16. dancing in the rain

4 1 0
                                    

"Aku suka musim panas." Claudette duduk pada cabang pohon sembari mengayunkan kakinya. "Kuharap musim panas kali ini tidak pernah berakhir." imbuhnya.

Langit siang itu sebiru air laut dan cahaya matahari yang terik membuat air sungai berkilau-kilau indah.

"Kau hanya akan mati kekeringan jika musim panas tidak pernah berakhir." balas George sembari menggulung celananya hingga sebatas lutut, ia masuk ke dalam sungai untuk membasuh wajahnya—mencoba mencari kesejukan di tengah-tengah teriknya musim panas yang terasa mencekik.

"Siapa yang peduli." Claudette mengangkat kedua pundaknya.

"Apa yang kau inginkan di hari ulang tahunmu?" tanya George sembari ikut duduk pada cabang pohon.

"Aku ingin membeli kue dengan banyak krim dan lilin di atasnya, tidak masalah kalau rasanya buruk."

"Beritahu aku jika ada hal lain yang ingin kau lakukan di hari ulang tahunmu." George menoleh ke samping, mengamati Claudette yang hanya mengangguk menanggapinya.

Kedua anak itu kemudian membicarakan banyak hal, Claudette beberapa kali tertawa dan George menyadari bahwa anak itu manis.

"Oh, aku benci hujan." Claudette mengikat kain penutup kepalanya ketika gerimis turun, ia melepaskan sepatunya dan pergi ke tepi sungai untuk mengambil tumbuhan dengan daun lebar yang tumbuh bergerombol di sana agar dapat mereka gunakan sebagai payung.

"Kenapa turun hujan di saat seperti ini, padahal tadi cuacanya bagus sekali." gumamnya.

"Kenapa kau benci hujan?" George bicara sembari mengusap wajanya yang basah. "Kalau kau menyukai musim panas dengan sebegitunya, maka juga harus menyukai segala cuacanya." imbuhnya.

"Hujan membuat cucianku jadi menumpuk." balasnya sembari meraih tangan George dan memberikan satu tanaman berdaun lebar yang dibawanya. "Gunakan itu sebagai payung."

George menjatuhkan daun tersebut, ia ikut melepaskan sepatunya. Aroma tanah kering yang diguyur hujan tercium memenuhi penciuman. "Lihat, hujan tidak seburuk itu." ujarnya sembari tersenyum.

"Kau ingat gerakan dansa saat pertunjukan natal?" George merebut tamaman milik anak perempuan itu dan membuangnya asal hingga seluruh tubuhnya ikut basah.

"Memangnya itu penting sekarang?"

"Ayo lakukan dansa itu lagi, di sini, di atas rerumputan, di bawah hujan, bersamaku." George mengelurkan sebelah tangannya. "Atau kau sudah lupa gerakannya?"

"Pikirmu aku bodoh?" Claudette membalas ketus sembari menerima uluran tangannya.

Kedua anak itu lalu berdansa sembari tertawa-tawa. George beberapa kali mengejar Claudette setelah anak perempuan itu dengan sengaja menginjak kakinya.

"Aku minta maaf." Claudette menyatukan kedua tangannya setelah George berhasil menangkapnya.

George menepuk pelan kedua pipi anak perempuan itu. "Ayo istirahat sebentar sebelum kembali." ujarnya sembari mengambil sepatunya.

Ia lalu menggantung sepatu tersebut dan sepatu kepunyaan Claudette yang basah pada ranting pohon. Beberapa tetes air jatuh dari rambutnya dan ia mengibaskannya ke belakang sebelum menggulung lengan bajunya hingga sebatas siku.

"Bagaimana jika kau sakit setelah ini?" Tanya Claudette. "Aku tidak mau ikut disalahkan." Imbuhnya, Claudette masih ingat bagaimana anak laki-laki itu jatuh sakit setelah mencuci kain di musim gugur.

"Margaret akan merawatku dengan baik, aku bisa mengandalkannya."

Claudette membuang muka.

Kau pasti tidak tahu bagaimana dirimu ketika sedang sakit, batinnya. George merengek di dalam tidurnya, seolah-olah ia tidak bisa bangun dari mimpi buruk, ia terus memanggil-manggil ayahnya. George, hari itu ia terlihat seperti anak seusianya, seorang anak yang ketakutan, seorang anak yang bermimpi buruk.

Memangnya apa yang kuketahui tentangmu? Satu-satunya hal yang kuketahui hanyalah tentang ibumu yang gemar merajut dan keluargamu yang kaya raya. Tidak adil rasanya, karena kau mengetahui semua bagian-bagian paling menyakitkan dalam hidupku sementara aku hanya bisa menebak-nebak hal yang membuatmu terluka.

"Seperti apa ayahmu?" Claudette memeluk kedua lututnya. "Kau sudah bilang kalau ia kejam dan keras kepala."

George terkekeh. "Intinya aku tidak menyukainya."

"Apakah ia seburuk itu?"

"Sangat buruk."

"Ia memukulmu?"

"Mari kita anggap seperti itu."

"Kenapa sosok yang kita sebut sebagai ayah bisa begitu menakutkan." Ujar Claudette.

"Karena mereka bingung bagaimana harus mengungkapkan rasa kasih mereka, itu yang ibu katakan setiap kali ayah memarahiku. Aku berpura-pura percaya agar tidak membuatnya sedih, ayahku sebenarnya tidak bingung, ia hanya tidak menyukaiku dan aku tahu itu."

"Entah kenapa aku bisa memahami sedikit perasaanmu." Claudette beranjak dari tempatnya. "Sudah hampir gelap, aku harus mencuci pakaianku dan menyiapkan makan malam untuk ibuku."

"Kau tidak makan malam bersama kami?"

"Tidak untuk hari ini." Ia sedikit berjinjit untuk mengambil sepatunya. "Terima kasih." ujarnya setelah George membantunya. 

"Kenapa?"

"Hari ini hari ulang tahun ibuku, setidaknya aku ada di rumah saat makan malam."

"Claudette kau,"

"Aku pasti akan pergi seandainya ada hal buruk yang terjadi." potong Claudette.

Ia lalu belari pergi, tidak memberikan George celah untuk menentang keputusannya.

Sisa-sisa hujan membuat udara sedikit lebih sejuk, Claudette masuk ke dalam dapur dengan rambutnya yang masih basah. Jendela kayu di ruangan sempit itu dibiarkan terbuka dan tirai lusuhnya begelombang tertiup angin, langit sore itu bewarna biru gelap, warna yang membawa kekosongan dan kehampaan. Claudette duduk melamun di meja makan sembari menunggu ibunya keluar dari kamar, di atas meja tersusun rori-roti dan selai beri olahan rumahan.

Claudette beranjak dari kursinya hingga menimbulkan bunyi decitan antara lantai kayu dan kursi yang bergesekan ketika ibunya keluar dari dalam kamar dan sepertinya wanita itu akan mengurung diri lagi begitu melihat Claudette ada di sana.

"Aku mengira kau perlu seseorang untuk duduk bersamamu di hari ulang tahunmu, tapi sepertinya kau berpikir sebaliknya." Ujar Claudette. "Aku akan pergi ke kamarku."

Claudette mengambil satu roti dari keranjang roti dan bergegas pergi ke kamarnya.

Anak perempuan itu bersandar pada ranjang, suara air yang menetes ke atap dari pohon oak besar di sebelah rumah terdengar teratur di telinganya. Ia memenuhi mulutnya dengan roti di tangannya sembari terus memandang kosong pintu kayu dihadapannya.

Bagaimana caranya ia menjelaskan perasaannya?

Rasanya sepi, sunyi dan hampa.

Semuanya tumpang tindih hingga ia merasa sesak dan nyaris mati.

Rasanya seperti terkurung dalam ruangan sempit dan pengap hingga membuat kesuliatan untuk bernapas, dan ruangan sempit itu ia sebut sebagai ibu.

***

tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

tbc

the lost boy / lee haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang