Liburan ke Bali telah usai. Sekarang sosok pria dewasa tengah memegang erat tangan kanan sang putra. Di belakang mereka ada dua remaja lain yang terkekeh melihat interaksi ayah dan anak itu.
"Om pegang yang erat nanti anaknya lepas kendali," ujar Bagas.
"Benar tuh om. Mana biasanya Rimba kalau di sekolah baru langsung berbuat ulah," ujar Guan.
Mereka berdua kompak tertawa saat wajah sang sahabat masam. Mereka ikut pindah sekolah, karena Rimba tidak mau berpisah dengan mereka. Tenang saja, biaya sekolah mereka berdua ditanggung oleh Stevan. Lagipula mereka memang selama ini dibiayai oleh Stevan. Tentang orangtua mereka berdua memiliki masalah dengannya.
Guan yang menjadi korban perceraian kedua orangtuanya. Memiliki empat orangtua, namun tidak bertanggung jawab tentang hidupnya. Bagas dibenci sang ibu karena alasan sepele yaitu karena dia tidak terlahir sebagai perempuan.
Jadi sejak memasuki bangku sekolah menengah pertama mereka mengikuti kemanapun Rimba pindah sekolah. Bagas setuju saja dia juga tidak diberi biaya hidup sejak kematian ayahnya.
"Om berapa juta untuk kita pindah kesini?" tanya Bagas.
"Hey! Sudah kukatakan anggap saja aku ayah kalian berdua!" tegur Stevan.
"Rimba yang melarangnya om," ujar Guan.
"Eh kagak ya Aan!" kesal Rimba.
"Oi nama Aan kayak cewek tahu!" kesal Guan.
"Biarin!" pekik Rimba.
"Kalian bertiga hajar orang yang mengusik kalian. Mengenai kedepannya serahkan kepada ayah kalian," ujar Stevan.
"Wah berarti gua punya sugar daddy sejak lama!" pekik Guan senang.
"Lha emang gitu kan. Sejak bokap ditanam jadi ubi, semua biaya hidup gua ditanggung ayah Stevan yang ganteng," ujar Bagas.
"Ada maunya kalian," ujar Stevan.
Memang Stevan telah mengganggap kedua sahabat Rimba sebagai anaknya juga. Lumayan Stevan menambah dua putra juga. Belum lagi, satu sahabat baik dari sang putra sulung. Kalau Fano dia punya tiga orang sahabat. Kadang Stevan sedikit tertawa mengingat bahwa setiap anaknya seolah memiliki sahabat sesuai urutan lahir.
"Daddy gua gila Rimba!" pekik Guan heboh.
"Enak aja! Papa gua kagak gila ya!" protes Rimba.
"Ayah Stevan!" panggil Bagas.
Stevan langsung tersadar saat dipanggil oleh Bagas. Dia tetap memegang tangan kanan Rimba sangat erat. Anaknya ini memang liar sekali, bahkan di sekolah dulunya dia dengan seenaknya menarik kursi gurunya padahal waktu itu baru hari pertama sekolah.
Selesai mengantarkan mereka ke kelas baru. Stevan pergi untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Yaitu membunuh orang lain dengan sangat sadis.
Baru saja masuk ke kelas ketiga remaja pria cukup mendapatkan perhatian dari seisi kelas. Apalagi wajah rupawan mereka cukup memanjakan mata para siswi.
Visual mereka bertiga memang tidak main-main. Guan keturunan chinase bermata sipit, Bagas memiliki lesung pipi di kedua pipinya, Rimba yang selayaknya bule nyasar.
"Hay! Aku Rimba Dan Jovetic! Kalau mau tahu nomor wa ku nanti kukasih tahu deh," ujar Rimba dengan sedikit mengedipkan sebelah matanya.
"Perkenalkan Bagas Gumilar!" sapa Bagas.
"Guan Lin!" sapa Guan.
Tindakan Rimba cukup membuat heboh kelas. Guru yang mengajar sedikit menghela nafas kasar. Ia menyuruh agar mereka bertiga duduk di tempat yang kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...