16 (spesial hari ayah)

1.2K 97 6
                                    

Di dalam kamar, tiga bersaudara itu tengah membicarakan sesuatu dengan serius. Fano, si bungsu yang baru berusia sembilan tahun, duduk tenang di antara kedua kakaknya yang tampak sibuk berdebat. Ia hanya memperhatikan, menjadi penonton dalam perselisihan kecil antara Argo dan Rimba.

"Kita nyanyikan lagu buat Papa!" seru Rimba penuh semangat.

"Lebih baik kasih hadiah saja," balas Argo, tidak mau kalah.

Fano, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara dengan nada polos, "Kenapa nggak gabungin aja? Nyanyi buat Papa, terus kasih hadiah juga."

Mendengar itu, Argo dan Rimba langsung saling pandang, lalu berseru bersamaan, "Nah, benar juga!"

Jujur saja, sebagai anak bungsu, Fano sering merasa heran. Meskipun ia yang paling kecil, entah bagaimana, ia justru sering menjadi penengah perdebatan antara kedua kakaknya. Bahkan sang ayah, Stevan, sering terkejut melihat betapa dewasanya cara berpikir Fano.

Tiba-tiba, tubuh kecil Fano diangkat oleh Rimba, lalu ia mendapat ciuman di pipi dari kakaknya itu. Namun, aksi manis itu langsung mengundang protes dari Argo.

"Woy, aku juga mau gendong Adek!" seru Argo sambil mencoba menarik adiknya.

"Tunggu dulu! Kakak duluan yang gendong Adek!" protes Rimba, tidak mau melepaskan Fano.

Argo mendengus kesal, lalu menyipitkan mata menatap Rimba. "Menyebalkan... sekarang kamu lebih tinggi dari aku, ya, Dan," gumamnya.

Rimba langsung menyeringai. "Hahaha! Ciee, abang jadi lebih pendek dari aku!" godanya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Fano.

Mendengar itu, Argo mendadak menarik telinga kanan Rimba. Ia harus mengakui, belakangan ini tinggi badan Rimba tumbuh dengan sangat cepat. Jika dulu ia selalu lebih tinggi dari adiknya, kini perlahan-lahan Rimba mulai menyainginya.

"Oh, baiklah," kata Argo pura-pura merajuk. "Kalau gitu, abang nggak akan gendong kamu lagi."

Rimba langsung panik dan merajuk. "Argh! Jangan begitu, dong, Abang!" rengeknya.

Argo tertawa puas melihat reaksi adiknya. Dengan tangan besarnya, ia menepuk pundak Rimba, lalu berkata, "Udah, udah. Daripada ribut, ayo kita beli kue dan hadiah buat Papa!"

"Setuju!" seru Rimba dan Fano bersamaan.

Mereka bertiga pun bergegas keluar dengan semangat, siap untuk menyiapkan kejutan terbaik bagi ayah tercinta mereka.

Argo menggenggam tangan kiri Rimba, sementara tangan kanan Rimba sibuk menopang tubuh Fano yang bertengger di pinggangnya. Interaksi mereka tampak akrab, tetapi bagi para bodyguard yang mengamati dari kejauhan, pemandangan ini justru memperlihatkan betapa sulitnya menumbangkan mereka saat sedang akur.

Ketiga bersaudara Jovetic sudah menjalani pelatihan fisik sejak usia tiga tahun. Meskipun terdengar terlalu dini, Stevan dan mendiang istrinya sepakat bahwa pendidikan keras itu diperlukan. Sebagai penerus keluarga Jovetic, musuh mereka terlalu banyak, sehingga kemampuan bela diri menjadi bekal utama agar mereka tidak mudah dikalahkan.

Di dalam mobil, Argo mengambil posisi sebagai pengemudi. Rimba duduk di sebelahnya, sementara Fano dipangku oleh Rimba di kursi penumpang depan. Sambil menatap jalan, tangan Rimba sibuk mengganti saluran radio, mencari lagu yang cocok.

"Bang, lagunya nggak asyik," keluh Rimba.

"Nggak usah dengerin lagu kalau gitu," balas Argo santai.

"Abang nyebelin! Pantas aja jomblo terus!" ledek Rimba.

"Heh, jangan bawa-bawa status abang yang jomblo!" protes Argo.

"Abang tahu nggak, pacar kakak ada dua puluh orang," celetuk Fano tiba-tiba.

RimbaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang