Kisah hidup antar ketiga sahabat yang terdiri dari Rimba, Bagas dan Guan cukup sulit. Rimba yang kehilangan sang ibu sejak berusia sembilan tahun, Bagas yang kehilangan sang ayah sejak berusia sepuluh tahun, dan Guan korban perceraian kedua orangtuanya. Ditambah ada sosok pemuda berkacamata ikut bergabung juga.
Seragam sekolah masih mereka gunakan di badan. Keempat remaja tersebut tengah berada di pohon mangga. Mereka tengah bersembunyi dari seorang guru. Tak lama ada suara cempreng dari wanita dewasa.
"Rimba! Bagas! Guan! Yuda! Kalian dimana hah?! Pakaian ibu jadi bau telur busuk!" marah sang guru.
Mereka berempat menahan tawa mendengar ucapan sang guru. Dari penampilan sang guru terlihat jelas bahwa dia baru saja mendapatkan keisengan dari mereka. Seragam guru yang dia gunakan berlumuran dengan telur busuk. Tentu saja itu sangat menyengat dan tidak enak untuk dicium.
Ketika sang guru akan melihat kearah atas. Mereka langsung bersembunyi untuk tidak ketahuan oleh sang guru. Beberapa menit kemudian sang guru pergi begitu saja. Mereka satu-persatu turun dari pohon. Dengan mudah Bagas, Guan dan Yuda melompat ke bawah.
Rimba tetap setia memeluk dahan pohon. "Rimba jangan bilang lu masih takut melompat dari pohon," tebak Bagas.
"Panggil papa!" pekik Rimba.
"Lha kebiasaan lu," ujar Guan.
Bagas dan Guan terbiasa akan tingkah laku Rimba. Dia yang memberi usul untuk memanjat pohon. Malah dia yang tidak bisa turun ke bawah sendiri. Sialnya, saat Bagas mengeluarkan hp ada yang mengambilnya lebih dulu.
"Nah ketemuan kalian!" pekik sang guru.
"Eh ibu?!" pekik mereka bertiga.
Sang guru bertubuh cukup berisi itu melihat kearah atas dimana Rimba berada. "Rimba turun kamu!" pekik sang guru.
"Telepon papa aku saja. Aku akan turun," ujar Rimba.
Merasa paham. Sang guru segera menghubungi ayah dari Rimba. Saat berusaha memanggil ketiga orangtua lain setiap dia telepon ditolak begitu saja.
"Percuma, bu. Saya mati juga pasti mereka tidak peduli," ujar Yuda santai.
"Bu ayah saya ditanam di tanah. Ibu saya sibuk sama kakak saya," ujar Bagas.
"Orangtua saya empat. Jadi mereka sibuk masing-masing bu," ujar Guan.
"Cuma ayah Rimba saja yang peduli," ujar Yuda.
"Ibu cepat telepon lagi papa! Bilang kakak butuh bantuan gitu!" pekik Rimba.
Sekitar dua puluh menit kemudian ada sosok pria dewasa berpenampilan cukup berantakan tiba di tempat mereka. Rimba tersenyum senang saat kedatangan sang ayah. Beda lagi dengan ayahnya yang terlihat lelah akan segala tindakan sang putra.
"Kakak ayo turun!" ajak Stevan.
"Tangkap aku dong," ujar Rimba.
Stevan merentangkan kedua tangannya. Rimba yang merasa nyaman langsung melompat dari atas pohon. Stevan dengan mudah menangkap tubuh tinggi Rimba.
"Keempat putra saya mendapatkan hukuman skorsing berapa hari?" tanya Stevan langsung pada intinya.
"Tiga hari pak. Untuk kedepannya saya harap anda memperbaiki sikap mereka semua," sahut sang guru.
Stevan memberikan beberapa satu buah black card kepada sang guru. "Ganti rugi atas tindakan berlebihan mereka semua. Pin dari kartu tersebut adalah satu semua," ujar Stevan.
Mereka bertiga mengikuti langkah kaki Stevan. Di dalam mobil Stevan akan melepaskan Rimba anaknya menolak. Bagas yang peka menawarkan diri untuk menjadi supir bagi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...