XVI. JANJI PERNIKAHAN

5 0 0
                                    

Ballroom La Boheme Hotel dipenuhi oleh cahaya gemerlap yang memancar dari kristal-kristal chandelier yang menggantung dengan megah. Wangi bunga mawar putih yang baru dipetik memenuhi udara, menciptakan atmosfer romantis yang semestinya menyelimuti hari bahagia.

Namun, suasana di ballroom ini terasa kaku, bahkan canggung, karena perasaan di antara kedua pengantin yang berdiri di altar begitu jauh dari kata bahagia.

Leon berdiri tegak di sana, mengenakan jas hitam elegan dengan dasi yang rapi, kemeja putih yang terpasang sempurna, menampilkan sosoknya yang gagah dan karismatik. Di sisi lainnya, Karin mengenakan gaun pengantin putih berbahan satin halus yang membuatnya terlihat seperti sosok dalam lukisan, cantik dan anggun, namun di balik kecantikannya, matanya yang tajam mengisyaratkan keraguan yang dalam.

Gaunnya membalut tubuhnya dengan sempurna, bagian punggung yang sedikit terbuka menambah kesan misterius pada penampilannya. Rambut coklatnya disanggul dengan sempurna, dibiarkan sedikit jatuh ke samping wajahnya, menyembunyikan kerutan cemas yang ia tahan.

Di tengah pernikahan yang seharusnya penuh kebahagiaan ini, hanya ada kesunyian yang menggantung di antara keduanya. Leon menatap Karin dengan mata penuh intimidasi, meskipun dia tahu dia tidak akan menemukan apa-apa selain kekecewaan di wajah perempuan itu.

Untuk Leon, pernikahan ini adalah bagian dari rencananya yang lebih besar, bagian dari rencana yang telah dirancang dengan cermat. Karin, sementara itu, merasa terjebak dalam jaring ambisi yang lebih besar dari dirinya.

Leon memandang Karin dengan tatapan yang sangat terukur. Setiap gerakannya dihitung dan dipertimbangkan. Ini bukan hanya tentang pernikahan. Ini lebih tentang langkah selanjutnya, tentang kontrol yang harus dia pegang, tentang melangkah ke dunia baru dengan seseorang yang bisa dia bentuk sesuai keinginannya.

Karin, di sisi lain, tahu dengan pasti bahwa ini bukan cinta, bukan kedekatan yang dia harapkan. Namun, dia juga tahu bahwa ini adalah jalan yang harus dia tempuh. Keluarganya, masa depannya-semuanya terhubung dengan pernikahan ini.

Pendeta memulai dengan suara berat dan tegas, seperti yang biasa dilakukan dalam pernikahan, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. "Apakah kau, Leon Alexander Barnard, menerima Karin Marseille Osmond sebagai istrimu?"

Leon menatap Karin dengan matanya yang tidak berkedip. Suasana itu terasa hampir tegang. Saat dia berbicara, suaranya begitu tenang, penuh dengan kepastian yang tidak bisa dibantah.

"Saya menerima Karin, bukan hanya sebagai istri. Tapi sebagai pasangan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar," ucapnya dengan nada datar, matanya seolah menembus Karin yang berdiri di depannya. "Kau akan menjadi bagian dari perjalanan yang lebih besar-sebuah langkah yang akan mengubah banyak hal, bagi kita dan dunia kita."

Karin tidak bisa menahan tatapannya. Dia merasakan tekanan itu semakin membesar. Ada perasaan tersisih, tidak dihargai, dan bahkan terjebak. Kata-kata Leon bagaikan perintah yang tidak memberi ruang untuk perasaan atau cinta.

"Saya," suara Leon terhenti sejenak, menekankan kata-kata yang akan diucapkan, "menjanjikan masa depan yang akan lebih cerah. Sebuah tempat di dunia ini yang akan membuat kita tidak tergoyahkan, tidak tersentuh oleh apa pun."

Karin menarik napas pelan. "Aku menerima," jawabnya dengan suara yang tidak begitu yakin. Kata-kata itu keluar begitu saja, tetapi hati Karin tahu bahwa apa yang Leon janjikan bukanlah sesuatu yang bisa dia pegang dengan nyaman.

"Aku menerima segala yang datang dengan janji ini," ucapnya lebih lembut, matanya beralih dari wajah Leon yang penuh tekad ke altar yang ada di depan mereka.

Pernikahan ini terasa seperti sesuatu yang lebih besar dari sekedar dua orang yang bersatu. Ini adalah sebuah kontrak yang melibatkan lebih banyak kepentingan daripada sekedar perasaan.

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang