Merasa bersalah

58 2 0
                                    

Bryan dan Arsya duduk di kursi tunggu rumah sakit, cemas menunggu kabar tentang kondisi Baskara. Ruang gawat darurat dipenuhi suara alat medis dan langkah-langkah cepat perawat yang berlalu-lalang. Meskipun gelisah, mereka sepakat untuk tidak memberi tahu anak-anak Baskara terlebih dahulu, dengan harapan agar fokus pada pelajaran mereka di sekolah.

“Seharusnya kita menghubungi mereka,” kata Bryan, menatap pintu ruang gawat darurat. “Tapi gue khawatir itu hanya akan membuat mereka panik. Mereka sedang belajar, dan ini bisa mengganggu konsentrasi mereka.”

“Ya, gue setuju,” jawab Arsya. “Lebih baik kita tunggu sampai kita mendapatkan kabar dari dokter. Jika ada yang serius, baru kita kasih tahu mereka.”

Keduanya terdiam, membiarkan ketegangan meliputi mereka. Bryan mencoba mengalihkan pikirannya dengan mengeluarkan ponsel dan memeriksa pesan-pesannya, tetapi pikirannya tetap melayang kepada Baskara. “gue ga pernah melihat pak Baskara seperti ini sebelumnya. Biasanya beliau sangat kuat” kata Bryan, menggelengkan kepala.

“Memang. Dia selalu terlihat kuat, tapi mungkin kita tidak tahu apa yang sebenarnya beliau hadapi,” balas Arsya, menatap ke arah pintu darurat.

Tidak lama setelah itu, seorang dokter muncul dari ruang gawat darurat. Keduanya segera berdiri dan mendekatinya. “Dokter, bagaimana kondisi Pak Baskara?” tanya Bryan dengan nada cemas.

Dokter itu mengambil napas sejenak sebelum menjawab. “Pak Baskara mengalami kelelahan ekstrem dan gejala stres berat. Kami telah memberikan perawatan dan beliau belum sepenuhnya stabil. Tapi kami ingin melakukan beberapa pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada masalah serius yang lain.”

Mendengar itu, Bryan dan Arsya merasa sedikit lega, tetapi kekhawatiran masih menyelimuti pikiran mereka. “kita bisa masuk? ” tanya Arsya.

“pasien masih membutuhkan waktu untuk istirahat, Tunggu saja dulu, sambil persiapkan Kamar rawat” jawab dokter sebelum melanjutkan ke ruang perawatan.

Bryan dan Arsya kembali duduk, masih merasa cemas, namun setidaknya mereka tahu bahwa Baskara dalam keadaan yang lebih baik. “Kalau gitu, jangan kasih tau anak-anaknya dulu sebelum dipindahkan keruanh rawat, agar beliau istirahat dulu,” saran Bryan.

“Setuju,” jawab Arsya. “Sekarang, kita tunggu kabar lebih lanjut. Gue berharap beliau cepet sembuh”

Keduanya menunggu dengan penuh harapan, berharap Baskara bisa segera pulih dan kembali kepada keluarganya.

Bryan berdiri di depan kaca UGD, melihat sosok bosnya, Baskara, yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Alat-alat medis berdenting lembut di sekitar, menandakan bahwa Baskara sedang dalam pemantauan ketat. Oksigen mengalir ke hidungnya, dan layar EKG bergetar lambat, menunjukkan detak jantung yang tidak stabil. Melihat semua itu, hati Bryan terasa berat.

“saya tak percaya pak, bapak bisa seperti ini,” gumamnya pelan, tidak ingin mengganggu ketenangan yang meliputi ruang UGD.

Bryan menempelkan telapak tangan ke kaca, seolah ingin menyentuh Baskara. “gue merasa bersalah. Seharusnya gue bisa melihat tanda-tanda ini lebih awal. Mungkin jika kita lebih peduli, beliau tidak akan seperti inj,” katanya dengan nada menyesal.

“Apa pun yang terjadi, kita hanya bisa mendoakan kesehatan nya,” kata Arsya tegas.

Bryan mengangguk, berusaha menguatkan diri. “gue akan lebih perhatian sama beliau. Dia tidak hanya bosku; dia adalah orang yang paling berjasa dalam perjalanan Karir gue”

Mereka berdua melanjutkan mengawasi Baskara, berharap bahwa sang bos segera pulih dari keadaan ini. Di dalam, Baskara terbaring dengan mata tertutup, tidak menyadari betapa besar perhatian dan kekhawatiran yang ditujukan kepadanya oleh orang-orang di sekelilingnya. Bryan berharap, semoga saat Baskara bangun, dia bisa merasakan betapa banyak orang yang peduli padanya dan siap membantu mengangkat beban yang selama ini dipikul sendirian.
Tiba-tiba, Bryan merasakan getaran di dalam saku celananya. Dia melihat layar ponselnya dan melihat nama Arga muncul sebagai penelepon. Tanpa ragu, dia mengangkat telepon tersebut. “Arga” tanyanya, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya cemas.

“om Bryan! Di mana Papa?” suara Arga terdengar panik di ujung telepon. “aku sudah coba telepon, tapi ga aktif. Papa gapapa kan? ”

Bryan menghela napas dalam-dalam, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. “Papa kamu… sedang dirawat di rumah sakit,” katanya, berusaha tidak membuat Arga semakin panik. “papa kamu pingsan di lokasi proyek. Kami membawanya ke sini untuk mendapatkan perawatan.”

“Pingsan?” Arga terkejut, suaranya bergetar. “terus sekarang gimana? Dia sudah sadar?”

Bryan bisa merasakan kekhawatiran yang mendalam dalam suara Arga. “Papa kamu belum sadar sepenuhnya, tapi dokter sedang merawatnya. Kami di sini bersamanya, dan kami akan memastikan dia mendapatkan perawatan yang terbaik,” jelas Bryan, berusaha menenangkan.

“Di mana tepatnya dia sekarang?” Arga bertanya, nada suaranya mulai tenang, tetapi masih terdengar cemas.

“Dia ada di UGD,” jawab Bryan. “Tapi, Arga, om minta kamu untuk tidak terburu-buru ke sini. Sekolah kamu tetap penting”

“Aku tidak peduli! Aku mau ke sana sekarang!” Arga menegaskan, suaranya penuh tekad. “Aku harus tahu bagaimana keadaan papa”

Bryan bisa merasakan ketegangan dalam suara Arga. “tapi kamu hati-hati di jalan ya, Om akan kasih infoin terus perkembangan papa kamu” kata Bryan, mencoba membujuk.

“Terima kasih, om Bryan. Tolong jagain papa dulu ya” Arga berkata sebelum menutup telepon. Bryan menghela napas berat, merasakan beban tanggung jawab untuk menjaga Baskara sekaligus memberikan kabar yang tepat kepada anak-anaknya.

“Arga terlihat khawatir,” gumam Bryan kepada Arsya.

“Ya, wajar lah, Arga kan yang paling deket sama papanya” jawab Arsya.

Di sisi lain, Arga langsung pergi ke ruang guru setelah menutup telepon dengan Bryan. Dia berusaha tetap tenang, meskipun di dalam hatinya sudah tidak sabar untuk segera ke rumah sakit. Saat tiba di depan kelas, dia melihat Bu Rossa sedang duduk di meja guru.

“Bu Rossa, saya minta izin pulang,” kata Arga, suaranya terdengar tegas, meskipun wajahnya memperlihatkan kecemasan.

Bu Rossa menoleh, melihat ekspresi panik di wajah Arga. “Ada apa, Arga? Kenapa kamu tiba-tiba mau pulang?” tanyanya, sedikit khawatir.

“Papa saya sakit. Tadi dia pingsan di proyek,” jawab Arga cepat. “Saya harus ke rumah sakit sekarang!”

“papa kamu pingsan? ….” Rossa tampak terkejut. “Baiklah, kamu boleh pulang. Tapi pastikan kamu dan adik-adikmu berhati-hati, ya.”

“Terima kasih ya, Bu!” Arga tidak menunggu lebih lama. Dia buru-buru berbalik dan mencari Bumi, Kala, dan Dewa yang sudah menunggu di luar kelas.

“Bumi, Kala, Dewa Kita harus pergi sekarang!” seru Arga, membuat ketiga saudaranya menoleh dengan bingung.

“kenapa panik gitu sih kak” tanya Dewa.

“Papa pingsan! Kita harus ke rumah sakit,” jawab Arga dengan nada mendesak.

“Serius?” Bumi langsung menimpali. “ya udah, kita berangkat sekarang!”

Kala yang juga terkejut mengangguk setuju. “Ayo cepat! Aku takut papa kenapa napa,” ujarnya.

Mereka berempat bergegas keluar sekolah, berjalan cepat menuju motor Arga. Dalam hati Arga merasa lebih tenang karena adik-adiknya ikut bersamanya. Dia tahu, mereka semua harus saling mendukung di saat-saat sulit seperti ini.
Rossa langsung terbangun dari lamunannya saat mendengar Arga ngomong tentang papanya yang pingsan. Hatinya berdebar kencang. “Kok bisa pingsan, ya? Jangan jangan kenapa napa lagi?” pikirnya sambil memegang ponsel yang bergetar.

Dia buru-buru melangkah menuju ruang guru, tapi Rangga tiba-tiba muncul di sampingnya dengan senyuman jahil. “Eh, Bu Rossa, kenapa kelihatan panik gitu? Lagi mikirin si siapa ya? Si Baskara itu?” tanya Rangga sambil menyenggol bahu Rossa.

“Gak ada urusan sama kamu,” jawab Rossa, berusaha menahan rasa kesalnya.

“Caper banget sih dia,” Rangga bersikap acuh. “Kenapa kamu peduli banget? Dia kan Cuma cari perhatian,” sambungnya sambil tertawa kecil.

Rossa mendengarnya dan langsung merasa darahnya mendidih. “Kamu enggak ngerti apa-apa! Dia itu…,” Rossa terdiam sejenak, bingung menjelaskan perasaannya. “Dia bukan Cuma orang biasa.”

“Ya udah deh, jangan baper,” Rangga menjawab dengan nada sarkastik. “Kalau dia beneran peduli sama kamu, dia pasti enggak pingsan di tengah proyek.”

Rossa menatap Rangga dengan tatapan tajam. “Kamu mau menjelekkan orang lain Cuma karena cemburu, ya? Baskara itu orang baik, Rangga. Coba sekali-sekali kamu lihat dari sisi lain.”

“Biarin aja. Lagian, gak usah terlalu ambil pusing sama dia. Nanti dia juga baik-baik aja,” kata Rangga, terlihat santai. “Cuma kebetulan doang.”

Rossa berusaha menahan amarahnya. “Kamu enggak ada perasaan sama Orang lain, Gak semua orang bisa kamu bisa lihat dari satu sisi, Rangga. Sekarang sy mau pergi ke rumah sakit, jadi jangan ganggu saia”

Tanpa menunggu jawaban Rangga, Rossa melanjutkan langkahnya, berusaha fokus pada apa yang ada di depan. Dalam hati, dia berharap Baskara baik-baik saja.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang