mobil, dia bisa merasakan betapa lemasnya tubuh sang ayah. Setiap langkah terasa berat, dan Arga semakin khawatir. Setelah mengunci mobil, dia menuntun Baskara masuk ke rumah, memastikan langkah papanya tidak goyah.
Begitu pintu terbuka, mereka langsung disambut oleh Kala, Bumi, dan Dewa yang sedang mengerjakan tugas di ruang tamu. Suasana rumah yang tadinya tenang berubah seketika.
“Papa?!” teriak Kala yang paling cepat merespons saat melihat Arga membopong tubuh Baskara yang terlihat sangat lemah.
Bumi dan Dewa segera berdiri dari tempat mereka duduk, wajah mereka penuh kepanikan. “Apa yang terjadi, Kak? Kenapa Papa seperti itu?” tanya Bumi dengan nada bingung, tatapannya tak lepas dari wajah pucat Baskara.
Arga menurunkan papanya perlahan ke sofa, lalu menatap ketiga adiknya yang berdiri di sekelilingnya. “Papa kecapekan… dan tadi di jalan, kita lewat tol...,” kata Arga, suaranya menurun saat menyebutkan bagian tol, karena dia tahu itu adalah sumber trauma yang berat bagi ayahnya.
Kala mendekat dengan cepat, memegang tangan Baskara yang terasa dingin. “Papa nggak apa-apa, kan? Kenapa Papa tiba-tiba kayak gini?” tanyanya, matanya hampir berkaca-kaca.
Baskara, yang berusaha menahan kelemahannya, tersenyum tipis. “Papa... baik-baik saja, Kala. Hanya butuh istirahat sebentar,” ucapnya lirih, mencoba menenangkan anak-anaknya meski suaranya terdengar sangat lemah.
Bumi, yang biasanya paling tenang, kini terlihat sangat khawatir. “Kak Arga, apa kita nggak perlu bawa Papa ke dokter?” tanyanya, memandang Arga dengan serius.
Arga menggeleng sambil menghela napas panjang. “Papa nggak mau ke rumah sakit. Tadi Bu Rossa juga udah nyaranin, tapi Papa nolak. Kita biarin Papa istirahat dulu, mungkin nanti kalau masih nggak enak, baru kita panggil dokter.”
Kala menatap Arga dengan cemas. “Tapi Kak, Papa keliatan parah banget. Gimana kalau ini lebih dari sekedar capek?”
Dewa menimpali, “Mungkin sebaiknya kita buatkan teh atau sesuatu biar Papa sedikit tenang.”
Arga menoleh ke Bumi dan mengangguk. “Iya, buatkan teh hangat untuk Papa,” ujarnya. Kemudian dia kembali menatap papanya yang berbaring dengan napas berat di sofa. “Papa, minum teh dulu, ya. Biar badannya sedikit hangat.”
Baskara hanya mengangguk pelan, matanya masih terpejam, berusaha menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi kilasan-kilasan kecelakaan di tol.
Setelah beberapa saat, Arga membantu Baskara untuk pindah ke kamarnya. Di dalam kamar, Arga menata bantal agar papanya lebih nyaman. “Istirahat yang baik, Papa. Nanti kalau ada apa-apa, kita di luar,” ujarnya sebelum menutup pintu perlahan.
Di ruang tamu, Dewa dan Bumi duduk di sofa, sementara Kala mondar-mandir dengan gelisah. Suasana panik masih menyelimuti mereka, dan Dewa akhirnya memecah keheningan. “Kak Arga, aku mau tanya. Kenapa Papa nggak marah sama kamu waktu kamu berkelahi?”
Arga yang sedang memijat pelipisnya, mengangkat wajah dan menatap Dewa. “Papa tahu alasan aku berkelahi. Karena aku membela Diri dan juga serra,” jawab Arga, suara sedikit lebih tegas.
“Serra?” Dewa mengernyitkan dahi. “Kok bisa jadi sampai berantem?”
Bumi, yang sebelumnya diam, ikut bicara. “Iya, Kak. Berantem itu nggak baik. Tapi, kenapa Papa malah membela Kak Arga? Biasanya Papa marah kalau kita berkelahi.”
Arga menghela napas. “Papa sudah bilang bahwa berkelahi bukan cara yang tepat. Tapi mungkin dia lihat bahwa aku melakukannya untuk melindungi Serra dan juga membela harga diriku. Itu yang dia hargai,” ujarnya.
Kala menghentikan langkahnya dan mendekat. “Tapi tetap saja, Kak. Berantem itu berbahaya”
“ tapi kadang kita harus menunjukkan bahwa kita nggak takut. Papa juga pernah bilang, jika ada yang mengancam orang yang kita sayang, kita harus berani berdiri dan melindungi mereka,” Arga menjelaskan. Dia teringat akan pembicaraannya dengan Baskara yang selalu mengajarkan arti keberanian dan melindungi orang yang kita cintai.
“Bisa juga sih, Kak. Tapi, jangan sampai kita semua jadi berantem kayak kamu,” Bumi menimpali, mencoba meredakan suasana.
Dewa mengangguk setuju. “Iya, kita harus pikirkan cara yang lebih baik.” Dewa mengusulkan.
Arga tersenyum bangga melihat adik-adiknya berpikir dengan kepala dingin. “Bagus, itu ide yang tepat.”
Kala mengangguk, “Aku harap semuanya baik-baik saja. Papa pasti akan mengerti. Dan semoga dia cepat sembuh.”
Mereka bertiga duduk di ruang tamu, berusaha menunggu Baskara pulih sambil merencanakan langkah selanjutnya untuk menghadapi masalah di sekolah.
Beberapa saat kemudian, Arga selesai menghubungi dokter dan memberi tahu bahwa dokter akan segera datang. Dia kembali ke kamar dan melihat Papa-nya terbaring dengan mata terpejam, tampak berusaha untuk tidur.
“Papa, dokter akan datang sebentar lagi. Kita akan memastikan semuanya baik-baik saja,” kata Arga pelan, mencoba tidak mengganggu ketenangan di kamar.
Baskara membuka matanya, sedikit terkejut. “papa sudah bilang, papa baik baik saja, ” jawabnya, berusaha tersenyum meski terlihat lelah.
Kala yang duduk di sebelah tempat tidur, menggeleng. “Kami semua khawatir. Kami tidak ingin Papa sakit sendirian. Kami mau Papa merasa lebih baik.”
“Terima kasih, Nak. Kalian benar-benar baik,” jawab Baskara, suara penuh kehangatan. “Tapi papa akan baik-baik saja, kalian tidak perlu khawatir.”
Bumi mengangkat alis. “Papa, ini tentang kesehatan Papa. Jadi, sebaiknya kita ikuti apa yang dokter katakan.”
Baskara menghela napas. Dia bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata anak-anaknya. “Oke, papa mengerti. Kalau memang itu buat kalian tenang, papa ikutin kalian aja” jawabnya, merelakan.
Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk. Arga cepat-cepat membuka pintu dan melihat dokter keluarga mereka, Dr. Lisa, berdiri di ambang pintu dengan senyum hangat. “Selamat Malam”
“malam dokter, silahkan masuk” Arga langsung menyambut dokter Dengan sangat ramah dan menunjukkan Kamar papanya.
Arga menunjuk ke arah Baskara, yang duduk dengan lemah di tempat tidur. “Dok, ini Papa saya. Dia tidak enak badan,” katanya, suaranya menunjukkan kecemasan.
Dr. Lisa melangkah masuk dan menghampiri Baskara. “selamat Malam Pak Baskara. Ada keluhan apa ya?” tanyanya dengan lembut.
“ Saya hanya merasa sedikit lelah,” jawab Baskara sambil berusaha duduk tegak.
“Baiklah, Saya periksa dulu ya pa” kata Dr. Lisa. Dia mengambil stetoskop dan mulai memeriksa denyut jantung dan tekanan darah Baskara. “Hmm, tekanan darah Anda sedikit rendah. Sepertinya Anda perlu istirahat lebih banyak. Apa Anda merasa pusing atau mual?”
Baskara menggeleng. “Tidak, Dok. Saya hanya merasa sedikit lelah,” katanya sambil berusaha bersikap tenang meskipun hatinya berdebar.
“Baiklah, saya akan memberikan beberapa vitamin dan menyarankan Bapak untuk banyak istirahat. Jika gejala ini berlanjut, Bapak harus kembali untuk pemeriksaan lebih lanjut,” jelas Dr. Lisa sambil menulis resep.
Kala dan Bumi duduk mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Arga merangkul bahu Papa-nya. “Papa, pasti akan lebih baik setelah ini, kan?” tanya Arga dengan nada berharap.
“Ya, tentu saja. Terima kasih, Nak,” jawab Baskara, merasa bersyukur atas perhatian anak-anaknya.
Setelah pemeriksaan selesai, Dr. Lisa memberikan beberapa obat dan vitamin. “Pastikan pak Baskara mengikuti saran saya ya, saya ingin mendengar kabar baik dari pak Baskara setelah ini,” katanya sebelum berpamitan.
“Terima kasih, Dok,” jawab Arga sambil mengantar Dr. Lisa keluar.
Setelah dokter pergi, suasana di dalam kamar terasa lebih tenang. Baskara merebahkan tubuhnya kembali ke kasur, merasa sedikit lega meski masih lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara CINTA & TRAUMA
Romansaperjalanan Kisah seorang laki-laki yang mengejar Cinta sejatinya untuk memendam rasa Traumnya. . . . PERAN DIAMBIL DARI MAGIC5 Baskara=Fathir Rossa=Salma Arga=Rahsya Kala=Gibran Bumi=Noah Dewa=Irsyad Serra=Naura Clara=Adara Giovani=Dika Rangga=Mi...