Bagian 6

2.8K 134 5
                                    

Hanya pelukis hebat atau minimal mempunyai prestasi di bidang seni lukis yang bisa memajang lukisannya dalam pameran itu. Jadi siapa sebenarnya Pak Raelan? Kalau memang dia seorang pelukis hebat kenapa dia malah jadi guru sekolah menengah?

Aku membuka laptop dan mencari nama Raelan dalam kotak pencarian di internet. Beberapa artikel dan foto lukisan muncul.

Raelan Walter, pelukis muda berbakat. Di usia 21 tahun dia menyelesaikan kuliahnya di bidang seni lukis.

Salah satu pelukis berbakat Austria mengalami kecelakaan pukul 11 malam, 14 September 2013. Kekasihnya Emily meninggal dalam kecelakaan mobil. Raelan Walter memutuskan berhenti melukis di usia 22 tahun, dikabarkan pelukis muda ini mengalami cidera di tangan kirinya.

Pak Raelan?

Setelah kuingat-ingat lukisan yang dipajang di pameran lukisan tadi pun dibuat tahun 2013. Tangan kiri Pak Raelan cidera? Ya, aku tahu dia kidal. Tapi aku rasa tak ada yang salah dengan tangan kirinya. Di ruang pribadinya aku masih melihatnya memegang kuas dengan tangan kiri. Bahkan aku masih bisa pastikan lukisan yang sedang dibuat di kanvas tidak bisa dibilang sebagai lukisan gagal karena mengalami cidera di tangan. Lukisannya yang baru setengah jalan itu tampak indah.

Apakah gadis dalam lukisan itu adalah kekasih Pak Raelan yang meninggal dalam kecelakaan? Hm... besok di sekolah aku ingin memastikan sesuatu.

**

Sudah beberapa hari aku tidak bertemu Rama, aku menghentikan sepedaku di depan gedung sekolah Rama. Sebenarnya Rama lebih muda dua tahun dariku cocoknya dia jadi adikku kan? Tapi aku tidak bisa berbohong kalau bersamanya aku merasakan perasaan bahagia yang sedikit asing. Apakah ini yang orang-orang bilang jatuh cinta? Tapi setahuku jatuh cinta hanya seperti permen karet, saat sudah hilang manisnya maka tak lebih dari sampah.

Aku menghela napas, bayangan kebahagian ayah dan bunda dulu terlintas dalam pikiranku. Kira-kira hingga aku berumur enam tahun, kehidupan kami sangat bahagia tanpa masalah apa pun. Aku punya ibu yang baik, lembut dan pandai memasak, dan seorang ayah yang tampan, gagah dan terkenal karena lukisannya. Sejak kecil aku sudah akrab dengan kanvas, cat air dan kuas lukis. Meski ayah tak pernah memaksaku melukis dan menyukai dunia lukis sepertinya secara tidak langsung aku jadi menyukai melukis dan suka mencoba menggambar sendiri.

Entah sejak kapan kehidupan keluarga bahagia itu tiba-tiba hancur. Aku tidak tahu pastinya. Ayah mulai sering tidak di rumah hingga berhari-hari dan bunda suka menangis malam hari di kamarnya. Lalu mulai terdengar pertengkaran hebat dengan suara keras dan kata-kata kasar. Aku tidak terlalu mengerti awalnya. Tapi lama kelamaan keadaan membuatku menjadi lebih dewasa dari seharusnya. Saat di mana anak-anak seusiaku masih suka bermain di luar rumah aku justru lebih banyak menemani bunda menangis dan pelan-pelan jadi membenci ayah. Dan entah sejak kapan aku merasa takut untuk jatuh cinta dan membangun keluarga sendiri seperti ayah dan bunda jika sudah dewasa. Rasa cinta yang kata novel-novel romantis adalah hal yang abadi, buatku itu hanya sesuatu yang bisa datang dan hilang begitu saja.

Tapi jika di dekat Rama dan berada di sekitar keluarganya aku sering berpikir rasanya tak semua cinta itu menakutkan seperti yang ada di keluargaku. Keluarga Rama begitu harmonis karena saling mencintai.

"Falia..." Sebuah sepeda berhenti di samping sepedaku, mengeluarkan dari lamunanku.

"Rama."

"Ngapain kamu di depan sekolahku?"

"Nggak, itu..."

"Ahaha... kangen aku ya? Beberapa hari ini kayaknya kamu sibuk terus di toko roti."

"Ng... kemarin aku habis datang ke acara pameran lukisan."

"Oh ya? Dengan siapa?"

"Pak Raelan."

Karena Tidak Semua Cinta Bisa BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang