"Hallo," Aku menyentuh ujung pundak seorang anak laki-laki dengan telunjuk, sepertinya dia seumuran denganku. Dia tengah sibuk mengangkat kardus-kardus dari dalam mobil pick up.
Dia menoleh ke arahku, "Hallo."
"Ini... Hm... hari ini aku ulang tahun, ada sedikit kue, mungkin kamu mau?"
"Eh? Kamu bisa bahasa Indonesia?"
Aku mengangguk, "Dua tahun lalu aku pindah ke sini."
"Ah, syukurlah, di sini aku punya teman yang sama-sama orang Indonesia." Dia tertawa sambil masih memeluk kardus yang cukup besar itu.
"Hei, Rama, mana kardusnya?" Seorang perempuan remaja yang sepertinya kakak anak laki-laki ini keluar dari dalam rumah. Dia menatap ke arahku lalu menyapaku dalam bahasa Jerman yang cukup lancar. Aku justru menjawabnya dengan terbata-bata. Beruntung teman baruku—yang kalau tak salah dengar namanya Rama—menjelaskan pada kakaknya bahwa aku juga orang Indonesia.
"Masuk yuk, tapi rumahnya masih berantakan." Dia mulai menyapaku dengan bahasa Indonesia.
"Hampir lupa, aku belum tahu namamu. Aku Rama." Dia mengulurkan tangannya.
"Falia."
"Aku kakaknya Rama, Mawar."
"Salam kenal Kak."
"Ya, jangan sungkan, mampir-mampir ke sini ya!" Kak Mawar menepuk lembut pundakku.
"Iya. Semoga kuenya enak." Aku meletakkan kue yang kubawa dari rumah di meja teras rumah mereka.
"Aku coba ya!" Rama meletakkan kardusnya dan mengambil sepotong pie di piring yang kuletakkan di meja.
Saat dia menunduk ada sesuatu yang jatuh dari saku jaketnya. Aku menunduk dan mengambil benda itu. Sebuah potongan foto. Ada wajah anak perempuan manis di sana sedang tersenyum bahagia. Sepertinya umurnya sekitar tiga atau empat tahun lebih muda dariku.
"Ini punyamu jatuh," Aku menepuk pundak Rama yang masih sibuk mengunyah pie apel buatan bunda.
"Wah! Untung nggak hilang." Dia buru-buru menyambar potongan foto itu dari tanganku.
"Pacarmu?"
"Pacar? Ahaha...." Dia tidak menjawab dengan pasti tapi dari tawanya sepertinya aku sudah bisa menebak. Aku melempar senyum ke arahnya dan berpamitan pulang.
Itulah pertemuan pertamaku dengan Rama, tetangga sebelah rumah. Rasanya cukup senang, setidaknya sekarang aku punya teman yang berasal dari satu negara dan bisa berbicara dengannya tanpa harus sulit-sulit memakai bahasa asing. Hari ulang tahun kali ini cukup menyenangkan. Setelah dua tahun di Austria dan merasa tak punya satu pun teman yang cocok. Aku rasa hari ini Tuhan memberi hadiah ulang tahun dua orang teman baru yang bisa kuajak ngobrol dengan nyaman.
**
Tidak ada satu pun teman di sekolah yang tahu kemarin aku ulang tahun, menyedihkan ya. Tapi itu wajar kok, aku tidak punya satu pun teman dekat di sekolah. Semua teman di kelas kuanggap sama. Teman belajar, mengobrol di kelas, sudah. Saat keluar kelas apalagi keluar sekolah aku sudah tidak peduli lagi pada mereka. Jangankan saling telepon, saling berbalas pesan singkat pun nyaris tidak pernah kecuali untuk keperluan sekolah.
Aku lebih suka menghabiskan waktu di ruang seni di lantai lima sekolah. Ruang seni ini sepi, karena bukan ruang seni utama. Mungkin bisa disebut gudang. Karena ada satu lagi ruang seni aktif yang digunakan murid-murid untuk belajar melukis di jam pelajaran seni rupa atau untuk berkumpul anak-anak ekstrakulikuler seni rupa selepas jam sekolah. Aku memang suka melukis tapi tidak tertarik ikut ekstrakulikuler apalagi jadi pelukis saat sudah dewasa nanti. Melukis mengingatkanku pada ayah, tapi di sisi lain hanya melukis yang bisa kulakukan untuk membuat perasaanku tenang. Begitu banyak hal yang hanya bisa kusimpan sendirian, tak bisa kuucapkan, dan kanvas-kanvas putih inilah yang jadi tempatku menuangkan semua beban dalam hati dan pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Tidak Semua Cinta Bisa Bertemu
RomanceSaat nulis bagian-bagian akhir Apakah Kita Bisa Bertemu Lagi (novelet pertama saya di wattpad) selalu tergelitik buat nulis juga gimana perasaan Falia (tokoh yang jarang muncul tapi banyak yang sebal :P) dan apa yang terjadi pada Rama selama 12 tahu...