susah Diatur

45 2 0
                                    

Di sisi lain, Baskara yang merasa bosan dan tidak nyaman di rumah sakit tiba-tiba keluar dari kamar rawatnya. Dia merasa tidak ingin terus-terusan berada di sana, apalagi dengan kondisi yang masih lemah, ia merasa lebih baik pulang dan melanjutkan aktivitasnya dari rumah. Dengan langkah yang tertatih, Baskara berjalan mencari Bryan untuk mengurus segala keperluan kepulangannya.

Namun, saat Baskara keluar dari ruangan, Bryan tidak ada di tempat biasanya. Baskara merasa sedikit kesal, tapi dia tetap mencoba berjalan lebih jauh untuk mencari Bryan. Tapi sayangnya, kondisi fisiknya yang masih lemah tidak mendukung keinginannya. Setiap langkah terasa berat, tubuhnya mulai oleng, dan keseimbangannya terganggu.

Saat Baskara hampir terjatuh, untungnya Arsya, yang kebetulan sedang lewat, melihat keadaan Baskara. Arsya dengan sigap langsung menangkap Baskara sebelum tubuhnya benar-benar jatuh ke lantai. “Pak Baskara, bapak mau ngapain jalan sendirian? Bapak masih lemah, ini bisa bahaya,” ujar Arsya dengan nada khawatir.

Baskara yang terkejut dan lemah hanya bisa menghela napas panjang. “Saya nggak betah di sini, sya. Saya mau pulang sekarang juga. Urus kepulangan saya, biar saya bisa istirahat di rumah.”

Arsya menggelengkan kepala, sedikit bingung tapi juga khawatir. “Tapi, Pak, kondisi Bapak belum memungkinkan. Kalau Bapak maksa pulang sekarang, bisa lebih buruk. Mending Bapak istirahat dulu di sini, saya panggil Bryan ya?”

Meski Baskara ingin membantah, tubuhnya benar-benar sudah tidak bisa diajak kompromi. Dia menahan rasa pusing yang kembali menyerang, akhirnya ia terpaksa setuju.

Arsya membantu Baskara kembali ke ruang rawatnya dengan hati-hati, masih terkejut melihat betapa keras kepalanya Baskara yang jelas-jelas belum pulih, tapi tetap memaksakan diri untuk pulang.

Arsya dengan hati-hati menuntun Baskara kembali ke kamarnya. Setelah memastikan Baskara duduk dengan nyaman di tempat tidur, Arsya bergegas pergi untuk mencari Bryan. Namun, baru saja dia melangkah keluar dari ruangan, Bryan muncul dengan santai seperti tidak ada apa-apa.

Melihat Bryan yang datang dengan wajah tenang tanpa merasa ada yang salah, Arsya langsung meledak. “Bryan! Kamu ke mana aja? Pak Baskara tadi hampir jatuh! Kamu tuh tanggung jawabnya ngurus beliau, jangan sampai beliau keliyaran  dalam kondisi kayak gini!” Arsya menegur dengan suara yang cukup keras, jelas kesal karena hampir terjadi sesuatu yang berbahaya pada Baskara.

Bryan yang terkejut dengan teguran itu, buru-buru membela diri. “Maaf, maaf! Aku tadi Cuma ke lantai bawah sebentar buat cari makan. Nggak tahu kalau Pak Baskara bakalan nekat keluar kamar sendiri.”

“Ya, tapi kamu harus lebih perhatian dong! Pak Baskara ini kondisinya belum stabil. Kalau sampai tadi nggak ketangkep sama aku, ga tau deh apa yang terjadi!” Arsya masih berusaha menahan amarahnya.

Bryan mengangguk, menunduk sedikit merasa bersalah. “Iya,  maaf. Aku nggak nyangka beliau bakal sekekeuh ini buat pulang.”

Arsya hanya menghela napas panjang, masih agak kesal tapi mencoba meredam emosinya. “Ya udah, sekarang kamu temenin Pak Baskara. Jangan biarin dia jalan sendirian lagi.”

Bryan dengan cepat mengiyakan, lalu masuk ke dalam kamar untuk menemui Baskara, sementara Arsya menggelengkan kepala, masih tak percaya dengan situasi yang barusan terjadi.

Di dalam ruangan, Baskara sudah menunggu dengan wajah yang jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Begitu Bryan masuk, tanpa basa-basi Baskara langsung berbicara dengan nada tegas, “Bryan, saya mau pulang hari ini. Urus semuanya sekarang.”

Bryan yang baru saja mendapat teguran dari Arsya langsung terdiam sebentar, mencoba meresapi apa yang baru saja didengar. “Pak, kondisi Bapak masih belum stabil. Dokter pun udah bilang kalau Bapak harus istirahat beberapa hari lagi di sini. Kalau Bapak nekat pulang sekarang, bisa makin parah nanti.”

Arsya yang baru masuk setelah Bryan, menambahkan, “Benar, Pak. Bapak masih lemah, terus barusan Bapak hampir jatuh. Kami khawatir kalau Bapak pulang terlalu cepat, nanti malah memperburuk keadaan.”

Namun, Baskara yang keras kepala tetap pada pendiriannya. “saya sudah bilang,saya baik-baik aja. Saya harus segera kembali bekerja. Masih banyak yang harus diselesaikan. Proyek itu nggak bisa nunggu!”

Bryan mencoba berbicara lebih lembut, “Pak, kita semua paham kalau Bapak orang yang sangat bertanggung jawab dan pekerja keras. Tapi saat ini, kesehatan Bapak yang paling penting. Proyek itu bisa kita urus dulu sementara Bapak sembuh. Arsya dan saya bisa handle sementara.”

Baskara mendengus, “saya tahu kalian bisa urus proyek, tapi saya yang bertanggung jawab penuh. Kalau saya nggak ada di sana, saya nggak yakin proyek itu akan selesai sesuai target.”

Arsya mencoba lebih tegas, “Pak, ini soal kesehatan, bukan soal pekerjaan. Kalau Bapak memaksakan diri, siapa yang akan urus semuanya kalau Bapak malah sakit lebih lama? Proyek bisa kita urus, tapi kesehatan Bapak nggak bisa diganti.”

Baskara mulai kehilangan kesabaran. Wajahnya semakin serius dan nadanya semakin dingin, “saya sudah bilang, saya mau pulang hari ini juga.”

Bryan berusaha menenangkan situasi, tapi juga tetap menolak, “Pak, tolong dengarkan kami. Kalau Bapak pulang sekarang, kami bener-bener khawatir. Dokter juga nggak ngizinin Bapak pulang dalam keadaan kayak gini.”

Perdebatan mulai memanas. Baskara, yang merasa semua orang menentang keputusannya, akhirnya mengeluarkan ancaman. Dengan suara dingin dan tajam, dia berkata, “Kalau kalian nggak nurutin keinginan saya, jangan harap kalian bisa terus kerja di sini. Saya bisa pecat kalian berdua kapan aja.”

Bryan dan Arsya terdiam sejenak, terkejut dengan ancaman yang keluar dari mulut Baskara. Bryan mencoba menahan emosi, sambil tetap menjaga nada suaranya. “Pak, ini semua demi kebaikan Bapak. Kami di sini karena peduli sama Bapak, bukan karena kami mau menentang.”

Namun, Baskara tidak bergeming. “Kalau kalian memang peduli, kalian akan lakukan apa yang saha minta. Urus kepulangan saya, atau kalian berdua bisa cari pekerjaan lain.”

Arsya dan Bryan saling pandang, bingung harus berbuat apa. Mereka tahu Baskara sangat keras kepala, tapi mereka juga tidak ingin membiarkan bos mereka membahayakan kesehatannya sendiri.
Setelah ancaman itu, suasana menjadi sangat tegang. Bryan menelan ludah, mencoba tetap tenang meski ancaman dari Baskara masih terngiang di telinganya. Arsya yang biasanya lebih vokal, kali ini memilih diam sambil mengamati Bryan.

“Baik, Pak,” akhirnya Bryan bicara dengan nada lebih pelan. “Kami akan urus semuanya, tapi kami tetap berharap Bapak mempertimbangkan untuk istirahat lebih lama. Setidaknya biar kondisi Bapak benar-benar pulih dulu.”

Baskara menghela napas panjang, merasa frustrasi tapi juga lega karena akhirnya mereka mau menurut. “Cepat urus semuanya. Jangan banyak ngomong,” katanya dengan nada lebih tenang tapi tetap tegas.

Arsya yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Bryan, aku aja yang ngurus, lu disini aja jagain pk baskara dulu”
Bryan mengangguk, tapi wajahnya masih tampak ragu. Setelah Arsya keluar ruangan, dia kembali menatap Baskara. “Pak, saya tahu Bapak nggak suka kami menentang. Tapi, kami benar-benar khawatir. Saya harap Bapak ngerti kalau kami Cuma mau yang terbaik.”

Baskara memalingkan wajah, jelas masih belum mau menerima saran dari siapa pun. “saya tahu niat kalian baik, tapi saya juga tahu apa yang saya butuhkan. Jadi, cukup berkomentar.”

Bryan menghela napas panjang, merasa percuma untuk mendebat lebih jauh. Dalam hati, dia hanya berharap Baskara tidak membuat keputusan yang akan memperburuk keadaannya.

Setelah beberapa saat, Arsya kembali dengan surat-surat administrasi yang telah diurus. Dia masuk ke ruangan dengan wajah penuh keraguan. “Semua sudah beres, Pak. Bapak bisa keluar hari ini,” katanya sambil menyerahkan berkas-berkas yang perlu ditandatangani.

Baskara menerima berkas-berkas itu tanpa banyak bicara. Dia langsung menandatangani surat kepulangan sambil mengabaikan tatapan cemas dari Bryan dan Arsya. “Terima kasih,” katanya singkat, lalu bangkit berdiri dengan bantuan tongkat infus yang masih terpasang di tangannya.

“Pak, saya minta maaf,” Bryan akhirnya bicara, suaranya penuh rasa bersalah. “Tapi kami nggak bisa biarkan Bapak pulang tanpa memastikan ada yang menemani Bapak selama di rumah.”

Baskara menghela napas berat. “saya nggak butuh penjaga, Bryan. Saya bisa jaga diri”

“Tapi, Pak—” Arsya mencoba menyela, namun Baskara memotongnya.

“Arsya! , kalau kalian mau tetap kerja sama saya, kalian ikuti perintah saya. Jangan buat saya mempertanyakan kemampuan kalian,” ucapnya dengan nada tegas. “saya ingin pulang, ya pulang!.”

Bryan dan Arsya saling bertukar pandang, tak berani berkata apa-apa lagi. Akhirnya, dengan berat hati, mereka memutuskan untuk patuh. Mereka tahu Baskara keras kepala, dan mencoba mendebatnya lebih lanjut hanya akan memperburuk situasi.

“Baik, Pak,” kata Bryan dengan nada pasrah. “Kami akan siapkan mobilnya.”

Setelah itu, Bryan dan Arsya keluar dari ruangan untuk menyiapkan segala sesuatunya, meninggalkan Baskara yang tetap bersikeras untuk pulang. Mereka berdua tahu bahwa Baskara mungkin belum sepenuhnya pulih, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengubah pikirannya.

Setelah Bryan dan Arsya keluar, Baskara duduk kembali di tepi ranjang. Dia mengusap wajahnya, lelah tapi tak mau memperlihatkan kelemahannya. Pikirannya terus berkutat pada proyek yang belum selesai dan tanggung jawab yang menumpuk di kantor. Istirahat bukanlah pilihan yang bisa dia pertimbangkan saat ini.

Tak lama kemudian, Bryan kembali masuk, melaporkan bahwa mobil sudah siap di depan. “Pak, mobil sudah siap. Tapi tolong, kalau merasa nggak kuat, kita bisa bawa dokter ke rumah.”

Baskara menggeleng pelan. “Nggak usah, saya baik-baik aja”

Bryan ingin berdebat lagi, tapi tahu itu sia-sia. Dia hanya mengangguk, “Baik, Pak. Kalau begitu, kita pulang sekarang?”

Baskara berdiri, menahan sedikit rasa pusing yang melanda, tapi dia tetap memaksakan diri untuk berjalan ke pintu. Saat dia melangkah keluar, Arsya sudah menunggu di lorong dengan wajah cemas.

“Pak Baskara, saya bener-bener minta maaf tadi nggak sempat jagain Bapak. Tapi kalau Bapak masih merasa lemas, sebaiknya kita nggak buru-buru pulang,” kata Arsya dengan suara rendah, masih mencoba untuk meyakinkan bosnya.

Baskara hanya mengangguk sekilas.

Dengan langkah yang tetap tegap, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, Baskara berjalan menuju mobil dengan Bryan dan Arsya di belakangnya, masih dengan kekhawatiran yang tak bisa mereka sembunyikan. Meskipun Baskara terlihat tangguh, mereka tahu ada sesuatu yang tak beres—tapi tak ada yang bisa menghentikan dia.

Saat mereka sudah di mobil, Bryan duduk di kursi depan, sementara Baskara duduk di belakang dengan mata tertutup, berusaha mengatasi rasa pusing yang sesekali menghantamnya.

Di perjalanan pulang, Bryan melirik lewat kaca spion, memperhatikan Baskara yang berusaha tetap kuat. “Pak, mungkin ini saatnya Bapak serius mempertimbangkan istirahat. Kalau terus dipaksakan begini, saya khawatir kesehatannya bakal lebih buruk.”

Baskara membuka matanya sedikit, menatap ke luar jendela. “saya udah bilang, Bryan. Aku tahu batasanku.”

Bryan hanya bisa mengangguk pasrah, tahu bahwa bosnya tak akan mendengar alasan apapun yang terkait dengan kesehatan jika pekerjaannya belum selesai. Tapi di dalam hatinya, dia tak bisa menyingkirkan kekhawatiran yang semakin besar terhadap kondisi Baskara.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang