Bagian 24

6.5K 225 55
                                    

Kejadian-kejadian belasan tahun lalu terbayang dengan sangat baik dan rapi dalam kepalaku. Kadang setengah tak percaya aku pernah melewati masa-masa seperti ini. Rasanya seperti aku sudah pernah hampir menghabiskan semua air mataku. Jika ditanya sanggupkah aku membayangkan, seandainya semua masa lalu mengerikan itu kembali ke hadapanku? Tentu saja jawabannya, tidak! Aku takkan sanggup, mengingatnya saja aku merasa ngeri. Namun, aku tetap masih bersyukur, tanpa semua kesedihan dan kepedihan itu mungkin kini aku takkan merasa sebahagia ini. Kebahagiaan ini terasa semakin manis karena aku sudah begitu lama merindukannya dan membelinya dengan begitu banyak air mata.

From Rama : Jangan lupa besok datang ke acara pernikahanku dan Shinta kan?

To Rama : Calon pengantin jam segini masih bisa chatting? Ini hampir tengah malam.

From Rama : Hm... agak grogi sampai susah tidur.

To Rama : Ahaha... Tapi, kamu memang menyebalkan, harusnya kan aku yang menikah duluan.

From Rama : Kalau bisa cepat kenapa harus ditunda?

To Rama : Gila! Gimana bisa mempersiapkan pernikahan dalam waktu 2 bulan?

From Rama : Bisa aja kok. Lagipula ini akan jadi pernikahan tertutup yang mengundang keluarga dekat aja jadi nggak begitu banyak persiapan. Kami juga sengaja mengadakan di luar kota. Kamu tahu kan, aku nggak suka keramaian jadi pernikahan kami tanpa liputan media atau apa pun. Shinta dan keluarganya sudah setuju, ya sudah. Ahahaha..... Kamu akan datang kan, Falia?

To Rama : Hm.... coba aku cek jadwalku dulu ya. Ahaha... :P Ya dong, aku akan datang!

Pintu kamarku terbuka dengan pelan, wajah Raelan menyembul dari balik pintu. "Kamu belum tidur?"

"Ini baru mau tidur, barusan Rama chat aku. Mengingatkan besok kita harus datang ke acara pernikahannya."

"Hm... Aku boleh masuk?"

"Apa perlu kujawab?" Aku tersenyum mengiyakan, Raelan masuk ke kamarkku.

Raelan duduk di tepi tempat tidurku. Menatap lembut ke arah perutku yang semakin membesar. Usia kandunganku sudah delapan bulan. Menunggu si mungil ini lahir rasanya sangat berdebar-debar. Tapi bukan debaran takut seperti dulu saat Raelan menghilang. Karena sekarang Raelan selalu ada di sisiku, rasanya sangat tenang dan bahagia.

"Aku senang Rama dan Shinta akhirnya menikah. Setelah semua yang terjadi selama ini, aku sangat banyak menyusahkan mereka. Sejak kecil Rama begitu mencintai Shinta dan ingin menikahinya. Mereka lucu sekali, kan? Sudah memikirkan soal pernikahan sejak lama. Oh ya...."

"Hm... bagaimana kalau ngobrol tentang kita saja, jangan tentang Rama dan Shinta terus."

"Eh?"

"Kadang aku jadi cemburu dengan Rama. Apalagi setelah kamu bilang dia pernah jadi cinta pertamamu dulu bahkan dia sempat mau menikahimu."

"Tunggu, kamu cemburu?"

"Apa aku nggak boleh cemburu?"

"Pak Guru ini kupikir nggak bisa cemburu."

"Apa maksudmu? Aku mencintaimu pasti aku bisa cemburu."

"Ahaha.... Tenang saja, itu kan masa lalu. Cinta pertamaku memang Rama, tapi itu semua sudah lewat. Cintaku untuknya tidak ditakdirkan untuk bertemu, tapi sekarang aku dipertemukan denganmu cinta yang lebih indah. Sekarang kamu satu-satunya yang kucintai dan akan selamanya begitu, jadi nggak perlu cemburu dengan masa lalu."

Raelan menarik bibirnya sedikit tersenyum ke arahku, dia meletakkan kepalaku ke dadanya. Mengusapnya dengan lembut, membisikan beberapa kali kata-kata bahwa dia sangat mencintaku. Aku membalas pelukannya dengan hangat. Mengangkat sedikit kepalaku, mata kami bertatapan, dengan lembut Raelan menyentuh pipiku dan mengecup kedua mataku bergantian. Debaran yang sangat kurindukan kini menjalar lagi ke seluruh aliran darahku. Aku memejamkan mataku dan merasakan bibir lembutnya menyentuh bibirku. Debaran yang manis dan hangat.

Karena Tidak Semua Cinta Bisa BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang