"Aku rasa ini agak keterlaluan Brian. Setelah waktu yang lama Falia mulai mau bicara denganku, dia mulai terlihat betah tinggal di sini. Tapi, kau malah ingin memindahkan sekolahnya ke Vienna? Di sana dia akan tinggal dengan siapa?"
Aku hendak membuka pintu kamar dan pergi ke kamar mandi, tapi aku menghentikannya. Aku hanya membuka sedikit pintu kamarku dan memasang telinga lebih peka. Tampak Tante Belinda dan ayah di depan kamarku sedang membicarakan sesuatu.
"Tapi ini untuk kebaikannya. Aku ingin dia jadi pelukis hebat sepertiku. Kau tahu, lukisannya sangat indah aku sudah melihatnya. Tapi entah mengapa dia menyembunyikan itu semua dariku."
"Setidaknya biarkan dia menentukan masa depannya sendiri. Lagipula aku ingin Falia tetap di sini di rumah ini menemaniku. Kau juga perlu memikirkan perasaan Nada, bagaimana jika dia harus berjauhan dengan Falia?"
"Baiklah, baiklah, Falia akan tetap tinggal dan sekolah di sini." Suara ayah meninggi dan dia pergi meninggalkan tempatnya berdiri tadi. Sekarang tinggal Tante Belinda berdiri tepat di depan pintu kamarku.
Aku menutup pelan pintu kamar tanpa suara. Tiba-tiba dadaku terasa hangat. Tante Belinda apakah dia benar-benar tulus melakukan semua itu.
"Falia...kamu sudah bangun? Ayo mandi lalu sarapan. Aku dan bundamu sudah siapkan di meja makan. Ayahmu sudah berangkat ke galerinya, apakah kamu..."
Aku membuka pintu setelah susah payah mengatur napasku yang tiba-tiba terasa berantakan, "Tante Belinda."
"Halo, bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?"
Aku menjawabnya dengan anggukan kecil. "Terima kasih banyak." Aku melempar senyuman paling tulus yang pernah kusiapkan untuknya selama ini.
Tante Belinda tampak mengerutkan keningnya, "Untuk apa?"
"Semuanya."
Aku berjalan ke arah kamar mandi. Aku menutup pintu kamar mandi dan memegangi dadaku, degup jantungku terasa berantakan setelah mengucapkan hal itu. Hal sederhana itu, terasa begitu aneh saat kuucapkan. Selama ini aku selalu menjauhi bahkan sekadar menyapanya duluan saja rasanya enggan. Aku merasa tersentuh mendengarnya tadi. Aku tak pernah tahu dia begitu memikirkanku bahkan juga bunda selama ini. Aku merasa sedikit bersalah padanya.
**
"Kenapa melepon pagi-pagi? Aku masih sarapan nih!" Suara Rama terdengar diseberang sana.
"Aku nggak jadi pindah ke Vienna. Ayah tadi bilang begitu. Aku senang banget!"
"Oh ya? Jadi dia cuma menakutimu ya?"
"Bukan, dia serius. Cuma Tante Belinda berhasil membujuk ayah."
"Tu kan, sudah kubilang ibu tirimu itu orang yang baik dan tulus sayang padamu. Aku bisa lihat dari matanya setiap menatapmu."
"Ah, bahasamu seperti lirik lagu!"
"Ahaha...aku serius."
"Hm... aku merasa sedikit bersalah sudah mengacuhkannya selama ini. Bahkan saat dia ulang tahun aku tak pernah mengucapkan selamat padanya."
"Ya, kamu memang anak tiri yang kejam."
"Rama...!"
"Ahaha....Oh ya, aku sebenarnya lebih penasaran tentang kisahmu dan si guru keren itu? Kamu benar-benar sudah menyatakan cintamu padanya ya? Ceritamu semalam belum tuntas."
"Ah, aku tutup saja teleponnya!"
"Hei Falia... Falia!"
Klik! Aku mematikan teleponnya. Semenjak aku sering cerita tentang Pak Raelan dia memang jadi suka menggodaku. Tadi malam juga aku terpaksa cerita tentang kebodohanku menyatakan cinta pada Pak Raelan tiba-tiba. Aku pikir Rama akan menanggapinya dengan lebih dewasa, ternyata dia malah menggodaku terus. Menyebalkan. Tapi aku jadi kepikiran tentangnya. Oh Tuhan... apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana kalau ketemu dengannya di sekolah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Tidak Semua Cinta Bisa Bertemu
RomanceSaat nulis bagian-bagian akhir Apakah Kita Bisa Bertemu Lagi (novelet pertama saya di wattpad) selalu tergelitik buat nulis juga gimana perasaan Falia (tokoh yang jarang muncul tapi banyak yang sebal :P) dan apa yang terjadi pada Rama selama 12 tahu...