Bagian 16

2.4K 121 1
                                    

From : Rama
Maaf aku tidak bisa ikut menghadiri acara pemakamanya kemarin. Aku masih di rumah sakit.

To : Rama
Nggak apa-apa. Raelan selalu bersamaku. Bagaimana operasinya? Aku harap berjalan lancar.

From : Rama
Ya, aku sudah bisa melihat lagi, dengan mata dari bundamu. :)

To : Rama
Aku akan menjengukmu nanti. ^_^

Sebelum meninggal bunda sempat bicara pada Rama dan dokter untuk memdonorkan kornea matanya pada Rama. Setidaknya ada satu kenang-kenangan yang bunda sisakan. Setiap melihat mata Rama aku akan selalu mengingatnya. Baru sehari setelah hari pemakamannya tapi aku sudah sangat merindukan bunda. Apakah aku bisa bertahan dan baik-baik saja tanpa bunda setelah ini?

"Aku akan pulang. Kalau kamu masih mau di sini, tinggallah. Aku akan menjemputmu kalau kamu sudah siap pulang." Raelan tampak merapikan koper. Kami menginap di rumah ayah sejak bunda sakit. Meski begitu sekali pun ayah tak pernah mengajakku dan Raelan bicara. Entah seberapa besar kebenciannya pada kami.

"Aku akan ikut pulang ke apartemen. Di sini aku cuma semakin sedih."

"Oke, kita pulang sama-sama."

"Tapi aku mau mampir dulu ke rumah sakit, aku pengin bertemu Rama?"

"Okay."

Aku membantu Raelan merapikan isi kopernya. Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu dan Tante Belinda datang dengan membawa sarapan.

"Tante, kami akan sarapan di luar saja. Nggak perlu repot-repot dibawakan segala."

"Tidak repot sama sekali. Loh, kalian mau ke mana? Kok sudah rapi-rapi koper?"

"Kami mau kembali ke apartemen." Aku coba menjelaskan, "Terima kasih untuk semuanya. Kapan-kapan aku akan mengunjungi Tante Belinda. "

"Tidak bisakah tinggal sedikit lebih lama lagi? Aku akan sangat kesepian, tidak ada Nada, dan ayahmu juga jarang di rumah. Kalau ada kamu aku sedikit terhibur."

"Aku janji akan menemuimu nanti."

"Hhh... baiklah, aku tak bisa memaksa. Tapi percayalah Falia, untukku kamu sudah seperti anak perempuanku sendiri."

"Aku percaya, Bunda...." Aku tersenyum menatap wanita cantik bermata biru itu. Matanya membulat mendengar sapaanku untuknya barusan. "Setelah bunda pergi, aku ingin memanggilmu "Bunda", boleh kan?"

"Tentu saja boleh!" Dia memelukku, "Berjanjilah kamu akan menemuiku lagi."

"Ya."

"Dan Raelan, tolong jaga Falia dengan baik."

"Pasti." Raelan menjawab dengan mantap.

"Berpamitanlah dulu dengan ayahmu, dia ada di halaman belakang. Tadi dia tampak murung. Pasti dia juga sedih karena kepergian Nada. Bagaimanapun juga Nada adalah bagian dari hidupnya."

Aku mengangguk seraya tersenyum.

Aku dan Raelan menemui ayah di halaman belakang rumah, kami mencium tangannya, dan ayah tetap tidak mengatakan apa pun. Rasanya ada sesak yang tertinggal dan sedikit rasa putus asa menggelayut dalam hatiku. Aku merasa sudah tak mungkin mendapat restu dari ayah, tapi di sisi lain aku sangat mencintai dan membutuhkan Raelan.

**

"Melamun terus?" Raelan menghentikan mobil di depan lampu merah.

"Hm... kangen bunda. Rasanya masih kayak mimpi. Ayah juga masih saja seperti itu. Aku sekarang benar-benar merasa sebatang kara."

Karena Tidak Semua Cinta Bisa BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang