Pulang ke rumah Rimba menggendong sang adik. Ia membantu Fano berganti baju. Fano sedikit tertawa melihat wajah sang kakak.
Dirasa telah selesai berganti baju, ia mengajak Fano untuk makan terlebih dahulu. Di meja makan sudah ada makanan yang telah disiapkan sang ayah.
Rimba tinggal menghangatkan saja di micromave. Fano memperhatikan wajah sang kakak. Tangan kecil Fano menepuk pipi Rimba.
"Ada apa dek?" tanya Rimba.
"Pasti kakak tidak sekolah hari ini," jawab Fano.
Rimba tertawa mendengar ucapan sang adik. "Kakak bilang sama papa bahwa libur tahu. Padahal kakak bohong sama papa," ujar Rimba.
"Itu tidak baik tahu!" pekik Fano.
"Iya maaf. Kakak tidak akan mengulanginya lagi," ujar Rimba.
Beberapa menit kemudian mesin micromave berbunyi pertanda telah selesai. Rimba menaruh makanan untuk sang adik. Fano tersenyum kearah sang kakak.
Anak kecil itu menikmati makanan dengan riang. Tangan kanan Rimba mengelus rambut sang adik.
Sejak kepergian sang ibu enam tahun lalu. Kehidupan mereka saling mengandalkan satu sama lain. Bahkan mereka berusaha agar sosok Fano tidak merasa kehilangan seorang ibu.
Benar bahwa kehilangan ibu menjadi titik terendah bagi seorang anak. Rimba yang waktu itu berumur sembilan tahun saja sangat terpukul. Apalagi, Fano yang masih berusia tiga tahun.
Sebuah tangan kecil menyentuh pipi kanan Rimba. Sentuhan tersebut membuat sang remaja tersentak kaget. "Kakak sedih mengingat mama?" tanya Fano.
"Tidak kok. Kakak hanya memikirkan tentang tugas," jawab Rimba berbohong kepada sang adik.
"Kalau kakak rindu mama. Lihat saja wajah adek, papa bilang bahwa adek mirip mama," ujar Fano polos.
Ucapan polos sang adik benar-benar di luar dugaan Rimba. Sang adik sepertinya telah didewasakan oleh keadaan. Maklum mereka hidup berempat saja tanpa ada perempuan selama ini.
Selesai makan Rimba mencuci piring bekas sang adik makan. Selesai cuci piring Rimba sedikit melamun. "Kakak menunduk sedikit," ujar Fano.
Rimba menuruti ucapan sang adik. Sebuah ciuman di pipi Rimba dapatkan dari sang adik."Makasih kakak!" pekik Fano.
Rimba memeluk erat tubuh sang adik. "Adek gemes kakak!" pekik Rimba.
"Hehehe," tawa Fano.
"Papa memanggilmu kakak," ujar Argo.
Rimba melepaskan pelukan dari sang adik. Ia melihat penampilan Argo yang sudah rapih sekali. "Abang mau berangkat ke kampus?" tanya Rimba kepada sang abang.
"Begitulah. Adek akan bersama abang di kampus. Kamu selesaikan segera urusanmu dengan papa," jawab Argo.
"Adek bisa sendiri di rumah," ujar Fano.
"Abang tidak setuju. Lebih baik kamu bersama abang saja. Nanti kakak akan menjemputmu di kampus juga," ujar Argo.
"Kenapa kita tidak menyewa baby sister sih?" tanya Rimba kepada sang abang.
"Kau lupa bahwa baby sister adek dulu hampir membunuh adek," jawab Argo.
"Abang teliti sekali sih," keluh Rimba.
"Jangan mengeluh saja. Cepat ke markas, sebelum papa menghabisinya sendiri," ujar Argo.
"Iya cerewet!" kesal Rimba.
Rimba mencium kedua pipi sang adik. Tangan kecil Fano mencium tangan kanan Rimba. Rimba mencium tangan kanan sang abang. Argo mencium pipi kanan Rimba dibalas delikan tajam Rimba.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
Ficțiune generalăNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...