Bab 07 - Jejak Misteri?

4 2 0
                                    

Daniella dan teman sekamarnya, Cecilia, berjalan menyusuri lorong kampus, saat itu kondisi lorong sedang ramai dilalui banyak mahasiswa. Setelah kelas selesai, keduanya dalam perjalanan menuju loker untuk mengambil barang-barang yang sengaja disimpan. Langkah kaki mereka bergema lembut di sepanjang lorong.

“Wah, aku tak menyangka perguruan tinggi lebih berat daripada Sekolah Menengah, padahal dari film-film, para mahasiswa itu bahagia, bisa nongkrong, jalan-jalan, pergi ke pesta dan banyak lagi, tapi apa-apaan ini?” Daniella mengeluhkan kesulitan dan kesibukan kehidupannya sebagai mahasiswi.

“Realitas tak sesuai dengan ekspektasi?” ujar Cecilia sambil tersenyum.

“Hum, ini sangat menyebalkan, you know.”

Cecilia mengedikkan bahu. “Inilah kehidupan.”

Selama beberapa detik, tak ada yang berbicara di antara mereka.

“Jadi, apa Shirley akan pindah kamar?” tanya Cecilia sambil menyisir rambut dengan jemarinya. “Maksudku, aku sudah nyaman dengan satu orang tambahan. Senang rasanya punya teman sekamar yang baru.”

Daniella tersenyum tipis, tatapannya lurus ke depan. “Kau tak keberatan kalau Shirley tinggal lebih lama?”

“Yeah, daripada dia tinggal sendirian, kan? I mean, you know, mungkin saja dia masih mengalami mimpi buruk setelah insiden itu,” jawab Cecilia dengan nada ringan, meskipun matanya memantulkan sedikit kekhawatiran. Ya, dia ternyata sedikit mengkhawatirkan mengenai kondisi mental Shirley karena sudah melihat teman sekamarnya tewas terbunuh.

“Terima kasih atas perhatianmu, tapi Shirley lebih kuat dari yang kau kira. Dia pasti bisa menghadapi semuanya dan melanjutkan hidup.”

“Terdengar seperti kabar bagus,” Cecilia terkekeh.

“By the way, setelah ini kami mau ke kantin, kau mau bergabung?” ajak Daniella, ia memang sudah memiliki janji dengan Shirley serta kedua teman pria untuk berkumpul.

Cecilia menggeleng. “Aku ada urusan dengan pacarku, tapi terima kasih ajakannya.”

“Oke, sampai jumpa,” Daniella melambai sebelum memasukkan barang-barangnya ke loker dan bergegas menuju kantin.

Di kantin, Shirley, Alex, dan Tristan sudah menunggu di meja dekat jendela, masing-masing sibuk dengan ponsel mereka. Melihat Daniella datang, mereka mendongak serempak.

“Hai, sudah menunggu lama? Maaf aku terlambat,” sapa Daniella sambil duduk.

Tristan meneguk jusnya sambil bercanda, “Ya, apa saja yang kau lakukan? Ini sudah porsi keempatku.”

Tristan seolah mengatakan bahwa dirinya menunggu terlalu lama sampai makan sangat banyak sambil menunggu Daniella yang tak kunjung datang.

“Jangan berlebihan deh,” Daniella menggeleng sambil tertawa.

“Jadi, apa yang sedang kalian bahas?” tanya Daniella sambil membuka bungkus makanannya.

“Seperti biasa, kasus kemarin,” jawab Alex datar.

“Oh, I see. Any progress?”

“Masih stuck,” jawab Tristan, menghela napas. “Pak Inspektur juga belum memberikan kabar lain.”

Daniella menghela napas. “May I?” tanyanya, sambil mengambil kentang goreng dari piring Tristan.

“Makan saja, aku sudah makan empat porsi,” Tristan mengedikkan bahu dengan gaya berlebihan.

Daniella tertawa, “Lalu untuk apa kau pesan lagi coba?”

“Aku memesan untukmu,” Tristan tersenyum nakal. “Setelah dicicipi sedikit.”

Daniella menggerutu sambil memukul pelan pada pundak pria itu, “Menyebalkan.”

Mendadak, Shirley yang sedari tadi tampak melamun mendongak, raut wajahnya menunjukkan kilasan ingatan yang baru terlintas. “Guys, sepertinya aku ingat siapa Jonathan Anderson.”

Alex menoleh, penasaran. “Siapa?”

Daniella menatapnya sambil mengangkat alis. “Ya? Siapa? Kenapa kau tiba-tiba membahas orang lain?”

Shirley merapatkan alisnya. “Guru biologi kita.”

Tristan mengerutkan kening, seolah berusaha menggali ingatan. “Ya, aku tahu itu, maksudku... siapa dia? Kau ingat di mana?”

Shirley mengangguk pelan, “Kalau tak salah, waktu SMA, kelas dua, aku pernah melihatnya beberapa bulan di sekolah.”

Sebagai pengingat, mereka berempat sudah berteman sejak SMA dan terus bersama sampai saat ini, maka dari itu saat Shirley membahas, mereka langsung menggali ingatan.

Alex menyahut, “Aku belum pernah melihatnya tuh, bagaimana denganmu?” tanyanya pada Tristan.

Tristan mengangkat bahu. “Aku juga belum pernah.”

Shirley tersenyum tipis kemudian mengejek kedua pria itu, “Itu karena kalian terlalu sering membolos sekolah, jadi tak tahu ada guru baru.”

Alex dan Tristan tertawa, bercanda satu sama lain tentang kebiasaan mereka yang malas datang ke kelas.

“Kelas dua, itu adalah masa-masa saat kita sering melarikan diri dari kelas ya kan?’ ucap Tristan yang sepertinya sangat mengingat mengenai kejadian beberapa tahun yang lalu.

“Ya, kau ingat saat kita lari dari kejaran penjaga sekolah?” balas Alex yang tak menyia-nyiakan kesempatan membahas masa lalu.

“Ya, dan kita mencuri sepeda...”

Mereka berdua kembali tertawa seolah hal-hal itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan menggelikan.

“Wah, masa-masa yang menyenangkan,” gumam Alex setelah tawanya berakhir.

“Kalian sangat menyebalkan. Hal-hal seperti itu tak patut dibahas dengan bangga,” ejek Daniella yang mana terlalu ketus.

Daniella menepuk bahu Shirley, “Bagaimana menurutmu, Shirley?”

“Apa?” Shirley menoleh cepat. Ternyata gadis itu kembali melamun setelah mengatakan soal Jonathan Anderson.

“Kau tak mendengarkan?” Daniella mengangkat alis, geli

“Oh, maaf,” Shirley mengerutkan dahi, “aku tak menyimak.”

Daniella mengernyit, “Apa yang kau pikirkan? Ini mengenai pembunuhan kemarin lagi?”

Shirley mengangguk pelan, “Ya... aku rasa kematian teman sekamarku terus mengganggu.”

Tristan mencoba menenangkan, “Hei, semua akan baik-baik saja. Polisi sedang menangani semuanya.”

Alex menambahkan, “Ya, kita tak perlu banyak pikiran. Tak lama lagi penjahat yang sebenarnya akan tertangkap.”

“Dengan bantuan kita,” ucap Tristan menambahkan.

“Wah, benar juga, kita sudah janji akan membantu penyelidikan ya?” gumam Daniella saat mendengar Tristan .

Shirley menghela napas dalam, seakan melepaskan sedikit kekhawatiran yang menggelayutinya. “Semoga saja itu benar, bukan hanya penghiburan atau harapan.”

Mendadak, Alex mencondongkan tubuhnya ke depan. “Oh iya, Tak seperti kalian, aku mengerjakan misiku sesuai seperti yang diminta Inspektur Harrison. Ak sempat mengikuti gerak-gerik Mark selama beberapa waktu pagi ini.”

“Siapa?” tanya Tristan, keningnya berkerut.

“Saksi yang bersikukuh kalau Tony bersalah.” Daniella mengingatkan kejadian kemarin. Tristan mengangguk-angguk saat kembali teringat dengan mahasiswa tersebut.

“Oke, aku ingat dia.”

Daniella mengerutkan dahi, “Lalu apa yang terjadi?”

“Dia pergi ke sebuah tempat,” Alex berkata pelan, seakan membisikkan rahasia. “Kurasa itu ruangan bawah tanah, tempat yang jarang dilalui siapa pun.”

Tristan tersenyum nakal, menyadari apa yang dipikirkan Alex. “Kau berpikir apa yang kupikirkan?”

Alex mengangguk, semangat menyala di matanya. “Ya, ayo eksplorasi tempat itu.”

“Tunggu, sekarang?” Daniella melirik mereka skeptis.

“Ya, mau kapan lagi memangnya?” Tristan menyahut cepat.

Shirley mengangguk. “Kita harus melakukan sesuatu. Siapa tahu ini adalah petunjuk yang kita perlukan untuk mengungkap pembunuhan.”

Namun, Daniella tampak ragu. “Guys, kita masih ada kelas. Kalau kita tiba-tiba bolos, itu terdengar tak benar.”

Shirley menepuk meja, membuat semuanya diam sejenak. “Oke, kalau begitu kita pergi setelah kelas berakhir. Siapa pun yang pertama selesai, jangan ada yang memulai tanpa anggota lengkap.”

Semua mengangguk setuju. “Sepakat.”

Belum sempat mereka berdiri, suara gaduh tiba-tiba menarik perhatian mereka. Di sudut kantin, tampak kerumunan berkumpul, menonton dua pria yang tampak beradu argumen dengan keras. Semakin lama, keributan itu memuncak menjadi adu fisik. Ternyata mereka adalah Mark dan Tony.

“Itu… Mark dan Tony,” gumam Tristan, matanya membulat.

“Apa yang mereka lakukan?” Daniella berbisik.

“Saling memukul, kau tak melihatnya?” Alex menjawab polos, wajahnya menyebalkan.

Daniella mendesah kesal. “Bukan itu maksud pertanyaanku, idiot.”

Alex tersenyum tengil kemudian mengangkat bahu. “Kalau begitu tak perlu bertanya padaku.”

“Hei, kalian, berhentilah!” Shirley berniat menengahi dan melerai mereka berdua. Akan tetapi, mereka sudah jelas tidak akan mendengarkan, apalagi para mahasiswa lain malah mendukung dan ingin ketegangan keduanya meningkat menjadi aksi saling hajar, tak ada yang mencoba menghentikan keduanya, yang ada adalah mereka menyoraki dan mendukung agar mereka saling melayangkan serangan.

Sayangnya, saat itu tiba-tiba ada seorang guru yang datang, sebelum mendapatkan masalah, Mark memutuskan untuk mundur lalu menunjuk Tony sambil  menggerutu, “Ingat, ini belum selesai.”

Tony menatapnya tajam. “Jangan jadi pengecut dengan memfitnahku. Aku siap meladenimu kapan saja.”

Perlahan kerumunan itu bubar, dan seorang mahasiswa yang sejak tadi menonton mendekat ke arah mereka. “Sudah sejak lama Mark dan Tony itu saling berselisih, tapi tak pernah sampai seperti ini. Baru kali ini mereka saling memukul.”

“Mereka bermusuhan?” tanya Shirley yang mendengar ucapan mahasiswa itu.

“Ya, tak diketahui apa masalahnya, tapi mereka sudah bermusuhan sejak lama.”

Mereka berjalan pergi meninggalkan kantin.

“Jadi, Mark memanfaatkan melakukan laporan kemarin untuk balas dendam ya?” ucap Shirley mengambil kesimpulan.

Daniella mengangguk. “Itulah yang kita tangkap dari pertengkaran barusan.”

Shirley menarik napas panjang, “Oke, sampai jumpa nanti sore. Jangan ada yang terlambat,” ujarnya, melirik Tristan dengan senyum menggoda. “Terutama kau.”

Tristan hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, “Kenapa aku?”

Daniella menggeleng, menepuk pundak temannya, “Sudahlah, ayo pergi, kita tak mau terlambat.”

Keempat sahabat itu pun akhirnya beranjak, meninggalkan kafetaria dengan niat menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di bawah kampus—sebuah misteri yang semakin menarik dan membingungkan mereka.

***


Langit menunjukkan hampir gelap, matahari mulai tenggelam. Alex dan Tristan tiba lebih dulu di tempat pertemuan. Hampir satu jam berlalu sebelum akhirnya Shirley dan Daniella tiba.

“Kenapa kalian lama sekali?” keluh Tristan sambil menyilangkan tangan.

“Ya, kakiku mungkin sudah tumbuh akar kalau harus menunggu satu menit lagi,” sambung Alex dengan nada bercanda.

Shirley mendesah, “Kami ada urusan yang harus diselesaikan, jadi jangan banyak protes.”

“Jadi, semuanya sudah siap?” tanya Daniella sambil melirik mereka satu per satu.

“Sudahlah, jangan banyak bicara. Alex, ayo tunjukkan jalannya,” kata Tristan, memutus obrolan.

Alex kemudian memimpin jalan, menuntun mereka menuju lokasi terakhir yang ia lihat saat mengikuti jejak Mark. Mereka berjalan hingga tiba di sebuah lorong kosong yang remang-remang, atmosfernya terasa semakin menekan di tengah kegelapan.

“Aku rasa kau seharusnya memberi tahu kalau tempat ini gelap,” komentar Daniella dengan nada jengkel.

“Benar. Kalau aku tahu tempat ini gelap, aku pasti membawa senter,” sahut Tristan.

“Maaf, terakhir kali aku datang ke sini, susananya tak segelap sekarang,” ucap Alex membela diri tatkala melewatkan memberitahu kondisi di sini yang terasa gelap.

“Kalian tak bisa membawa senter! Kalau memang ini tempat persembunyian si pembunuh, kita harus berhati-hati,” Shirley mengingatkan mereka.

Daniella menghela napas, “Ya, kau ada benarnya. Tapi tempat ini jelas sangat gelap; aku susah berjalan.”

“Hei, kau menginjak kakiku!” protes Alex tiba-tiba.

“Oh, itu kakimu? Kukira tikus,” Daniella menjawab cuek.

“Sembarangan!” Alex memprotes dengan ekspresi geli. Saat mereka melanjutkan langkah, beberapa detik kemudian Alex berhenti lalu menunjuk ke depan. “Itu pintu yang aku lihat Mark masuki.”

“Baiklah, kalau begitu ayo kita lihat apa yang ada di dalamnya,” ajak Tristan, sedikit penasaran.

Namun, sebelum mereka sempat mendekat, suara seorang pria menyapa mereka dari arah belakang. Suara yang familiar, mengirimkan gelombang kejutan di antara mereka.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara itu milik Profesor Anderson, dosen mereka.

Mereka berempat saling pandang, mencoba mencari alasan. Shirley melangkah maju dengan tenang.

“Ah, Profesor Anderson. Kami… sedang eksplorasi, ingin mengenal setiap sudut kampus ini,” katanya dengan senyum pura-pura.

“Ya, karena terlalu asyik mengeksplorasi, kami malah tersesat ke sini,” Alex menambahkan, berusaha menguatkan alasan.

Profesor Anderson memandang mereka dalam diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya tersenyum tipis.

“Usaha yang bagus. Tapi kurasa itu jawaban yang kurang tepat,” jawabnya tenang. “Ayo, kembali. Tempat ini bukan untuk kalian.”

Meski enggan, mereka terpaksa mengikuti Profesor Anderson, meninggalkan pintu misterius itu. Saat mereka berjalan, Alex tak tahan untuk bertanya, “Kalau boleh tahu, tempat ini sebenarnya apa, Profesor?”

“Hanya gudang,” jawab Profesor Anderson datar. “Barang-barang yang tak terpakai dikumpulkan di sini. Tempat ini kotor, tak layak untuk kalian eksplorasi.”

Daniella menyipitkan mata, “Menurutmu, apakah ini mungkin dijadikan tempat persembunyian?”

Profesor Anderson tertawa kecil, “Tentu saja, jika kalian bersedia berbagi ruang dengan tikus dan serangga. Lagi pula, pintu itu terkunci dan hanya petugas keamanan yang punya aksesnya.”

“Oh…” gumam Shirley, sedikit kecewa.

Profesor Anderson kemudian menatap mereka dengan penuh selidik, “Tapi kalian masih belum menjawab, apa yang sebenarnya kalian lakukan di sana?”

Shirley mengangkat bahu, “Kami hanya penasaran, Profesor. Itu saja.”

Profesor Anderson tersenyum, “Penasaran memang kadang membawa kita ke tempat-tempat tak terduga. Tapi kali ini, lebih baik kalian kembali ke tempat yang seharusnya.”

Setelah meninggalkan lorong itu, mereka berjalan menuju asrama, masih tak puas dengan jawaban yang diberikan Profesor Anderson.

“Jadi, kalian berpikir kita harus pergi ke sana lagi?” tanya Alex, sedikit antusias.

Daniella menggeleng, “Kemungkinan besar tidak. Seperti yang Profesor bilang, pintu itu pasti akan disegel, kita tak akan menemukan apa pun.”

Tristan mendesah, “Menyebalkan. Eksplorasi ruangan bawah tanah gagal total.”

“Tidak juga,” ujar Shirley sambil tersenyum tipis. “Kalau kita nekat, kita bisa menyelinap nanti.”

“Jangan konyol,” Daniella memperingatkan. “Itu terlalu berisiko, dan kalau isinya ternyata tak sepadan, kita hanya buang waktu.”

“Bagaimana kalau di balik itu ada petunjuk yang berguna?” tanya Tristan yang sepertinya malah mau bersikap keras kepala dan memiliki niat untuk kembali.

Daniella menggeleng lalu melarangnya keras. “Pokoknya jangan, buang perilaku buruk kalian di masa SMA, ini sudah waktunya serius.”

Shirley mengangguk sependapat. “Ya, kalian sudah tak bisa bersikap kekanakan dan selalu mengacau.

Tristan memutar bola matanya, “Oke, oke. Jadi apa rencana kita selanjutnya?”

“Untuk sementara, kita persiapkan diri saja untuk pesta penyambutan kampus,” jawab Shirley.

“Oh, benar! Hampir lupa,” Alex tersenyum lebar, mengakhiri percakapan mereka dengan semangat yang kembali terpompa.


***

Upacara Penyambutan Berdarah (Morgana University Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang