19 (misi tiga bersaudara)

1.2K 77 4
                                    

Teriakan memilukan orang-orang yang tengah disiksa disaksikan oleh tiga pria berbeda usia. Ada Argo berusia 18 tahun, Rimba 15 tahun, dan paling kecil Fano 9 tahun. Mereka diminta untuk memantau bagaimana sang ayah membunuh seorang musuh.

Fano berusaha diam, walaupun ia cukup gelisah. Dia masih anak kecil yang seharusnya bermain, bukan melihat adegan kejam seperti ini. Rimba mundur sedikit, kedua tangan Rimba menutup mata sang adik agar tidak melihat adegan di depan matanya.

"Rimba! Lepaskan kedua tanganmu!" tegas Stevan.

"Papa lain kali saja! Memperlihatkan ini kepada adek!" protes Rimba.

"Tidak ada bantahan Rimba! Ini sudah menjadi keputusan papa!" tegas Stevan.

"Adek masih berusia sembilan tahun!" pekik Rimba.

"Kalian berdua saja melihat adegan ini saat berusia sembilan tahun!" pekik Stevan.

"Pah sifat adek berbeda lho dengan aku dan abang," ujar Argo.

"Papa tidak akan mendengarkan ucapan kamu," sahut Stevan santai.

Stevan mendekat kearah Fano. Dengan pelan menarik Fano agar melihat maharkaya yang ia buat. Rimba akan beranjak ditahan oleh Argo.

"Usia adek sudah saatnya dibekalin ilmu dasar dalam dunia mafia," ujar Argo.

Tangan Rimba akan melepaskan tangan sang abang, dengan cekatan Argo memelintir tangan Rimba ke belakang agar diam. "Kamu bergerak lebih, maka abang akan mematahkan tangan kanan kamu!" ancam Argo kepada adik pertamanya.

Tidak ada pilihan lain. Rimba memilih mengalah saja. Setelah beberapa menit Fano berlari ke arah kedua kakaknya.

Tubuh tegap Stevan menghampiri ketiga putranya. Ia melihat mereka sejenak.

"Papa akan kasih misi pembunuhan pertama untuk adek. Dia perlu membunuh seorang pria dewasa yang merupakan koruptor di negeri ini, dan juga pelaku asusila terhadap putranya sendiri," ujar Stevan.

"Orang itu otaknya tidak waras. Anak sendiri dicabulin," ujar Rimba.

"Bagaimana adek membunuhnya?" tanya Fano.

"Walaupun seharusnya ini misi tunggal untukmu dek. Papa akan memerintahkan kedua kakakmu untuk ikut," jawab Stevan.

"Lha untuk apa sih ikut?!" protes Rimba.

Argo memukul kepala Rimba. "Ini misi pertama adek sebagai pembunuh. Kau ini jangan banyak protes!" pekik Argo.

"Abang sakit tahu!" pekik Rimba.

"Dia merupakan ayah dari salah satu teman di kelasmu dek," ujar Stevan.

"Hah?!" kaget Fano.

"Edward!" panggil Stevan.

Tak lama sang tangan kanan Stevan mendekat. Ia memberikan map kepada Stevan. Dia langsung pergi begitu saja dari sana.

Sebelum pergi Edward memberikan sekantong kresek kepada Fano. "Es krim tuh dari Om. Habiskan ya," ujar Edward.

Dengan santainya Edward keluar dari sana. Pria dewasa itu bahkan memakan es krim sangat tenang. Map yang berada di tangan Stevan diserahkan kepada Fano. Diterima oleh Fano yang sedikit kaget sejenak.

"Baca semua informasi dari targetmu. Minta saran dari kedua kakakmu juga untuk menghabisi target," ujar Stevan.

Ketiga bersaudara itu keluar dari ruangan penyiksaan. Argo memimpin jalan menuju ruangan pribadi miliknya.

Lorong minim pencahayaan menjadi pemandangan mereka bertiga. Fano memegang erat tangan kanan Rimba. Rimba yang peka memilih menggendong Fano saja.

Beberapa menit kemudian mereka tiba di ruangan Argo. Sejauh mata memandang di sudut ruangan ada ratusan pistol serta senapan berbagai jenis ukuran. Di sudut lain ada ratusan botol kaca yang berisi otak manusia. Beberapa lidah manusia menjadi pajangan untuk dinding. Sofa  santai, kulkas mini, dan meja kecil dekat sofa. Ada sebuah meja kerja juga diatas meja ada foto keluarga mereka dulu. Tidak ada hal lain di dalam kamar bernuasa seram sekaligus suram ini. Kamar berdominasi hitam itu memang sangat menakutkan bagi anak kecil.

RimbaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang