Bagian 10

2.4K 128 7
                                    

"Loh, kok bukan Pak Raelan? Bu Jia bukannya harusnya masih dua minggu lagi masuknya?" Aku bertanya pada Killa teman yang duduk di sebelahku.

"Kamu nggak tahu ya, Pak Raelan kan berhenti mengajar per hari ini."

"Kenapa?"

"Nggak tahu. Ada yang bilang dia mau ke Jerman melanjutkan kuliah, ada yang bilang dia mau menikah. Gosipnya macam-macam, aku nggak tahu mana yang benar. Pak Raelan juga pergi tiba-tiba banget sih jadi nggak ada konfirmasi."

Bibirku terkatup, aku hanya mengangguk pelan ke arah Killa dan pura-pura serius mengamati Bu Jia yang menjelaskan di depan kelas. Pikrianku kembali melayang. Ya Tuhan, rasanya kok bertubi-tubi sekali. Rama masih belum sadar di ICU dan Pak Raelan juga harus menghilang tiba-tiba. Dua orang yang bisa membuatku merasa nyaman sekarang benar-benar tidak ada di sampingku secara bersamaan. Meski mataku terfokus ke arah depan tapi aku tidak benar-benar menyimak pelajaran. Pikiranku bercabang ke mana-mana.

Apakah teleponnya kemarin semacam salam perpisahan? Ah, bahkan aku tidak mengangkat teleponnya. Malam hari aku berniat menelepon balik, aku malah langsung tidur karena kelelahan. Kenapa Pak Raelan pergi tiba-tiba. Rasanya aku ingin menangis.

"Falia, bisa nanti sepulang sekolah ke ruangan Ibu?" Bu Jia entah sejak kapan sudah ada di sebelahku. Aku melirik jam dinding di depan kelas. Sudah habis jam pelajaran Bu Jia dan sekarang sudah masuk jam istirahat.

"Baiklah."

Dia mengangguk sambil tersenyum lalu meninggalkan kelas. Semua anak-anak sibuk menghambur ke luar kelas untuk menikmati jam istirahat. Aku merasa malas melakukan apa pun. Aku keluar dengan langkah gontai sambil menggenggam ponsel di tanganku. Layar ponselku menampilkan nomor ponsel Pak Raelan. Tapi jariku terasa kaku untuk menekan tombol call.

Tanpa sadar aku berjalan ke arah ruangan Pak Raelan di lantai tiga. Aku memutar pegangan pintunya, dan tentu saja terkunci. Entah mengapa aku merasa sedih dan sangat kehilangan.

"Falia..." Ada yang menepuk pundakku, aku menoleh ke belakang.

"Bu Jia."

"Tadinya aku ingin menyampaikannya saat jam pulang sekolah. Tapi tadi aku lihat kamu ke arah sini, jadi aku mengikutimu."

"Hm... iya, aku cuma...." Aku menggaruk kepalaku mencari alasan yang masuk akal tapi tidak ketemu.

"Pak Raelan menitipkan pesan padaku. Dia bilang, ada sesuatu buatmu di ruang seni lama di lantai lima. Kamu perlu ke sana. Oh ya, dia juga memintaku tetap mengizinkanmu menggunakan ruang seni lama."

"Eh? Tapi...."

"Mulai sekarang aku yang menggantikan Pak Raelan dan juga bertanggung jawab untuk ekstrakulikuler seni lukis. Jadi kamu bisa tetap pakai ruang seni lama, aku akan memberikanmu izin."

"Apa Ibu juga tahu kalau aku...."

"Ya, anak Brian Yudistira? Pak Raelan cerita padaku. Tapi kamu tenang saja, aku akan menjaga rahasiamu dengan baik." Bu Jia menepuk pundakku dengan lembut dua kali.

Setelah Bu Jia meninggalkanku, aku menuju tangga ke lantai lima dengan buru-buru. Di depan ruangan itu aku langsung memutar pegangan pintu. Saat pintu terbuka aku sempat berharap Pak Raelan ada di sana, tapi tentu saja itu tidak mungkin.

Tidak ada yang aneh dan berubah di ruangan ini sejak terakhir aku tinggalkan. Kecuali... sebuah kanvas tertutup kain putih di meja tempat aku biasa melukis. Aku membuka kain yang menutupi kanvas tersebut. Saat kain itu tak lagi menutupi kanvasnya, refleks aku membekap mulutku dengan kedua tangan. Bersamaan dengan itu, mataku terasa hangat rasanya seperti ingin menangis.

Karena Tidak Semua Cinta Bisa BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang