Bagian 7

2.4K 129 5
                                    

"Falia, ada yang mencarimu di luar." Bunda mengetuk pintu kamarku.

"Siapa Bunda? Rama ya? Bilang aku sedang siap-siap berangkat ke sekolah."

"Cepat turun."

"Sebentar, aku sedang memakai kaus kaki."

Aku buru-buru memasang kaus kaki dan memastikan sekali lagi penampilanku di kaca. Tumben Rama ke rumah jam sekolah begini? Kami memang sering janjian pulang bareng tapi kalau berangkat sekolah tidak pernah. Jam sekolahku lebih pagi dari jam sekolah Rama. Ada apa ya? Apa ada sesuatu yang penting?

Bunda dan Tante Belinda sedang merapikan meja makan, mungkin ayah sudah berangkat ke galerinya pagi-pagi. Syukurlah, aku jadi tidak perlu melihat wajahnya pagi-pagi.

"Kamu nggak sarapan dulu? Kesiangan ya?" Tante Belinda memberikan dua tungkup roti padaku.

"Sebetulnya nggak kesiangan, masih ada setengah jam lagi. Tapi sudah ada yang menungguku." Aku mengambil gelas susu dan meneguknya lalu mengambil roti yang sudah disiapkan Tante Belinda. Bunda akan marah kalau aku mengabaikan Tante Belinda saat ada di depannya.

"Mau bunda buatkan bekal untuk sarapan di sekolah?"

"Nggak perlu Bunda." Aku mengecup pipinya sambil berpamitan dan mencium tangan Tante Belinda. "Aku berangkat dulu ya, Bunda, Tante."

Sesampainya di depan gerbang rumah, aku tidak menemukan Rama dan sepedanya. Tapi ada sosok laki-laki dengan jas hitam berdiri membelakangiku. Aku menepuk pundaknya.

"Sudah siap?"

"Pak Raelan? Ngapain ke rumahku?"

"Menjemput." Dia meraih tanganku menuju ke mobilnya, membukakan pintu untukku. Masih dengan wajah bingung aku duduk di mobilnya dan memasang sabuk pengaman.

"Kebetulan aku lewat sekitar sini, habis mengambil mobil dari bengkel."

"Oh, begitu."

Pak Raelan menatapku sambil tersenyum, tiba-tiba tubuhnya condong ke arahku, pupil mataku rasanya membesar tiba-tiba karena merasa gugup mendadak. Tapi seperti terkunci aku cuma diam saja. Dengan ujung jarinya dia menyentuh pipiku. Jantungku hampir saja melompat karena berdebar terlalu cepat. Mata biru itu apakah punya semacam sihir, belakangan jadi gampang membuatku salah tingkah.

"Ada remah-remah roti. Sarapannya buru-buru ya?" Dia tertawa kecil setelah mengusap lembut pipiku dengan ujung ibu jarinya. Aku buru-buru mengambil cermin dari dalam tas dan membersihkan wajahku dengan tisu.

Aku mengambil ponsel dari tas dan mengetik sebuah pesan singkat.

To: Rama
Aneh, masa Pak Raelan jemput aku ke rumah? Katanya sih sekalian lewat. Aku pikir tadi kamu yang ke rumah. Bunda juga ngomongnya nggak jelas sih.

From: Rama
Apanya yang aneh? Kan dia bilang sekalian lewat. Eh, eh, jangan-jangan kamu GR ya dijemput guru keren itu? Ingat Falia, umurnya 10 tahun lebih tua loh! :P

To: Rama
Ih kamu apaan sih! Masa naksir?

From: Rama
Ahahaha... abisan kamu jadi beda, sekarang kalau bahas guru itu pasti heboh.

To: Rama
Aku bingung mau ngapain di dalam mobil.

From: Rama
Ya duduk aja, Memang mau apa lagi? Joget? Puas-puasin deh pandangin si guru ganteng itu. :P

To: Rama
Nyebelin! -_-

Aku memasukan ponsel ke dalam tas lagi. Sekilas sempat menoleh ke arah Pak Raelan, dan tiba-tiba saja di saat bersamaan dia juga menoleh ke arahku. Duh, aku jadi kikuk! Rasanya pengin buru-buru sampai sekolah saja.

Karena Tidak Semua Cinta Bisa BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang