"Aku pulang...." Saat aku membuka pintu tampak di ruang tengah ayah dan tante Belinda sedang duduk berdua sambil menonton televisi. Aku mendengus menahan kesal. Saat-saat seperti ini bunda pasti sedang di kamar atau di dapur. Rasanya benar-benar seperti ada dua dunia asing dalam satu rumah. Pemandangan ini sangat membuatku mual!
"Ah, Falia sudah pulang? Bagaimana sekolah dan kerja sambilannya?" Tante Belinda menyapaku dengan ramah.
"Baik-baik saja." Aku menjawab seperlunya.
Ayah bangun dan menarik lenganku, menahanku masuk ke dalam rumah, "Bisakah kamu sedikit lebih sopan pada Belinda?"
"Apakah aku kurang sopan?"
"Sudahlah Brian, Falia menjawabku dengan sopan kok. Mungkin dia sedikit lelah karena sekolah dan kerja seharian." Tante Belinda menarik lengan ayah melepaskan genggamannya dariku dengan lembut.
Aku tahu dia sangat tulus dan lembut, justru itulah yang membuatku semakin sakit saat ada di dekatnya. Seandainya dia adalah ibu tiri jahat seperti di dalam dongeng pasti aku takkan ragu untuk melawannya dan tak perlu merasa bersalah untuk hal buruk yang kulakukan padanya.
"Ayah perhatikan kamu selalu pulang lewat dari jam makan malam, sejak kamu masuk sekolah menengah kamu jadi jarang di rumah. Apa uang jajan dari ayah kurang, hingga kamu perlu kerja paruh waktu?"
"Uang jajan dari ayah masih tersimpan utuh di rekening pribadiku tak pernah kusentuh sedikit pun untuk keperluan pribadi kecuali untuk biaya sekolah." Aku menjawabnya dengan dingin. Aku tahu matanya tiba-tiba tampak membesar karena terkejut mendengar ucapanku.
"Aku benar-benar tidak mengerti denganmu."
"Kita memang selalu gagal untuk saling mengerti, Ayah. Sudahlah aku lelah dan ingin tidur."
"Sudahlah Brian... Falia masih kecil mungkin dia belum mengerti sepenuhnya." Itulah samar-samar kalimat yang kudengar dari bibir Tante Belinda saat aku berlalu meninggalkan mereka berdua. Entah apa maksudnya? Apa lagi yang harus aku mengerti? Apa lagi yang tidak aku mengerti?
Aku benar-benar muak tinggal di rumah ini, jika saja bukan karena bunda. Tiga tahun sudah kulewati hingga hari ini tapi rasanya masih saja berat, masih saja aku belum terbiasa. Melihat ayah dalam pelukan wanita lain, sedangkan bunda lebih mirip kerabat jauh yang menginap di rumah ini.
Beberapa teman sekolahku di Indonesia sempat mengirimkan pesan elektronik mereka bilang mereka iri padaku, pada kehidupanku yang sekarang tinggal di sini. Mereka hanya belum tahu saja, saat mereka tahu bagaimana sebenarnya aku melewati hari-hariku aku yakin mereka takkan berminat bertukar tempat denganku.
Aku membanting tubuhku di tempat tidur. Meraih ponsel dari saku jaketku. Tidak ada pesan masuk dari Rama. Tiba-tiba aku ingin bertemu dengannya. Aku selalu ingin melihat dan berbicara dengannya di saat-saat seperti ini, di saat-saat aku ingin menyerah terhadap kehidupan. Tapi aku menghapus kembali pesan singkat yang tadinya akan kukirim pada Rama. Wajah gadis kecil bernama Shinta itu membuatku berpikir ulang. Bagaimana jika aku mulai jatuh cinta pada Rama? Ini tidak boleh, Rama sudah punya seorang gadis yang akan dia nikahi nanti. Lagi pula soal cinta, aku tak pernah percaya yang seperti itu benar-benar ada. Buktinya, ayah dan bunda. Mereka menikah harusnya karena saling mencintai bukan? Tapi apa yang terjadi sekarang, alasan cinta yang membuat mereka menikah justru hanya berakhir sebagai alasan untuk saling menyakiti.
Aku memilih memejamkan mata dan tertidur. Hanya dalam mimpi kadang aku bermimpi menjadi salah satu putri dari negeri dongeng yang jatuh cinta pada pangeran baik hati lalu kami hidup bahagia selamanya. Ya, cinta hanya ada dalam buku cerita waktu kecil. Sedangkan cinta pada kenyataannya hanya pertemuan, rasa sakit, dan rasa takut akan perpisahan.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Tidak Semua Cinta Bisa Bertemu
RomanceSaat nulis bagian-bagian akhir Apakah Kita Bisa Bertemu Lagi (novelet pertama saya di wattpad) selalu tergelitik buat nulis juga gimana perasaan Falia (tokoh yang jarang muncul tapi banyak yang sebal :P) dan apa yang terjadi pada Rama selama 12 tahu...