Dante
Tidak mudah menemukan Zen. Setelah pencarian panjang, akhirnya dia ditemukan di salah satu penginapan di daerah Bogor. Ketika tertangkap, Zen tidak mengelak saat digelandang menuju kantor polisi.
Sudah tidak terhitung banyaknya orang yang ditangkap dan berada di ruang interogasi, dari beragam jenis kejahatan. Aku sudah menyaksikan banyak hal. Namun Zen berbeda.
Melihat dia yang kooperatif saat ditangkap membuatku yakin dia tidak bersembunyi dari polisi.
Sekarang tugasku membongkar semuanya. Saat masuk ke ruang interogasi dan bersitatap dengan Zen, naluriku berkata dia menyimpan rahasia besar.
Aku tidak langsung menginterogasinya. Lama aku memperhatikannya. Aku masih tidak habis pikir bagaimana dia bisa bertalian darah dengan Zara. Mereka begitu berbeda. Zen yang kurus dan ringkih seperti tidak memiliki semangat hidup. Tatapannya kosong. Berbeda dengan Zara yang penuh tekad membara di matanya.
Mengingat Zara membuat hatiku mencelus. Aku sempat mempertimbangkan untuk merahasiakan penangkapan Zen, setidaknya sampai besok pagi. Namun aku telanjur berjanji dan mengingkari janji kepada Zara adalah hal terakhir yang ingin kulakukan.
Seharusnya aku sudah menduga Zara tidak akan tinggal diam. Ketika menerika pesan yang mengabarkan dia menunggu di luar, aku langsung meninggalkan ruang interogasi. Meski saat ini berhadapan dengan Zen, pikiranku masih memikikirkan Zara yang menunggu.
Selama tiga hari ini aku tidak berhubungan dengannya. Sudah tidak terhitung beberapa kali, ketika begitu lelah, aku tergoda untuk menghubunginya. Mendengar suara Zara saja sudah cukup. Beruntung aku kembali berpikir jernih di detik terakhir. Meski berat, tapi ini yang terbaik. Aku tidak ingin karena ketidakmampuanku menahan diri bisa membahayakan kasus ini, yang juga berarti membahayakan Zara.
Begitu ini semua selesai, aku akan kembali kepada Zara.
Aku menutup pimtu di belakanhku dan bersitatao dengan Imran. Dia memberi kode agar aku yang melanjutkan interogasi.
“Sebelumnya, gue mau tahu soal Zara. Kalian juga menangkap Zara?” tanyanya. Dia menatapku dengan cemas yang tidak bisa ditutup-tutupi.
“Apa yang kamu tahu soal Zara?” tanyaku, sengaja memancingnya untuk memberitahu kebih banyak.
Zen menjambak rambutnya dan menjerit tertahan. Dia menatapku pias. “Kalian salah. Zara enggak ada hubungannya dengan ini.”
Pengakuan ini yang kubutuhkan agar Zara tidak lagi terlibat.
“Kami menemukan narkoba di tokonya,” balasku.
Zen masih saja menjambak rambutnya. “Ini semua karena Marni. Gue berani sumpah, Zara sama sekali enggak tahu.”
Aku mengatupkan tangan di meja. “Apa yang harus saya tahu soal Zara?”
Zen bergerak gelisah di kursinya. Aku bisa melihat pertentangan yang dialaminya. Dia seharusnya paham bahwa berbohong tidak akan membawanya lepas dari kasus ini. Bukti yang dibutuhkan untuk memenjarakannya sudah banyak. Zen salah seorang pengedar. Dia yang membawa bunga berisi narkoba dari Alya ke pembeli.
Aku menunggu dalam diam, membiarkan Zen sampai ke kesimpulan.
“Gue salah, tapi ini enggak ada hubungannya sama Zara. Gue mohon, lindungi Zara,” bujuknya.
Aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat sementara Imran berdiri di ujung meja. Zen menatapku dan Imran berganti-gantian sebelum akhirnya buka suara.
“Semuanya bermula sekitar enam tahun lalu, itu pertama kalinya gue jadi pemakai. Awalnya gue cuma coba-coba.”
Omong kosong, setiap yang tertangkap basah selalu mengajukan alasan yang sama. Selalu semuanya berawal karena coba-coba.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher
RomanceKetika mimpi sebagai pianis kandas, Zara banting setir menjadi guru private. Perkenalannya dengan Gregoria, seorang anak berusia enam tahun, membuat hidup Zara yang sebelumnya tenang tanpa gejolak, berubah penuh intrik setelah masuk ke dalam keluarg...