Aku terbangun sambil mengucek mataku yang masih enggan terbuka, alarm ponsel membangunkanku. Aku meraba ponsel di meja samping tempat tidur, jam digital di layar ponsel menunjukan pukul tujuh pagi. Selimut putih tebal membungkus tubuhku, aku menatap ke sebelahku tapi di tempat tidur besar ini aku hanya sendirian. Tiba-tiba ada rasa takut menyengatku. Masih dengan selimut membungkus tubuhku aku mencari-cari sosok yang semalam memelukku dengan begitu hangat.
"Jangan bergerak-gerak, aku sedang melukismu."
Mataku terbuka sepenuhnya saat melihat sosok yang kucari-cari itu tengah duduk di samping jendela kamar dengan kuas di tangan dan sebuah kanvas besar di depannya.
"Melukisku?" Aku tersenyum. Kutarik selimut untuk membungkus tubuhku dan berjalan mendekatinya. "Aku hampir jantungan kukira kamu menghilang!"
"Kamu yang tertidur di balik selimut begitu cantik."
Aku memeluknya dari belakang, "Lukisannya sudah hampir jadi, apa semalaman kamu nggak tidur?"
"Entahlah, aku nggak bisa tidur."
"Kenapa?"
Dia menatapku begitu dalam beberapa detik, lalu memalingkan lagi tatapannya ke kanvasnya.
"Apa kamu menyesal?"
"Bukan menyesal, tapi harusnya...."
"Menunggu restu ayah?"
"Falia."
"Mungkin kamu menyesal atau merasa bersalah. Tapi Raelan, aku begitu bahagia. Aku merasa sudah menjadi milikmu seutuhnya. Aku... sudah menjadi pengantinmu." Aku mendekapnya lebih erat.
Raelan meletakkan kuas lukisanya dan meletakkan kedua tangannya di pipiku. "Maafkan aku, Falia."
"Bukan 'maafkan aku', tapi... 'aku mencintaimu'."
"Terima kasih sudah mencintaiku." Katanya sambil mencium lembut keningku.
"Ya!"
"Aku akan coba meminta restu ayahmu sekali lagi."
"Bagaimana kalau hasilnya masih sama? Ayah takkan memberikan restunya." Tiba-tiba aku merasa sedih.
"Aku akan mengajakmu ke Jerman menemui orang tuaku, aku akan tetap menikahimu. Kita akan tinggal di sana, punya banyak anak dan hidup bahagia."
"Benarkah?" Senyumku merekah.
"Ya, aku janji. Kamu bisa mengenakan gaun pengantinmu di depan banyak orang, bukan hanya di depanku saja." Mata birunya dan senyum hangatnya membiusku untuk kesekian kalinya, aku memeluknya seolah begitu takut ini hanya mimpi. Rasanya aku ingin terus memeluknya lebih erat lagi agar dia tidak pergi ke mana pun.
**
Sudah hampir pukul dua belas malam, Raelan masih belum bisa dihubungi. Aku benar-benar takut. Dia hanya sempat mengirim pesan singkat tadi sore, katanya akan pergi ke suatu tempat dan mungkin pulang sedikit malam. Tapi ini sudah hampir lewat tengah malam dan dia belum pulang. Aku sangat cemas. Aku menelepon ke kampusnya dan katanya hari ini dia tidak punya jam mengajar.
Aku masih terus mencoba menghubungi nomor ponselnya. Entah mengapa firasatku terasa tidak enak. Masih teringat bahwa beberapa bulan terakhir aku sering mimpi buruk. Awalnya kupikir itu isyarat untuk kepergian bunda, tapi beberapa minggu lalu mimpi ini sering terulang lagi. Aku duduk sendirian di kursi kayu, dalam sebuah ruangan gelap, aku melihat punggung seseorang menjauh dariku dan menghilang di balik pintu kayu yang kemudian tertutup.
Tak sadar aku ketiduran di sofa, entah sejak kapan. Aku dibangunkan dengan bunyi panggilan masuk di ponselku. Aku buru-buru mencari benda kecil itu. Nomor asing terpampang di layar ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena Tidak Semua Cinta Bisa Bertemu
RomanceSaat nulis bagian-bagian akhir Apakah Kita Bisa Bertemu Lagi (novelet pertama saya di wattpad) selalu tergelitik buat nulis juga gimana perasaan Falia (tokoh yang jarang muncul tapi banyak yang sebal :P) dan apa yang terjadi pada Rama selama 12 tahu...