.
.
.
.
.
.
*.*.*Raja Min melangkah keluar dari kamar Ibu Suri Agung dengan perasaan berat. Di luar, angin dingin menyambutnya. Raja Min berdiri sejenak di ambang pintu, menatap langit yang kini mulai menurunkan butiran salju halus. Salju pertama musim ini. Dia menatap butiran putih itu, jatuh lembut, menyelimuti jalanan yang tadinya kering dan sunyi.
Perlahan, salju mulai menutupi setiap sudut istana. Batu-batu di halaman yang biasa dipenuhi jejak kaki para prajurit dan pelayan kini terselimuti selimut putih yang dingin. Jalanan tampak membeku, hening seakan seluruh alam sedang bernafas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk musim yang panjang dan keras.
Raja Min mendesah pelan, menengadah memandang langit. Ada perasaan asing yang mengganggu hatinya. Seolah-olah dunia di luar sedang mengabarkan sesuatu yang tidak bisa dia pahami sepenuhnya—sebuah pertanda akan perubahan, akan kehilangan yang lebih besar.
"Salju pertama…" pikirnya dalam hati, mengingat cerita lama yang pernah disampaikan oleh orang tuanya. Konon, salju pertama membawa pesan dari para leluhur, sebuah awal yang baru namun juga pertanda berakhirnya sesuatu.
Tangannya mengusap jubah yang membungkus tubuhnya, namun rasa dingin yang menjalar bukan hanya berasal dari cuaca. Itu datang dari dalam, dari jiwanya yang mulai tertutup oleh rasa takut dan kesedihan yang semakin sulit dia sembunyikan.
Ketika kakinya melangkah menyusuri jalanan bersalju itu, bayang-bayang dari pertemuan di dalam terus menghantui pikirannya.
Dia berhenti sejenak, menatap ke arah taman istana. Di sana, pepohonan yang dulunya hijau kini tampak layu, cabang-cabangnya terbungkus oleh lapisan es tipis. Jalan setapak yang pernah dipenuhi bunga-bunga musim semi kini hanya menampilkan kehampaan dan dingin.
"Apakah ini pertanda… sesuatu yang lebih buruk akan datang?" pikirnya, mendesah panjang. Salju yang turun semakin tebal, menutupi jejak langkahnya yang baru saja dibuat. Seolah dunia berusaha menghapus setiap bekas yang dia tinggalkan.
Raja Min melanjutkan langkahnya dengan hati yang tak tenang. Dia berhenti di ujung taman, menghadap ke arah paviliun istana yang tertutup salju. Salju terus turun, menutupi dunia di sekitarnya, seolah menyembunyikan segala sesuatu di balik tabir putih yang tebal. Dari kejauhan dia melihat Chaeyoung. Sedang bermain dengan para dayangnya di taman bersalju.
Wajahnya dipenuhi senyum. Chaeyoung dengan lincah membentuk bola-bola salju, tertawa saat salah satu dayang melemparkan bola salju ke arahnya, namun dia berhasil menghindarinya dengan cekatan.
Para dayang tertawa bersama, melupakan sejenak semua formalitas dan kekhawatiran, terbuai oleh keceriaan yang dibawa oleh salju pertama. Chaeyoung tampak begitu lepas, bermain seakan kembali ke masa kecilnya, tak ada beban yang mengikat.
Raja Min berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan. Matanya tertuju pada Chaeyoung, dan untuk sesaat, dia merasa dunia yang dingin ini tak sepenuhnya beku. Ada kehangatan yang muncul dari tawa itu, dari keceriaan yang dibawa oleh butiran salju yang turun dengan lembut.
Chaeyoung, yang sedang membentuk manusia salju, tiba-tiba menyadari kehadiran seseorang. Dia menoleh, dan begitu melihat Raja Min berdiri di sana, senyumnya melebar. “Raja Min!” serunya, setengah berlari ke arahnya dengan bola salju di tangannya.
Raja Min, yang tak menyangka akan mendapat sambutan seperti itu, tersenyum tipis namun hangat. Sebelum dia sempat berkata apa-apa, Chaeyoung sudah melemparkan bola salju kecil ke arahnya. Bola itu mengenai lengan jubahnya, meledak menjadi serpihan salju halus.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Queen {Yoonrose}
Fiksi PenggemarPark Chaeyoung, yang sedang mengunjungi museum melihat lukisan-lukisan Raja dan Ratu sebelumnya tiba-tiba saja masuk ke dalam lukisan dan berada di zaman kerajaan Pemerintahan Raja Min Yoongi, Raja yang terkenal kejam dan tidak punya perasaan, Chaey...