Selama beberapa hari ke depan Rimba akan berada di rumah, ia di skorsing oleh pihak sekolah. Ia tidak sengaja menyiramkan bekas air pel ke wajah kepala sekolah. Dia terima saja hukuman tersebut. Sekarang dirinya tengah bingung berada di rumah sendirian.
Sejak kecil dia memang seringkali, pindah sekolah disebabkan ulahnya sendiri. Bahkan sekolah sekarang saja, dia terancam dikeluarkan akibat tindakan nakalnya hampir mencapai batas maksimal.
Sang ayah juga tengah berada di rumah. Stevan berkata akan mengawasi Rimba. Dia sedikit kesal akan ucapan Stevan. Padahal dia sudah remaja, tetap saja Stevan mengganggap Rimba sebagai anak kecil itu menyebalkan.
Setiap penjuru ruangan telah diawasi oleh anak buah Stevan. Dia sangat kebosanan disini. Stevan libur hanya saja memilih fokus bekerja di ruang kerjanya.
Rimba duduk diatas lantai. Kepala Rimba miring sedikit berpikir sejenak. Para pria dewasa disana sedikit tersenyum melihat wajah Rimba yang cukup lucu.
Remaja berusia lima belas tahun itu memang lumayan tinggi. Setelah berpikiran keras akhirnya sebuah ide muncul.
Dengan semangat Rimba berlari kearah dapur. Para pelayan sedikit menyingkir saat sang tuan muda kedua datang. Mereka terbiasa akan kedatangan Rimba ke dapur.
"Kak ada sirup jagung sama pewarna makanan warna merah, tidak?" tanya Rimba.
"Ada tuan muda," jawab sang pelayan.
"Bagi dong. Jangan kasih tahu papa ya," ujar Rimba.
"Baiklah tuan muda," ujar sang pelayan.
Sang pelayan memberikan dua bahan yang diminta oleh Rimba. Mata Rimba mencari alat yang perlu ia siapkan untuk pemanis.
"Tuan muda mencari apalagi?" tanya sang pelayan.
"Blender kak," jawab Rimba.
Sang pelayan mengambil barang yang dibutuhkan oleh Rimba. "Terimakasih kak sudah membantu," ujar Rimba.
"Sama-sama tuan muda," sahut sang pelayan.
Sirup jagung dituangkan ke dalam sebuah gelas, Rimba mengambil dua sendok makan. Merasa telah siap sirup dimasukkan ke dalam blender, dilanjutkan dengan satu sendok makan air putih, dan terakhir dua sendok makan pewarna.
Semua bahan tercampur sempurna menciptakan warna merah pekat. Senyum Rimba terbit. Tidak sia-sia ia mengintip aksi sang abang kemarin malam tentang ujian biologi nya.
Setelah blender berhenti Rimba mengambil pewarna hijau untuk sentuhan akhir. Warna merah itu sekarang terlihat sama persis seperti darah.
Sebuah pisau Rimba lumurkan dengan darah palsu tersebut. Ia juga tak lupa melumuri perutnya dengan darah palsu itu. Rimba meminum darah palsu untuk menyakinkan ayahnya.
"Kak tolong sembunyikan blendernya," ujar Rimba.
Remaja itu berlari ke ruangan pribadi ayahnya. Para pengawal tidak heran akan tingkah laku Rimba. Di depan ruangan Stevan dengan cepat Rimba mengacak penampilannya sendiri.
"PAPA TOLONG!" teriak Rimba.
Pintu langsung terbuka begitu saja. Wajah Stevan langsung pucat melihat Rimba yang nampak tidak baik-baik saja.
"Nak!" kaget Stevan.
"Itu ada orang asing menusuk aku," ujar Rimba.
Stevan mengambil pisau dari perut Rimba. Tubuh Rimba ambruk di hadapan sang ayah. Stevan yang panik berlari ke luar rumah menuju garasi mobil, sambil menggendong Rimba yang sudah tidak sadarkan diri.
Baru saja Stevan akan menyalakan mobil ada suara tawa dari Rimba. "Hehehe maafkan aku papa," tawa Rimba.
Stevan seketika kesal karena kelakuan iseng sang putra. Stevan memeluk erat tubuh Rimba. "Tingkah jahilmu semakin menjadi saja nak," ujar Stevan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
Fiksi UmumNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...