"Hallo."
"Halo Rama. Kamu lagi di apartemen kan?"
"Ya."
"Aku sendirian di rumah, kamu bisa ke sini?"
"Ada apa?"
"Nggak tahu, tiba-tiba kepalaku terasa pusing sekali. Bunda Belinda sedang pergi dengan ayah."
"Kamu di mana?"
"Aku di rumah."
"Nggak terjadi hal buruk kan?"
"Nggak sih, cuma pusing banget. Apa ini karena kandunganku? Rama, tapi kamu lagi sibuk ya? Apa lagi sama Shinta? Hm... maaf kalau ganggu. Kamu ke sininya nanti saja setelah les musiknya selesai. Aku masih bisa tahan kok. Aku tidur saja deh, mungkin habis tidur nanti pusingku hilang."
"Ah, oke, aku ke sana sekarang."
"Halo Rama? Ke sininya sore saja? Halo?"
Ah, bodoh! Aku lupa kalau hari ini jadwalnya les musik dengan Shinta, harusnya aku tidak menelepon dan mengganggu waktunya. Aku sudah memonopoli banyak waktu Rama, beberapa hari terakhir ini. Kasihan Shinta. Rama juga bodoh! Kenapa dia jadi panik begitu dan langsung menutup teleponnya? Padahal tidak apa-apa kalau dia mau datang agak sore setelah les musiknya selesai.
Aku menyelonjorkan kakiku di tempat tidur, mengambil secangkir teh jahe hangat yang tadi disediakan Bunda sebelum pergi. Katanya jahe bisa menenangkan dan meringankan rasa sakit kepala. Saat meneguknya, seolah rasa hangatnya menyiram tenggorokan hingga perutku.
Tak beberapa lama kemudian, dari luar terdengar suara derungan motor. Itu pasti Rama. Aku berjalan ke arah jendela melihat ke luar rumah. Benar, Rama sudah ada di pekarangan rumahku. Bunda Belinda sengaja memberi kunci cadangan rumah ini untuk Rama agar dia lebih mudah mengunjungiku saat bunda atau ayah sedang tidak di rumah. Wajahnya tampak sedikit panik, dia buru-buru meletakkan helmnya dan setengah berlari ke arah pintu rumah.
"Falia?" Dia membuka pintu kamarku yang memang tidak kukunci."Ah, maaf, lagi-lagi aku mengganggu waktumu bersama Shinta."
"Mau ke rumah sakit?" Aku merasa sedikit lucu memandang Rama yang penuh mimik wajah khawatir. Membayangkan jika dia benar-benar jadi calon ayah dia pasti akan jadi tipe yang mudah cemas dan terburu-buru. Tapi tiba-tiba hatiku terasa sedikit perih, seandainya sekarang yang ada di hadapanku dengan wajah khawatir ini adalah Raelan.
"Aku akan panggil taksi."
"Aku cuma sedikit pusing tadi, sudah sedikit lebih baik setelah minum teh jahe hangat."
Rama menghela napas berat, mendekat ke arahku dan menjitak kecil keningku sambil melotot. "Kamu tahu gimana aku panik tadi?"
"Ahaha... maaf. Habis aku merasa sedikit nggak nyaman dalam keadaan begini sendirian di rumah. Maklum ini kan kehamilan pertamaku. Ngomong-ngomong kamu kayak suami betulan aja."
"Bisa-bisanya kamu bercanda saat-saat begini!" Rama duduk di tepi tempat tidurku sambil mengambil segelas air putih dari teko air di meja dekat tempat tidurku, dan meneguknya.
"Bagaimana dengan Shinta? Benar nggak apa-apa kamu menikah denganku dan melepaskan dia?"
"Shinta? Dia nggak mencintaiku."
"Kamu selalu galak dengannya, gimana dia bisa jatuh cinta?"
"Lebih baik dia nggak jatuh cinta denganku saat ini, Falia."
"Hm... maaf, pasti gara-gara aku."
"Sudahlah, aku nggak mau membahas hal ini sekarang. Karena kamu nggak mau ke rumah sakit, gimana kalau kita jalan-jalan aja? Nonton?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Tidak Semua Cinta Bisa Bertemu
RomanceSaat nulis bagian-bagian akhir Apakah Kita Bisa Bertemu Lagi (novelet pertama saya di wattpad) selalu tergelitik buat nulis juga gimana perasaan Falia (tokoh yang jarang muncul tapi banyak yang sebal :P) dan apa yang terjadi pada Rama selama 12 tahu...