kegelisahann hati

45 2 0
                                    

Setelah selesai sarapan, suasana pagi yang sibuk kembali melingkupi rumah Baskara. Anak-anaknya, Arga, Kala, Dewa, dan Bumi, mulai bersiap-siap berangkat ke sekolah. Mereka semua mengenakan seragam sekolah dengan rapi, sementara Baskara masih berada di kamarnya, memastikan jas kantornya terpasang sempurna. Meskipun anak-anaknya masih merasa khawatir, mereka sudah pasrah karena tahu ayah mereka keras kepala.

“Udah siap semua?” tanya Arga sambil merapikan tasnya. Dia menatap Kala yang sibuk mengenakan helm.

Kala mengangguk sambil memeriksa motor. “Aman. Ayo, Dewa, Bumi, naik motor”

Dewa dan Bumi, yang masih sibuk dengan sepatu mereka, bergegas mendekati Kala. “Siap, Kak!” seru Bumi dengan semangat, sementara Dewa hanya tersenyum tipis. Mereka berdua sudah terbiasa naik motor bersama kakak-kakaknya, jadi ini sudah jadi rutinitas biasa.

Sementara itu, Baskara keluar dari kamarnya dengan tampilan yang seperti biasa, penuh wibawa. Jas hitam yang rapi, sepatu kulit yang mengilap, dan rambut yang disisir sempurna. Meskipun masih tampak agak pucat, ia tetap terlihat tegas.

Saat Baskara menuju ke garasi, ia melirik ke arah anak-anaknya yang sibuk dengan motor. “Hati-hati di jalan, jangan kebut-kebutan,” ujarnya dengan suara tenang.

“Siap, Pa!” jawab Arga sambil mengangguk, meski dalam hati ia masih menyimpan kekhawatiran tentang kondisi ayahnya. Namun, Arga paham kalau Baskara tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anaknya.

Setelah semua siap, Arga dan Kala memulai perjalanan mereka. Kala mengemudi motor sambil membonceng Dewa, sementara Arga membawa Bumi. Mereka berempat melaju pelan meninggalkan halaman rumah. Di belakang mereka, Baskara masuk ke dalam mobil pribadinya. Mesin mobil menggeram lembut saat ia memutar kunci, dan perlahan-lahan mobil mewahnya mulai meluncur keluar dari garasi.

Di dalam mobil, Baskara memandang keluar jendela, merasakan pagi yang segar meskipun tubuhnya masih terasa lelah. Ada sekelebat rasa pusing yang masih tersisa, tetapi dia berusaha untuk mengabaikannya. Baginya, tanggung jawab sebagai pengusaha dan kepala keluarga selalu lebih diutamakan.

Sambil menyetir, pikirannya melayang sejenak kepada apa yang anak-anaknya katakan tadi pagi. Meskipun mereka terus mengomel, Baskara merasa bangga karena mereka begitu peduli padanya. Namun, pekerjaannya yang menumpuk di kantor membuatnya tak bisa begitu saja beristirahat.

Anak-anaknya dan Baskara melaju menuju sekolah dan kantor masing-masing. Meski hari itu dimulai dengan kekhawatiran, rutinitas tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Sesampainya di sekolah, Arga, Kala, Dewa, dan Bumi berjalan bersama menuju kelas masing-masing. Mereka sibuk berbicara tentang pelajaran dan kegiatan hari itu, namun pikiran Arga masih tertuju pada kondisi ayahnya yang memaksa tetap bekerja meski jelas-jelas belum pulih sepenuhnya.

Di tengah perjalanan, Arga tiba-tiba bertemu dengan Bu Rossa yang sedang berjalan menuju ruang guru. Rossa langsung tersenyum melihat Arga. “Arga. Gimana papamu?.”

Arga yang awalnya berjalan santai tiba-tiba menghentikan langkahnya. Wajahnya berubah sedikit masam. “ Papa..... Ya, gitu deh... keras kepala, tetap kerja padahal kondisinya jelas-jelas belum sembuh,” jawab Arga dengan nada kesal, sambil menundukkan kepala seolah enggan membahasnya.

Rossa terdiam sejenak, heran melihat Arga yang biasanya tenang tiba-tiba menunjukkan sikap kesal seperti itu. “Papa kamu masih kerja pagi ini? Padahal sepertinya beliau butuh istirahat…”

Arga menghela napas panjang, menatap ke arah Rossa dengan mata yang mencerminkan rasa frustrasi. “Iya, Bu. Tetep maksa kerja. Udah dibilangin buat istirahat, tapi Papa nggak mau denger. Katanya tanggung jawab lebih penting.”

Rossa tersenyum simpul, meski dalam hati ia ikut khawatir. Ia tahu Baskara adalah orang yang berdedikasi, tapi juga keras kepala soal pekerjaannya. “Wajar kalau kamu kesal, Arga. Tapi mungkin Papa kamu hanya merasa harus tetap menunjukkan tanggung jawabnya meskipun keadaannya seperti itu.”

“Ya, tapi kalau sakitnya tambah parah gimana?” balas Arga, nada suaranya semakin berat. “Kadang Papa nggak sadar kalau dia juga butuh istirahat, bukan Cuma kerja terus.”

Rossa menatap Arga dengan tatapan penuh pengertian. “Papa kamu orang yang kuat, Arga. Tapi dia juga butuh waktu untuk pulih. Kamu sudah benar mengingatkannya. Mungkin nanti dia akan mendengarkan kalau terus diingatkan dengan cara yang baik.”

Arga hanya mengangguk pelan. “Mungkin... Tapi tetap saja bikin kesal kalau terus keras kepala kayak gitu.”

Rossa tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Kamu mirip Papa kamu. Keras kepala, tapi penuh perhatian. Ibu yakin Papa kamu bangga punya anak yang begitu peduli.”

Arga menggaruk kepalanya, sedikit tersipu mendengar pujian itu. “Makasih, Bu.”

“Kalau ada apa-apa, jangan ragu buat cerita, ya. Ibu ada di sini kalau kamu butuh,” kata Rossa sambil menepuk lembut bahu Arga. Setelah itu, dia pamit dan melanjutkan langkahnya menuju ruang guru.

Arga berdiri sejenak, memandang ke arah Rossa yang menjauh. Ada perasaan campur aduk di dalam dirinya. Di satu sisi, ia merasa lega bisa sedikit meluapkan rasa frustrasinya, tapi di sisi lain, kekhawatirannya pada ayahnya masih belum hilang.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang