13. christmas eve

10 1 0
                                    

Malam natal.

Di atas jalanan yang tertutup salju tebal itu Claudette menyeret satu pohon pinus dengan satu tangan sementara tangannya yang lain memegang pemotong kayu. Pohon kecil itu setidaknya cukup untuk menghiasi rumahnya yang dingin di malam natal.

Claudette berhenti di depan anak tangga ketika seorang laki-laki dewasa keluar dari rumahnya. Laki-laki itu membenarkan kerah kemejanya yang berantakan sembari meludah ke sembarang arah, ia membawa sebotol minuman di sebelah tangannya.

"Wanita gila itu akan membunuhmu kalau kau masuk ke rumah." ujar laki-laki itu sembari mendorong pundak Claudette hingga ia mundur beberapa langkah ke belakang.

"Kau akan pergi lagi?"

Laki-laki itu berbalik. "Kau pikir aku sanggup berada di rumah yang sama dengan ibumu?"

"Tapi ini malam natal."

"Malam natal atau apapun itu tidak ada untuk keluarga miskin seperti kita." laki-laki itu mengibaskan tangannya ke udara dengan acak. "Sebaiknya kau pergi mencari tempat aman sebelum wanita itu menemukanmu." imbuhnya sembari berlalu pergi.

"Kalau begitu bawa aku pergi bersamamu."

"Urus urusanmu sendiri, Claudette. Aku benci anak perempuan, anak perempuan hanya membuat repot."

Claudette mendesah dan berbalik masuk ke dalam rumah meski laki-laki itu melarangnya. Ia berdiri di balik pintu sembari melihat ibunya yang berjalan menghampirinya sembari membawa vas bunga. Claudette kemudian merasakan ada sesuatu yang basah dan amis yang mengalir di wajahnya ketika vas tersebut menghantam kepalanya.

Tubuhnya bergetar dan dadanya terasa sesak. "Bunuh saja aku." ujarnya.

Memangnya kenapa jika Claudette mati?

Memangnya apa yang Claudette miliki hingga ia memilih untuk tetap hidup?

"Apa?" wanita itu menyentuh wajahnya dengan tangannya yang penuh darah, ia ikut terluka akibat pecahan vas bunga di tangannya.

"Kubilang bunuh saja aku, bunuh aku seperti yang ibu inginkan selama ini."

"Bukankah penderitaan ini akan berhenti jika aku mati?" Claudette terus mendesak wanita itu, ia berlinang air mata dan napasnya tidak beraturan. Ia tidak bisa menjelaskan rasa sesak di dadanya, ibunya, wanita yang paling ia sayangi, wanita yang ingin ia lindungi menginginkannya untuk mati.

Wanita itu menjatuhkan sisa-sia vas di tanngganya ke lantai. "Pergi dari sini, aku tidak mau melihatmu." ujarnya sembari berbalik.

"Apa salahku?" Claudette memandangi punggung wanita itu. "Apa salahku sehingga ibu aku pantas mendapatkan semua luka ini?!" teriaknya.

"Aku yang salah karena membiarkanmu terlahir ke dunia ini." balas wanita itu pelan.

Claudette tersenyum getir dan pergi meninggalkan rumah di malam yang bersalju tersebut. Pohon natal ataupun malam natal, Claudette sudah melupakan keduanya. Ia menutup keningnya yang mengeluarkan darah yang terus jatuh ke atas salju.

Claudette terus berjalan, langit semakin gelap dan rumah-rumah terang di sisi jalan seakan menertawakan kemalangannya.

Menjadi seorang teman artinya kau akan mendatangiku setiap kali merasa kesulitan.

Kalimat George pada pesta dansa malam itu menjadi satu cahaya yang menerangi jalan Claudette hingga anak perempuan itu berdiri di depan pintu kediaman Margaret, Claudette terdiam sebelum mengetuknya dua kali dan ia memutuskan akan pergi jika pintu itu tidak terbuka.

Claudette mengigit bibir bawahnya. "Apa Anda keberatan jika aku menginap malam ini?" tanyanya ketika Margaret membukan pintu.

Margaret menyingkir dari pintu. "Pintu ini selalu terbuka untukmu." ujarnya, ia melihat sedih luka pada kening anak perempuan itu. "Kau datang di waktu yang tepat, kami baru akan memulai makan malam."

Selama makan malam Margaret tidak menanyakan apa yang terjadi karena takut membuat Claudette merasa tidak nyaman. Wanita itu lalu berkata bahwa ia sedikit kelelahan dan ingin tidur lebih awal. Ia mengucapkan selamat natal dan mengecup pipi kedua anak itu.

Claudette berniat naik ke kamar yang dipinjamkan Margaret setelah selesai mengeringkan piring.

"Kenapa kau duduk di sana?" tanya Claudette saat mendapati George duduk pada anak tangga sembari memegang lilin tidurnya.

"Kau mengantuk?"

"Tidak." Claudette ikut duduk pada satu anak tangga di bawah George, dari tempatnya duduk ia bisa melihat pohon natal di lantai utama yang diletakan di dekat perapian. "Bukankah ini natal pertamamu di rumah ini."

George mengangguk. "Tempat ini tidak terlalu buruk karena ada kau dan Margaret."

"Sangat aneh mendengarmu mengucapkan kalimat manis." balas Claudette.

"Benarkah?" tanya George. "Aku juga merasa agak aneh." imbuhnya sembari tertawa.

George Chester punya senyum yang bagus.

Anak laki-laki itu kemudian membicarakan banyak hal. Ibunya, teman-teman lamanya dan hal-hal yang disukainya. Kedua anak itu menjadi akrab dengan sangat cepat, mereka melupakan kejadian dimana mereka sempat membenci satu sama lain.

"Kenapa kau selalu mengikat rambutmu?"

Claudette menaikan sebelah alisnya. "Karena mereka mengangguku." balasnya.

"Potong saja kalau begitu."

"Kenapa?"

Karena kau terlihat manis ketika rambutmu diikat menjadi satu.

"Kau terlihat aneh ketika kau mengikat rambutmu." balas George sembari berdiri membawa lilinnya yang nyaris habis.

Claudette melakukan hal yang sama. Ia lalu mengeluarkan sarung tangan dari dalam saku mantelnya. "Ambil ini." ujarnya sembari menaruh sarung tangan tersebut ke tangan George.

George tersenyum sembari memandangi punggung Claudette yang kini berjalan mendahuluinya. "Kau belum mengucapkan selamat natal untukku." George menyusul anak perempuan itu dan berdiri menghalangi jalannya.

"Selamat natal."

George lagi-lagi tersenyum mendengar kalimat tidak tulus itu, tangannya terulur untuk menyentuh pucuk kepala Claudette dan kemudian berhenti di sekitar luka anak perempuan itu. "Selamat natal." ujarnya.

"Aku akan tidur jika tidak ada yang ingin kau katakan lagi."

"Aku senang karena malam ini kau datang ke rumah ini, aku ingin kau tahu itu."

"Hari ini sangat melelahkan dan aku nyaris menyerah."

"Aku tahu."

Matamu menjelaskan semua rasa sakitmu dengan sangat lantang dan aku ingin memelukmu.

Namun aku tidak bisa melakukannya.

Aku takut.

Karena malam ini,

kau terlihat sangat rapuh.

***

tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

tbc

the lost boy / lee haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang