"Acaranya kan belum selesai, apa nggak apa-apa, Bapak..."
"Bapak?"
"Ehm... ya, kamu, ah, kita... pulang duluan, apa nggak masalah? Kamu salah satu pelukis di sana kan pasti banyak yang pengin ketemu."
"Tidak apa-apa."
Kemudian hening lagi. Entah atmosfir macam apa yang mengelilingi kami. Aku duduk dalam mobil Pak Raelan. Sesekali aku menatapnya dari samping, matanya tetap fokus menatap lurus ke jalan. Aku sudah beberapa kali mencoba memulai percakapan tapi Pak Raelan, eh, Raelan maksudku, hanya menjawab singkat saja. Dia bilang aku tak perlu memanggilnya dengan sebutan Bapak lagi. Aku masih agak canggung, tapi itu menyenangkan. Bisa menyebut nama orang yang disukai. Namanya begitu hangat. Tanpa sebutan "Bapak" aku merasa jarak kami mulai semakin membias.
Aku memilih menatap ke luar jendela dan menikmati pemandangan, menatapnya terlalu lama membuatku semakin berdebar. Beberapa butir gerimis mulai menyentuh kaca jendela mobil. Jalanan Vienna malam hari masih tampak memesona. Deretan bangunan dengan arsitektur Baroque dan ruko-ruko yang didesain mirip kastil dalam buku dongeng anak-anak. Lampu jalanan membuat kota ini terasa makin romantis.
Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku tanyakan dan aku bicarakan padanya, tapi aku tak tahu bagaimana cara memulainya. Sementara sejak tadi Raelan hanya diam dan serius menyetir.
"Ini... am Graben...?"
"Ya, kamu sudah pernah ke sini?"
"Aku cuma tahu dari Internet, dan Rama bilang padaku aku harus mampir ke sini saat di Vienna. Tenyata aslinya tempatnya lebih cantik ya."
"Rama, apa dia ikut ke sini? Anak laki-laki yang dulu sering kamu ceritakan itu?"
"Dia nggak ikut karena sedang sakit. Aku ke sini sendirian."
"Oh, baguslah."
"Bagus?"
"Hm... kita makan malam dulu?" Dia mengalihkan pandangannya dariku membuka sabuk pengaman dan buru-buru keluar dari mobil lalu memutar ke bagian mobil dan sesaat sebelum aku membuka pintu mobil sendiri, Pak Raelan sudah membukakannnya untukku.
Kami masuk ke sebuah restoran, alunan biola memainkan melodi klasik. Hm... mungkin ini salah satu musiknya Mozart? Ahaha... aku tidak begitu mengerti soal musik klasik. Satu-satunya musisi yang kutahu ya, Mozart. Yang pasti alunan musiknya sangat lembut dan romantis. Seorang pelayan wanita dengan pakaian sangat rapi mengantar kami ke sebuah meja di lantai dua restoran ini, aku memilih duduk yang dekat jendela supaya bisa lebih asyik melihat pemandangan jalanan Graben di malam hari.
"Pesan apa?" Pak Raelan menggeser buku menu kepadaku.
Aku membuka buku menu tersebut, dan tidak ada nama makanan yang kukenal. Meski sudah bertahun-tahun di Austria aku jarang makan di restoran dengan makanan khas di sini. Aku lebih suka mencari makanan khas Asia yang terasa lebih cocok dengan lidahku. Apalagi di buku menu ini tidak semua menu ada gambarnya, aku jadi bingung.
Pelayan wanita mulai mencatat menu makanan yang Raelan pesan. Aku menutup buku menu dan menarik ujung lengan jas Pak Raelan.
"Pesankan aku makanan paling enak di sini?" Aku setengah berbisik, "Aku sama sekali nggak tahu harus makan apa?"
Dia tersenyum, aku tahu dia menahan tawa.
"Harusnya kamu ajak aku ke kafe saja. Deretan nama menu di buku itu, satu pun nggak ada yang aku tahu. Aku biasanya lebih suka ke restoran Asia. Lagipula sepertinya ini restoran yang terlalu mewah, lihat saja semua orang di sini pakaiannya rapi-rapi sekali. Lebih seperti mau hadir di pesta pernikahan daripada akan makan malam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Tidak Semua Cinta Bisa Bertemu
RomanceSaat nulis bagian-bagian akhir Apakah Kita Bisa Bertemu Lagi (novelet pertama saya di wattpad) selalu tergelitik buat nulis juga gimana perasaan Falia (tokoh yang jarang muncul tapi banyak yang sebal :P) dan apa yang terjadi pada Rama selama 12 tahu...