Bagian 23

3K 130 12
                                    

"Maaf mengajak bertemu malam-malam. Sudah lama menunggu?" Seorang laki-laki dengan stelan kemeja hitam duduk di hadapanku.

"Baru sekitar sepuluh menit." Aku tersenyum.

Rama duduk di sebelahku sejak tadi, sambil menikmati cangkir kopinya yang hampir kosong. Laki-laki berkemeja hitam itu datang bersama Nala. Sekitar satu jam yang lalu Nala menelepon mengajakku bertemu di sebuah restoran Italia di daerah Jakarta Pusat. Kami sengaja memesan private room agar bisa bicara lebih nyaman. Pasti mereka mengajakku bertemu untuk membahas soal Raelan.

"Ini Gio, tunanganku." Nala mengenalkan laki-laki itu padaku dan Rama. Laki-laki yang tadi menyapaku.

"Sebelumnya maaf Falia, karena tanpa minta izin aku menyadap telepon rumah dan telepon ayahmu."

Aku mengernyit, "Oh? Bagaimana bisa?"

"Itu bukan hal sulit buatku." Dia tertawa renyah, Nala memukul lembut pundak tunanganya. "Sebelumnya aku mau minta izin, tapi kubatalkan. Akan lebih aman jika penyelidikan ini dilakukan sangat rahasia."

"Apa ada hasilnya?" Rama bertanya ke inti masalah. Padahal kurasa Gio sedang coba berbasa-basi sebelum masuk ke inti masalah agar kami sedikit rileks.

"Ya, aku sudah menemukan di mana Raelan. Ternyata lebih mudah dari yang kuduga." Dia mengeluarkan sebuah ponsel dan menunjukannya padaku. "Rekaman percakapan ayahmu dan seseorang di Jerman. Kamu mau mendengarnya?"

"Jerman?"

"Betul Falia, Raelan dianggap mati di Austria tapi dia masih hidup di Jerman. Sebagai orang lain."

Aku mengernyit bingung tapi tiba-tiba dadaku berdebar kuat, antara takut dan penasaran, antara cemas tapi bahagia. Setidaknya Raelan benar-benar belum meninggal. Tapi bagaimana bisa dia hidup sebagai orang lain?

Aku menekan tombol play pada ponselnya, terdengar percakapan dua orang dalam bahasa Jerman yang fasih. Aku yakin suara laki-laki salah satunya adalah suara ayah, sedangkan yang satunya lagi aku tak tahu suara siapa. Ayah memanggil lawan bicaranya dengan nama Redd.

"Ada kabar apa?"

"Tidak ada kabar penting apa pun, Tuan. Orang itu masih aman di sini."

"Dia benar-benar tak ingat apa pun?"

"Ya, kami sudah meminta psikiater memeriksanya, mereka memastikan dia tak mengingat apa pun. Selain itu dia sama sekali tidak bicara apa pun sejak pertama dibawa ke sini."

"Baiklah, kalau begitu biarkan dia hidup. Lagipula sekarang anakku akan menikah dengan laki-laki lain. Dia pasti melupakan si bodoh ini. Dari semua laki-laki di dunia ini kenapa Falia harus jatuh cinta pada si brengsek ini? Wajahnya sangat mirip dengan ayahnya yang sialan itu!"

"Tuan Walter sudah meninggal bertahun-tahun lalu Tuan, sebenarnya laki-laki ini tak ada hubungan apa pun dengan masalah Anda dan ayahnya. Apakah adil jika...."

"Tak usah bicara soal keadilan! Jika dia pulih kau harus membunuhnya! Aku tak ingin dia mengganggu hidupku lagi. Ayahnya ataupun anaknya."

"Baik, Tuan."

Rekaman telepon selesai sampai di situ. Aku membekap mulutku kuat- kuat menahan air mata yang hampir menyeruak. Ayah masih sangat ingin membunuh Raelan.

"Tapi tunggu, kenapa di rekaman itu disebut Tuan Walter, apakah dia dan ayahnya Falia pernah punya masalah?"

"Hm... kamu tidak tahu ya, Rama? Kasus pencurian ide lukisan sekitar empat puluhan tahun lalu. Tuan Walter memenangkan penghargaan pelukis paling bergengsi di Jerman saat itu. Tapi, Tuan Brian Yudistira mengklaim bahwa ide lukisan itu sebenarnya miliknya. Kasus ini sempat dibawa ke pengadilan tapi dimenangkan oleh Tuan Walter, bukti-bukti dari pihak Tuan Brian tidak cukup kuat. Meski sebagian besar orang yakin itu memang lukisan Tuan Brian. Sebelumnya mereka bersahabat. Tuan Walter sudah mencuri ide lukisannya. Seorang seniman pasti pernah sampai di tahap kesulitan mencari ide, mungkin itu yang membuat Tuan Walter mencuri ide lukisan temannya sendiri. Tuan Brian merasa harusnya dialah yang menjadi pelukis terhebat saat itu jika saja ide lukisannya tidak dicuri oleh sahabatnya sendiri."

Karena Tidak Semua Cinta Bisa BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang