Keras kepala

53 2 0
                                    

Di rumah Baskara, suasana malam terasa hening. Semua anak-anaknya sudah terlelap di kamar masing-masing, namun di sebuah sudut rumah, tepatnya di ruang kerja, lampu masih menyala. Baskara terbangun mendadak sekitar jam dua dini hari. Matanya terasa berat, tetapi pikirannya masih dipenuhi dengan pekerjaan yang tertinggal. Dia tahu, ada banyak dokumen yang belum sempat dia selesaikan karena hari ini harus ke sekolah Arga.

Dengan perlahan, Baskara bangkit dari tempat tidurnya, memastikan agar tidak ada suara yang terlalu keras, agar tidak membangunkan anak-anaknya. Langkahnya pelan-pelan menuju ruang kerja, tempat di mana dia biasa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan urusan bisnis. Setibanya di sana, dia duduk di kursi kulit favoritnya, lalu membuka laptop yang sudah menanti.

“Harus selesai hari ini nih,” gumamnya pelan sambil menarik napas dalam-dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan pikirannya sempat terguncang karena trauma di jalan tol tadi, Baskara berusaha fokus. Pekerjaan tetap harus diselesaikan.

Sinar layar laptop menyorot wajahnya yang masih tampak pucat. Di luar, malam semakin larut, tetapi Baskara sudah terbiasa dengan pola ini. Begadang hingga subuh bukan hal asing baginya. Bekerja tanpa kenal lelah, terkadang bahkan melupakan istirahat. Namun, malam ini ada sesuatu yang berbeda. Pikiran Baskara masih terusik oleh bayangan masa lalu yang kembali muncul saat melewati tol tadi siang.

Tapi dia tidak ingin membiarkan itu mengganggu fokusnya. Setelah beberapa saat, ia mulai tenggelam dalam pekerjaan, mengetik dengan cepat, memeriksa laporan, dan menyusun strategi untuk perusahaannya. Waktu terus berjalan, tetapi tak satupun dari anak-anaknya yang menyadari bahwa ayah mereka begadang lagi, seperti biasanya.

Dewa, Bumi, Kala, dan Arga semuanya terlelap dalam tidur mereka. Mereka tidak tahu bahwa di tengah malam, papa mereka masih bekerja keras, menyelesaikan semua yang harus dia kerjakan tanpa mengeluh. Meskipun fisik Baskara kadang menjerit minta istirahat, dia tetap melanjutkan pekerjaannya hingga subuh, seperti sudah menjadi rutinitas baginya.

Ketika azan subuh mulai terdengar samar dari kejauhan, Baskara berhenti sejenak. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, memijat pelipisnya yang terasa pegal. “Setidaknya, satu urusan selesai,” gumamnya lelah. Namun matanya tetap waspada, dan semangatnya tidak pernah padam, meskipun tubuhnya terus berjuang melawan kelelahan.

Pagi itu, suasana rumah Baskara mulai hidup. Setelah menyelesaikan pekerjaannya hingga subuh, Baskara memutuskan untuk membangunkan anak-anaknya untuk salat Subuh berjamaah. Dia mengetuk pintu kamar mereka satu per satu.

“Arga, bangun. Sudah Subuh,” kata Baskara lembut, mengetuk pintu kamar anak sulungnya. Kemudian dia berpindah ke kamar Kala, Bumi, dan Dewa. Meski terasa berat, anak-anaknya tetap bangun, meski ada yang masih menguap lebar. Mereka berkumpul di ruang keluarga untuk menunaikan salat bersama.

Setelah salat, suasana pagi semakin sibuk. Anak-anak bersiap untuk sekolah, dan pembantu rumah mereka sudah menyiapkan sarapan di meja makan. Kala, Bumi, Arga, dan Dewa sudah mengenakan seragam sekolahnya, sambil menikmati roti dan susu yang sudah disediakan.

Namun, mereka semua terkejut ketika melihat sosok Baskara keluar dari kamar. Dia tampak begitu rapi mengenakan jas hitam yang biasa dia pakai untuk ke kantor, lengkap dengan dasi yang sudah terikat sempurna. Wajahnya masih sedikit pucat, tapi penampilannya tak kalah memukau.

“Papa?!” seru Arga yang pertama kali menyadari kehadiran ayahnya. Matanya membelalak kaget, diikuti oleh saudara-saudaranya.

“Papa kok udah rapi banget?  Papa ga istirahat aja dulu?” Kala menambahkan, nadanya penuh keheranan.

Bumi langsung meletakkan sendoknya dan menatap papanya dengan tajam. “Papa kan baru aja sakit semalam. Kenapa nggak istirahat dulu?”

Dewa ikut-ikutan berkomentar, “Iya, Pa. Masa langsung berangkat kerja lagi?”

Baskara hanya tersenyum kecil sambil melangkah menuju meja makan. “Papa baik-baik aja, kok. Lagian kerjaan di kantor juga harus diberesin, nggak bisa ditunda.”

“Papa tuh selalu gitu,” gerutu Arga, meski ia tahu sifat ayahnya yang keras kepala. “Tapi nggak bisa kayak gini terus, Pa. Kesehatan papa lebih penting.”

Baskara duduk di kursi, mengambil sepotong roti dan mulai makan. “Sudah, jangan khawatir. Papa bisa jaga diri.”

Kala mendesah panjang, masih tidak percaya dengan papanya yang selalu memaksakan diri. “Kalau papa sakit lagi gimana?”

Bumi menambahkan dengan tegas, “Papa nggak boleh kayak gini. Papa harus dengerin kita. Ini udah ga wajar pah.”

Baskara menelan makanannya dan memandang anak-anaknya dengan senyum sabar. “Papa tau, tapi tenang aja. Papa udah biasa kok begini. Yang penting kalian fokus sekolah, biar nggak ada yang ngulang tahun ini.”

Anak-anaknya saling menatap, jelas masih tidak puas dengan jawaban Baskara, tapi mereka tahu ayah mereka terlalu keras kepala untuk dipaksa beristirahat.
Baskara masih duduk santai di meja makan, menyelesaikan sarapannya dengan tenang, sementara anak-anaknya masih melontarkan keluhan mereka.

“Papa!, papa jangan gini terus dong,” kata Arga sambil meletakkan gelas susunya dengan sedikit keras di atas meja. “Kesehatan papa jauh lebih penting daripada kerjaan, lagian kantor juga bisa di urus om Bryan.”

Kala mengangguk setuju, “Iya, Pa. Kenapa sih papa nggak bisa sedikit aja waktu buat istirahat? Semalam papa udah hampir jatuh sakit.”

Bumi, yang biasanya lebih tenang, akhirnya ikut berbicara dengan nada serius. “Papa selalu bilang bisa jaga diri, tapi faktanya papa tetap aja maksa diri buat kerja. Papa nggak mikirin kita, ya?”

Dewa yang paling muda menatap papanya dengan cemas. “Kita kan nggak mau papa sakit, Pa...”

Baskara menatap anak-anaknya satu per satu. Dia tahu mereka semua khawatir, tapi keprofesionalannya sebagai kepala keluarga dan seorang pengusaha membuatnya sulit untuk meninggalkan tanggung jawab. “Dengar, kalian semua. Papa ngerti kalian peduli sama papa, tapi pekerjaan papa di kantor itu nggak bisa ditinggal begitu aja.”

“Papa, ini bukan soal kantor,” ujar Arga, suaranya mulai terdengar kesal. “Ini soal kesehatan papa. Kalau papa sakit parah, kantor juga nggak bakal ada artinya.”

Baskara menghela napas panjang, kemudian menegakkan tubuhnya. “Arga, Papa paham, tapi ada banyak hal yang harus diurus. Kalau Papa nggak kerja, siapa yang bakal ambil alih semuanya? Kalian?”

“Kami mungkin belum siap sekarang, tapi itu nggak berarti papa harus ngorbanin diri terus-menerus kayak gini,” Bumi berkata dengan nada tegas. “Papa juga manusia, punya batasan, punya lelah pah.”

Baskara tersenyum tipis, seolah menganggap masalah ini ringan, meskipun di dalam hatinya dia tahu ada benarnya apa yang dikatakan anak-anaknya. “Papa sudah menjalani hidup seperti ini bertahun-tahun. Ini cara Papa. Kalian nggak perlu khawatir berlebihan. Papa tahu kapan harus istirahat.”

Namun, respon itu hanya membuat anak-anaknya semakin kesal. Arga berdiri dari kursinya, menatap papanya dengan tatapan keras. “Papa selalu bilang gitu, tapi kita yang selalu harus lihat papa jatuh sakit. Sampai kapan, Pa? Sampai papa nggak kuat lagi?”

Kala menambahkan, “Pa, kita Cuma mau papa sehat. Kita Cuma mau papa Sehat aja, bukan uang atau apapun itu”

Baskara mengangguk, namun tetap pada pendiriannya. “Papa menghargai kalian semua yang khawatir, tapi profesionalitas Papa di tempat kerja itu penting. Kalau Papa nggak kerja, siapa yang jaga bisnis papa, ini juga buat kalian, kalau kantor papa hancur, kalian gimana?”

Anak-anak Baskara akhirnya hanya bisa mendesah, tahu betul sekeras apa kepala ayah mereka. Meski mereka terus mengomel, Baskara tetap kekeh untuk pergi bekerja. Kesehatan bagi Baskara memang penting, tetapi tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga dan pengusaha besar baginya jauh lebih penting.

“Sudah ya, kalian semua fokus saja ke sekolah. Jangan mikirin Papa terlalu banyak. Papa bisa urus diri sendiri.” Ujar Baskara sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduk, bersiap berangkat kerja.

Anak-anaknya hanya bisa saling menatap, merasa khawatir namun tak bisa berbuat banyak untuk mengubah keputusan ayah mereka.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang