Di sebuah hutan yang terlihat belum terjamah oleh manusia ada seorang pemuda tengah membantai ratusan manusia sendirian. Baju berwarna putih polos yang ia gunakan telah berlumuran banyak darah. Ia diberi tugas untuk membunuh orang-orang disini, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang menculik ratusan anak kecil dibawah dua belas tahun, ratusan orang tersebut merupakan para pria hidung belang yang memiliki orientasi terhadap anak kecil demi kepuasan nafsu semata saja.
Tugas Rimba kali ini lumayan menyenangkan ia sejak tadi tertawa tiada henti. Para anak buah yang dibawa olehnya bahkan merinding akan aksi brutal anak kedua dari sang bos.
Para mayat yang terjatuh ditanah tidak bisa dikenalin sama sekali. Rimba merusak wajah mereka sangat parah. Menurut Rimba dia muak melihat orang-orang berpikiran selangkangan saja.
Dirasa lelah Rimba berhenti sejenak. Ia melihat kearah sekitar ternyata sudah habis semua. Dirinya memasukkan kembali pedang yang ia gunakan untuk membantai musuh.
Pemuda berusia lima belas tahun itu menepuk salah satu pundak orang yang baru pertama kali menyaksikan aksi kejamnya. "Bereskan semuanya. Aku akan melaporkan ini kepada atasan," ujar Rimba.
"Baik Mr!" pekik mereka kompak.
Rimba berjalan duluan. Ada tiga orang mengikuti langkah kaki Rimba. Merasa aman Rimba melepaskan topeng yang ia pakai. Salah satu dari mereka bertiga nampak sedikit ngeri menatap Rimba.
"Pekerjaan papa aku memang sangat kotor. Aku sebagai anak tidak bisa sepenuhnya lari dari semua ini," ujar Rimba.
"Memang om Stevan tidak memberimu pilihan?" tanya Yuda.
"Darah kami terlalu kental. Bahkan ini merupakan pengalihan dariku agar tidak membunuh orang secara random," jawab Rimba.
"Maksudnya?" bingung Yuda tidak mengerti.
"Rimba tidak mampu menahan diri untuk membunuh orang apabila sedang marah besar," jawab Guan.
"Bahkan Rimba pernah hampir membunuh beberapa guru, dan paling terbaru kepala sekolah akibat ucapan mereka yang menghina ibu dari Rimba," ujar Bagas.
"Aku juga akan melakukan hal yang sama apabila menjadi Rimba," ujar Yuda.
"Memang ibumu sekarang bukan ibu kandungmu?" tanya Guan.
"Menurut yang kudengar bukan sih," ujar Yuda santai.
"Rimba tuh senang memiliki peran ibu," ujar Guan.
Orang yang sedang dibicarakan asyik mengupil. Sumpah mereka bertiga heran akan tingkah laku Rimba. Beberapa menit lalu Rimba merupakan sosok sadis, tapi sekarang menjadi sosok humoris.
Geplakan sayang didapatkan Rimba dari Bagas. "Kita lagi serius lho, Rimba!" kesal Bagas.
"Sudah sana bahas hal serius. Pernafasanku di hidung tersumbat jadi aku korek dulu agar lancar bernafasnya," sahut Rimba santai.
"Waktu ibumu mengindam apa yang ia inginkan sih?" heran Guan.
"Pisang goreng dicampur saos, dan ramen dicampur ketan hitam," jawab Rimba.
"Pantas anaknya random. Pas dalam perut saja mintanya aneh-aneh," ujar Yuda.
"Aku mau makan pop corn dicampur susu putih," ujar Rimba.
"Terserah dirimu Rimba," ujar Bagas malas.
Setiap hari ada saja tingkah Rimba untuk mencampur makanan random. Anehnya Rimba mengatakan itu enak saja.
Beberapa jam perjalanan mereka tiba di markas milik Stevan. Kedatangan mereka berempat disambut dengan hormat oleh orang-orang disana. Dengan santai Rimba menendang pintu ruangan sang ayah. Stevan terkekeh geli akan kedatangan anaknya yang selalu saja buat rusuh. Rimba berjalan dengan santai membuka baju putih yang berlumuran darah tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...