kebiasaan lama

50 3 0
                                    

Rossa baru saja melangkah menuju area proyek ketika Arga menerima panggilan tak dikenal. Dengan cepat, dia mengangkat telepon itu, dan suara di seberang sana membuat jantungnya berdegup kencang.

“Arga? Ini Mega,” suara perempuan itu terdengar cemas. “Arga kamu kesini cepetan. Papa kamu… dia sedang di bar dan… dia tak sadarkan diri.”

Arga merasa seluruh dunia seolah runtuh seketika. “Apa? Di bar? Kenapa papa bisa di sana? Bukankah dia sudah berjanji untuk tidak kembali ke sana lagi?” Suara Arga mulai bergetar, kepanikan dan kemarahan bercampur aduk dalam dirinya.

“Iya, Tante tahu. Dia tidak seharusnya berada di sana. Aku baru saja melihatnya, dan dia tampak banyak pikiran. Aku sudah memanggil ambulans, tapi kamu harus cepat ke sini. Dia butuh kamu, Arga.”

Tanpa berpikir panjang, Arga menatap Rossa dengan penuh kesedihan dan khawatir. “Bu Rossa, Papa ada di bar! Kita harus segera ke sana!”

“Bar? Ngapain papa kamu di sana?” Rossa bertanya, merasa khawatir dengan keputusan Baskara.

“Tente mega bilang Papa pingsan, Ayo, kita harus cepat bu!” Arga menarik tangan Rossa, dan mereka berdua segera berlari ke motor.

Rossa merasakan kegelisahan di dalam hati, berpikir tentang semua yang telah terjadi. Dia menghidupkan mesin motor dan melaju dengan cepat menuju lokasi bar yang dimaksud.

Sesampainya di bar, suasana di dalam tampak ramai, tetapi di sudut ruangan, Rossa melihat Baskara tergeletak di lantai dengan beberapa orang yang mencoba membangunkannya. “Baskara!” teriak Rossa, segera berlari menuju sosok yang tergeletak itu.

Arga mengikuti di belakang, hatinya berdebar-debar melihat papanya dalam keadaan tak berdaya. “Papa!” teriaknya dengan suara penuh rasa panik.

Mega sudah menunggu mereka di sana, wajahnya terlihat khawatir. “Arga, tante sudah memanggil ambulans, sebentat lagi datang. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi papamu tampaknya telah minum terlalu banyak.”

“Ini semua salah Arga!” Arga merasa bersalah. “Seandainya arga ga bertengkar sama papa… mungkin papa ga akan pergi ke sini.”

Rossa berusaha menenangkan Arga, “Arga, jangan menyalahkan dirimu. Kita semua manusia. Yang terpenting sekarang adalah kita harus membawanya kerumah sakit.”

Rossa meraih tangan Baskara dan mengguncangnya lembut. “Baskara, bangun. Ini aku, Rossa”

Akhirnya, Baskara membuka matanya dengan sulit, menatap Rossa dan Arga dengan tatapan kosong. “Rossa… Arga…” suaranya nyaris tak terdengar.

Arga berlutut di samping papanya, merasa campur aduk antara cemas dan marah. “Pah, kenapa papa melakukan ini? Kenapa lapa datang ke tempat ini?”

Baskara hanya menggeleng, tetapi wajahnya tampak sangat lelah dan penuh penyesalan.

Saat menunggu, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Arga menatap wajah papanya, berharap dia segera pulih dan mereka bisa berbicara dari hati ke hati tanpa ada lagi rahasia yang terpendam.

Dalam ambulans yang melaju cepat menuju rumah sakit, Rossa duduk di samping Baskara yang terbaring lemah. Perasaannya campur aduk; di satu sisi, dia sangat khawatir akan keadaan Baskara, tetapi di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan rasa kecewa yang menyelimuti hatinya. Bagaimana bisa seseorang yang dia cintai terjerumus kembali ke dalam kebiasaan lamanya?

Saat ambulans berbelok, Baskara mulai membuka matanya sedikit demi sedikit. Dalam keadaan setengah sadar, dia melihat wajah Rossa yang tampak cemas. “Rossa…” suaranya parau. “Kamu di sini?”

Rossa mencoba tersenyum meski hatinya berat. “Iya, Baskara. Aku di sini. Kita sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Kamu  gapapa kan?”

Baskara menggeliat sedikit, tetapi dia merasakan sakit kepala yang hebat. “Maaf… aku tidak ingin kamu melihatku seperti ini.” Dia tahu Rossa pasti kecewa padanya, dan rasa bersalah itu semakin menghimpitnya.

“Baskara, ini bukan saatnya untuk bahas itu, Yang penting sekarang adalah kamu bisa sehat kembali,” jawab Rossa, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya teriris.

“Seharusnya aku tidak pergi ke sana…” suara Baskara semakin melemah. Dia merasakan dampak dari kebiasaannya yang buruk. “Aku tidak ingin mengecewakanmu.”

Rossa menghela napas, menahan air mata yang ingin mengalir. “Aku ingin percaya padamu, Baskara. Tapi ini…”

Baskara menatap Rossa dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Maafkan aku jika aku membuatmu kecewa.”

Rossa menunduk, berusaha mengendalikan emosinya, Tanpa menjawab apa apa.

Ambulans akhirnya berhenti di depan rumah sakit, Segera mereka membawa Baskara ke dalam, Rossa tetap di sampingnya, menggenggam tangan Baskara dengan penuh harapan bahwa ini adalah awal dari perubahannya.

Saat mereka masuk ke ruang gawat darurat, Rossa merasa hatinya berdebar. Dia ingin sekali Baskara cepat pulih, tetapi di dalam hati, dia juga berharap dia bisa menemukan jawaban untuk semua pertanyaan dan keraguan yang mengganggunya. Di saat-saat sulit ini, mereka harus berjuang bersama—dan semoga, setelah semuanya, cinta mereka bisa lebih kuat dari sebelumnya.

Setelah Baskara dibawa ke dalam ruang gawat darurat, Rossa duduk di bangku tunggu dengan perasaan campur aduk. Ketika dokter akhirnya muncul untuk memberikan kabar, Rossa merasa sedikit lega. Namun, saat dia kembali ke sisi Baskara, hatinya bergetar mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pria yang sangat dicintainya itu.

“Rossa,” suara Baskara terdengar lemah, tetapi cukup jelas untuk menarik perhatian Rossa. “Kamu sudah meliat nya kan, aku tau kamu kecewa”

Rossa bingung, berusaha memahami apa yang sebenarnya dimaksud Baskara. “ Ini bukan tentang aku melihatmu. Ini tentang bagaimana kamu tau  merawat dirimu sendiri.”

Baskara menarik napas dalam-dalam, tetapi napasnya terputus karena rasa sakit yang mengganggu. “Aku tidak ingin menghalangi kebahagiaan anak-anak kita. Aku tahu Arga sangat mencintai Serra. Jika aku melanjutkan hubungan kita, itu akan merusak semuanya.”

Kata-kata Baskara menggantung di udara, dan Rossa terdiam. Dia merasa campur aduk—antara bingung dan kecewa “Tapi, mas, ini bukan hanya tentang Arga dan Serra. Ini tentang kita juga. Kamu sudah sepakat ingin kita bersama-sama melewati semua ini kan.”

“Rossa,” Baskara menggelengkan kepala, berusaha untuk tetap tegas meskipun lelah. “Jika kamu bersamaku, kamu akan terjebak dalam semua kesalahanku. Aku tidak ingin anak-anak merasa tertekan karena hubungan kita. Aku tidak ingin menyakiti mereka”

Dalam keheningan yang menyesakkan itu, Baskara merasa hatinya berdebar. Dia ingin percaya bahwa Rossa ada untuknya, bahwa mereka bisa saling mendukung. Namun, rasa takutnya untuk mengecewakan Rossa dan anak-anak membuatnya sulit untuk mengangkat harapannya.

“Jika kamu benar-benar mencintaiku, maka percayalah padaku. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi lebih baik,” ungkap Baskara, suaranya sedikit bergetar. “Tapi beri aku waktu. Aku tidak ingin mengganggu kebahagiaan Arga dan Serra.”

Rossa mengangguk perlahan, berusaha menyimpan harapannya di dalam hati. “Aku akan memberimu waktu, Mas. Tetapi ingat, kamu tidak sendirian. Kita akan melalui semuanya bersama-sama.”

Saat mereka saling menatap, ada harapan kecil yang tumbuh di antara mereka. Meskipun perjalanan ke depan mungkin tidak mudah, mereka berdua tahu bahwa mereka tidak akan menyerah—untuk diri mereka sendiri, untuk anak-anak, dan untuk cinta yang telah terjalin di antara mereka.

Antara CINTA & TRAUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang