18 (rimba sensitif)

548 61 2
                                    

Taman bermain di sebuah kota Surabaya menjadi tujuan bagi ketiga bersaudara ini. Mereka bilang bahwa sedang gabut di rumah. Jadi mereka memutuskan untuk pergi ke taman saja. Tidak ada mobil pengawal yang mengikuti mereka. Di kursi pengemudi ada si sulung Argo, di sebelahnya ada Rimba dan Fano.

Mereka memang tengah libur maklum hari minggu. "Kenapa kita ke tempat ramai, sih?!" protes Argo.

"Setelah dari taman kita ke hutan. Biar abang bisa berburu rusa disana," jawab Rimba.

"Kita bahkan tidak membawa pistol," ujar Argo.

"Maksudku ada pesan masuk dari papa bahwa ada seseorang yang perlu kita buru di hutan," jawab Rimba.

"Memang kita perlu membunuhnya?" tanya Fano.

Anak kecil berusia sembilan tahun mengatakan sebuah kata yang lumayan seram di usia anak-anak. Alasan Fano mengetahui pekerjaan kedua orangtuanya, dikarenakan sang ayah telah mengajak Fano untuk membantai musuh. Setiap anak-anak Jovetic akan diajarkan membunuh agar tidak mudah dibunuh oleh musuh.

"Menurut papa jangan dulu. Dia seorang koruptor yang telah lama berkeliaran di negeri ini," jawab Rimba.

"Padahal adek penasaran bagaimana abang membunuh musuh," ujar Fano.

"Abang biasanya membedah tubuh mereka. Lantas mengambil satu-persatu organ vital mereka," sahut Argo.

"Kakak bagaimana?" tanya Fano.

"Memutilasi tubuh mereka," jawab Rimba.

"Adek belum diperbolehkan oleh papa," ujar Fano.

"Abang dengar kamu pernah menusuk tangan teman sekelasmu," ujar Argo.

"Dia yang duluan. Dia bilang aku manja yang tidak punya ibu," gerutu Fano.

Rimba tertawa bagaimana Fano menggembungkan kedua pipinya. Rimba memakan pipi berisi kanan sang adik Fano. Argo menepikan mobil ia juga memakan pipi sebelah kiri adik bungsunya. Fano memukul wajah kedua kakaknya.

"Abang! Kakak! Pipi adek bukan makanan!" kesal Fano.

Tangan kecil Fano terus mendorong wajah kedua kakaknya, agar melepaskan tindakan mereka di kedua pipinya. Dirasa puas mereka melepaskan pipi si bungsu.

"Bang lapar!" rengek Rimba.

"Kau sudah makan tiga puluh menit yang lalu Rimba," jawab Argo.

"Dek lihat abang tega sekali sih sama kakak!" adu Rimba kepada adiknya.

"Abang beli makanan ya untuk kakak. Kasihan kakak tahu," ujar Fano.

Wajah Rimba menempel di dada sang adik Fano. Tangan kecil Fano mengelus pipi sang kakak kedua. Sumpah rasanya Argo ingin sekali memukul wajah adik pertamanya. Ayolah Rimba tidak cocok untuk bermanja dengan sang adik.

Tidak ada pilihan lain, Argo kembali menjalankan mobil tujuan mereka sedikit berbelok yaitu ke restoran. Di dalam restoran Rimba memesan banyak makanan. Fano tidak memesan dia masih kenyang, begitu juga dengan Argo.

Mereka disini hanya untuk menemani Rimba makan saja. Beberapa menit kemudian beberapa jenis makanan telah tersedia. Dengan lahap Rimba makan ketika akan mengambil sushi ada yang mengambilnya lebih dulu.

Rimba menatap kesal orang yang seenaknya mengambil makanan dia. "Kakak kamu ini dasar," ujar Stevan.

"Kembalikan! Sushi punya kakak!" pekik Rimba.

"Buka mulutmu," ujar Stevan.

Rimba membuka mulutnya dan Stevan menyuapi sushi ke mulut sang putra. Stevan dengan iseng mencubit pipi putra keduanya.

RimbaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang