"Di sekolah ada satu guru yang menyebalkan! Dia tahu semua tentangku dan ayahku."
"Semua?"
"Nggak, maksudku hanya bagian aku bisa melukis dan dia tahu aku anak Brian Yudistira."
"Lalu apa masalahnya?"
Rama dan aku berjalan berdua menyusuri trotoar jalan sambil menuntun sepeda. Ban sepedanya bocor, dan rasanya aneh kalau cuma aku sendiri yang naik sepeda sedangkan dia menuntunnya. Padahal dia sengaja mampir ke toko roti tempatku bekerja untuk membeli beberapa baguette. Dia menungguku hingga selesai bekerja dan kami pulang bersama. Meski tidak sesering dulu, tapi sesekali kami memang masih bertemu. Kadang aku kangen bicara dengannya kalau terlalu lama tidak bertemu. Apa dia juga merasakan hal yang sama?
"Masalahnya... ya, aku merasa terganggu. Di sekolah nggak ada yang tahu aku anak Brian Yudistira kecuali kepala sekolah. Aku meminta bunda untuk meminta kepala sekolah merahasiakannya. Tapi guru itu malah tahu."
"Bukannya guru itu juga yang kasih kamu hak istimewa buat pakai ruang seni yang nggak terpakai?"
"Iya sih."
"Ya, anggap aja ada untungnya dia tahu kamu anak Brian Yudistira." Rama tersenyum menatapku. Aku hanya mengangkat bahu malas.
Tapi ada benarnya juga ucapan Rama. Seandainya tak ada Pak Raelan mungkin aku tidak bisa memakai ruang seni lama sebebas sekarang dan melukis dengan tenang di sekolah. Meski umur Rama dua tahun lebih muda dariku kadang ucapannya dan cara berpikirnya bisa sedikit lebih dewasa dari anak-anak seumurannya.
Karena hari ini hari ulang tahun Tante Belinda aku sengaja bilang ada lembur di toko roti padahal aku mampir ke rumah Rama dan ikut makan malam di sini. Hanya Rama satu-satunya temanku yang tahu semua cerita tentang kehidupanku. Dia pendengar yang baik itulah yang membuatku merasa selalu nyaman di dekatnya. Meski sesekali dia suka menasihatiku untuk berlaku lebih baik pada Tante Belinda tapi dia selalu menghargai setiap keputusan yang kupilih. Seperti malam ini misalnya, saat aku bilang aku malas pulang ke rumah karena Tante Belinda ulang tahun, Rama membolehkanku mampir di rumahnya dulu.Aku disambut dengan baik. Keluarga Rama sangat membuatku iri. Ibu dan ayahnya sangat harmonis, Kak Mawar kakaknya Rama pun sangat ramah padaku. Keluarga yang bahagia seolah tak pernah merasakan kesedihan apa pun di dalamnya.
"Oh, ada Falia. Kebetulan Bunda masak masakan Indonesia loh. Kamu pasti kangen kan? Ada sayur lodeh, tempe bacem. Dapat kiriman tempe dan rempah khas Indonesia dari pamannya Rama yang mampir ke sini beberapa hari lalu. Yuk, yuk, masuk ke dalam." Seorang wanita cantik setengah baya menyambut dengan hangat saat pintu rumah terbuka. Tante Lestari, ibunya Rama.
Saat melewati ruang tengah tampak ayah Rama tersenyum ke arahku sambil melipat korannya dan mengikuti kami ke ruang makan. Kak Mawar sedang sibuk menata piring di meja makan. Suasana keluarga yang selalu kuimpikan selama ini. Harusnya aku masih beryukur setidaknya meski tidak kurasakan di rumahku sendiri, di rumah ini aku merasa sedikit bahagia bisa berkumpul dengan keluarga yang sangat bahagia.
"Kalau Falia suka musik nggak?" Ayahnya Rama menyapaku setelah sesi makan malam berakhir, kami sedang menikmati puding sebagai makanan penutup.
Aku menjawab dengan malu-malu sambil mengangguk, "Suka Om, tapi nggak bisa main alat musik."
"Tapi Falia jago melukis loh, Yah." Rama menimpali.
"Boleh dong kapan-kapan bikinkan lukisan wajah Bunda? Hehe...."
"Bunda narsis banget." Kak Mawar tertawa setelah melahap potongan terakhir puding di piringnya.
"Ehehe... boleh, kapan-kapan aku lukiskan kalian. Punya foto sama-sama? Biar aku buatkan versi lukisannya." Aku menawarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Tidak Semua Cinta Bisa Bertemu
RomanceSaat nulis bagian-bagian akhir Apakah Kita Bisa Bertemu Lagi (novelet pertama saya di wattpad) selalu tergelitik buat nulis juga gimana perasaan Falia (tokoh yang jarang muncul tapi banyak yang sebal :P) dan apa yang terjadi pada Rama selama 12 tahu...