Dua hari setelah pertemuan mereka dengan Michael, kondisi Shirley dan teman-temannya masih biasa saja, belum ada kejadian lain terjadi dan belum ada kemajuan kasus, plus sekali lagi Taylah tidak mereka temukan di mana pun, gadis itu masih belum memberikan kabar apa pun. Sore itu, kampus mulai lengang setelah kelas berakhir. Langit sore memancarkan semburat oranye, menciptakan bayangan panjang di koridor yang sepi. Langkah-langkah Shirley, Alex, Daniella, dan Tristan menggema saat mereka berjalan menuju loker masing-masing.
“Jadi, teori atom itu...” Alex menggantung kalimatnya sambil mencoret-coret buku catatannya. “Sejujurnya, aku merasa otakku akan meledak.”
Shirley tertawa kecil, mengangkat bahu dengan sikap santai. “Itu karena kau selalu menunda-nunda belajar sampai detik terakhir. Kalau kau memulai lebih awal, pasti lebih mudah.”
Daniella menyimak sambil menyesap kopinya. “Dia ada benarnya, Alex. Kalau terus seperti ini, aku khawatir kau akan mengulang mata kuliah ini.”
Alex mendesah panjang, memasukkan pensilnya ke dalam tas. “Oke, oke. Aku akan belajar lebih serius mulai besok. Tapi serius, kalian semua kelihatannya baik-baik saja dengan materi ini. Apa kalian tidak merasa tertekan?”
Taylah hanya tertawa kecil. “Tekanan itu makanan sehari-hariku. Jadi pelajaran ini seperti camilan saja.”
Percakapan mereka perlahan melambat, hingga akhirnya Shirley mengalihkan pembicaraan ke sesuatu yang lebih ringan. “Hei, ngomong-ngomong, akhir pekan ini seharusnya ada pesta besar bukan?”
Tristan menatap Shirley, mengangkat alis. “Iya, pesta akhir pekan, itu yang kudengar. Semua orang akan datang.”
Daniella menegakkan punggungnya, memandang mereka satu per satu. “Kalian berpikir untuk pergi?”
“Kenapa tidak?” jawab Shirley dengan antusias. “Setelah semua kekacauan minggu ini, kita butuh sedikit hiburan. Lagi pula, pesta itu selalu jadi acara besar. Musik bagus, makanan enak, siapa yang bisa menolak?”
Tristan mengangguk setuju, tapi senyumnya menyeringai. “Ide bagus. Tapi ada satu masalah besar—kita semua jomblo. Siapa yang akan jadi teman kencan kita?”
Keheningan singkat melingkupi mereka, sebelum Alex tertawa lepas. “Bro, kau tidak perlu mengatakannya sekeras itu.”
Daniella menghela napas panjang, memutar bola matanya. “Dia benar, sih. Kita tidak punya pasangan untuk dibawa. Aku bahkan tidak punya siapa pun yang tertarik padaku.”
Shirley mengangkat bahu, mencoba terlihat santai. “Kita tidak harus punya pasangan untuk pergi ke pesta. Kita bisa pergi bersama. Empat orang teman baik. Bukankah itu lebih menyenangkan?”
“Benar,” Tristan menyetujui. “Tapi tetap saja, bukankah lebih menyenangkan kalau ada seseorang yang spesial?”
Daniella mengangkat alis sambil menyandarkan punggungnya ke loker. “Kalau kau mau, aku bisa mencarikanmu seorang pria. Pasti cocok.”
“Aku bukan gay, dasar bodoh,” Tristan mendengus, memasang wajah tersinggung.
“Tapi kau memang terdengar putus asa,” tambah Shirley sambil tertawa kecil.
“Shirley, Daniella, kalian berdua mau jadi teman kencanku?” goda Tristan, menatap mereka bergantian.
“Itu menjijikkan,” jawab Daniella dingin.
“Ya, aku tak sudi,” tambah Shirley sambil memutar bola matanya.
“Kata-kata kalian menusuk hati,” Tristan pura-pura memegang dadanya, seolah terkena panah. “Bagaimana dengan kalian? Tidak ada yang kalian incar?”
Shirley berpikir sejenak, kemudian menggeleng. “Tidak ada. Aku terlalu sibuk dengan tugas-tugas dan... yah, hal-hal lain.”
Daniella menatap Shirley, merasa ada yang tidak diungkapkan temannya itu. “Hal-hal lain?” tanyanya curiga.
Shirley hanya tersenyum misterius. “Itu rahasia.”
Alex memutar bola matanya, kemudian menatap Tristan. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi bersama saja? Tanpa teman kencan. Nikmati saja pestanya. Siapa tahu kita bertemu seseorang di sana.”
Tristan tersenyum lebar, menepuk meja dengan penuh semangat. “That's a brilliant idea! I agree. We go together. Jangan khawatir soal pasangan. Kita akan bersenang-senang. Inilah seharusnya kehidupan kampus yang kita jalani.”
Shirley dan Daniella saling pandang, lalu mengangguk setuju. “Oke,” kata Daniella akhirnya. “Kita pergi bersama. Tapi kalau ada yang menemukan pasangan di sana, jangan lupa beri tahu.”
Belum sempat Shirley membalas, suara langkah ringan terdengar mendekat. Mereka menoleh hampir serempak. Di ujung koridor, seorang gadis muncul dengan senyuman yang akrab.
“Hei, gengs! Apa kabar?” Taylah melambai pada mereka, ia membawa sebutir apel merah gelap pada tangan satunya lagi. Tas selempangnya tergantung asal, dan kemeja flanel yang dikenakannya tampak sedikit kusut, seolah ia baru saja berlari maraton.
Shirley memutar bola matanya, setengah geli. “Lihat siapa yang akhirnya kembali ke peradaban. Dua hari tanpa kabar, Taylah. Kau ke mana saja? Dua hari menghilang tanpa kabar.”
Taylah tersenyum tipis, menyandarkan diri ke loker Alex, kemudian menggigit apel itu. “Aku ada sedikit pekerjaan. Detektif bodoh itu akhirnya tetap membutuhkan bantuanku.”
“Mereka butuh otakku yang brilian.” Ia mengedipkan mata dengan gaya bercanda. Dan bisa-bisa ia melakukan semua itu dengan apel masih di mulut.
“Kasus psikopat itu belum selesai?” tanya Daniella, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.
“Belum. Hari ini aku masih menunggu perkembangan,” Taylah menjawab santai.
“Dan bagaimana caranya kau selalu bisa menemukan keberadaan kami?” tanya Tristan tatkala ingat akan satu hal, ke mana pun mereka pergi dan berada, Taylah selalu bisa menemukan keberadaan mereka saat gadis itu ingin bicara.
“Aku jenius,” ucap Taylah dengan nada santainya meski kalimatnya terkesan angkuh, lalu mendadak ekspresinya berubah serius. “Abaikan hal yang tak penting itu. Ngomong-ngomong, aku dengar kalian mengalami petualangan yang seru kemarin.”
“Seru apanya?” Alex mendengus, tiba-tiba ia kembali teringat pada adegan pengejaran terhadap Michael. “Kita cuma berlari tanpa hasil.”
“Ya,” Shirley menimpali. “Michael larinya seperti angin. Aku hampir kehabisan napas mengejarnya.”
Taylah tersenyum tipis, namun matanya menyiratkan rasa penasaran. “Wah, terdengar lebih menarik daripada yang kudengar dari Marcus. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?”
Maka Shirley pun memulai ceritanya, mengatakan runtutan apa yang sebenarnya terjadi hari itu. “Kami melihat Michael di loker dua hari lalu. Dia tampak ketakutan, dan saat kami mencoba berbicara dengannya, dia malah melarikan diri. Kami mengejarnya, tapi dia menghilang.”
Taylah menaikkan alis, tampak benar-benar tertarik. “Ketakutan? Kenapa dia melarikan diri? Dan apa kalian yakin itu benar-benar Michael?”
Daniella menyela dengan nada tegas. “Ya, itu dia. Kami yakin. Tapi yang aneh, dia bertindak seperti salah satu dari kami adalah ancaman baginya. Dia bahkan berteriak seolah kami ingin membunuhnya.”
Taylah berhenti mengunyah, matanya menyipit sejenak sebelum kembali bersinar ceria. “Menarik. Sangat menarik. Jadi dia ketakutan pada salah satu dari kalian, ya? Siapa, kalau boleh tahu?”
Alex menatap Daniella sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Dia tampak paling takut pada Daniella. Tapi Daniella bilang dia terlihat takut pada kita semua.”
“Paling takut pada Daniella, ya?” Taylah tersenyum kecil, lalu menatap Daniella dengan tatapan menilai. “Is there something you want to tell us, Daniella?”
“Jangan mulai,,” gumam Daniella ketus, tampak tidak nyaman. “Aku tidak melakukan apa pun. Dia hanya paranoid.”
“Tenang, aku hanya bercanda,” jawab Taylah sambil melambaikan tangan. Kemudian ia menghela napas sambil memandang dengan nada yang sedikit kecewa dan menyesal. “Sayang sekali aku tak bersama kalian waktu itu. Aku yakin pengejaran itu lebih seru kalau aku ikut.”
“Percayalah, itu lebih melelahkan daripada seru,” Alex memotong, menggelengkan kepala.
“Bagaimana kabar pencarian para polisi?” tanya Daniella, menyandarkan dagu pada telapak tangannya. “Kami sudah melaporkan ini dengan lengkap.”
“Dan dari apa yang kuketahui tentangmu, seharusnya kau punya akses pada data kepolisian, seharusnya kau tahu perkembangan dari kantor polisi tentang pencarian terhadap Michael,” ucap Tristan yang mengingatkan mengenai apa-apa saja yang Taylah mampu akses.
Taylah menarik napas dalam. “Tidak banyak perkembangan. Michael tidak punya keluarga atau tempat tinggal selain kampus dan asrama. Dia tumbuh di panti asuhan, jadi tidak ada tempat lain yang bisa kita cari. Situasinya jadi lebih rumit.”
Shirley tampak berpikir keras. “Kalau begitu, dia pasti masih berada di sekitar sini. Mustahil dia melarikan diri jauh hanya dengan berjalan kaki.”
“Tapi kita sudah menyisir seluruh kampus,” Alex menambahkan, suaranya penuh keraguan. “Apa mungkin ada tempat yang belum kita periksa?”
Daniella mengangkat bahu. “Kalau ada, aku tak bisa memikirkannya sekarang. Kurasa kita butuh bantuan lebih banyak.”
Lalu, pada saat itulah, Taylah seolah teringat dengan alasan kedatangannya menemui mereka, ia memakan apel yang dirinya bawa sampai habis, lalu bergegas bicara pada mereka. “Omong-omong, aku datang menemui kalian bukan hanya sekarang menyapa dan bertanya-tanya soal kejadian kemarin. Ada hal yang ingin kuperlihatkan pada kalian.”
“Dan apa itu?” tanya Alex penasaran.
“Ayo kita ke kamar Shirley lagi.” Taylah tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata dan menggigit bibir bawahnya.
“Untuk apa?!” seru Shirley. “Dan jangan mengatakannya dengan gelagat seperti itu!”
Di dalam kamar Shirley, Taylah duduk di depan laptopnya, matanya terpaku pada rekaman CCTV yang telah ia akses melalui koneksi khusus. Shirley, Daniella, Tristan dan Alex berdiri di belakangnya, menunggu dengan cemas sementara Taylah memutar ulang cuplikan video dari malam pembunuhan pertama. Inilah yang ingin gadis itu tunjukan pada mereka.
“Kenapa kita melihat ini lagi?” tanya Alex, menyandarkan diri pada kursi dengan tangan terlipat. “Kita sudah memeriksa ini sebelumnya, berkali-kali.”
Taylah tak menoleh, hanya mengangkat satu tangan, menyuruh Alex diam. “Kita melewatkan sesuatu. Aku yakin ada sesuatu di sini yang tidak kita perhatikan sebelumnya.”
Daniella mengerutkan kening. “Seperti apa? Semua sudah jelas waktu itu, kan? Kita melihat Tony keluar dari lorong itu.”
“Persis,” jawab Taylah sambil memutar video kembali ke detik tertentu. “Kita terlalu fokus pada Tony. Aku ingin memastikan sesuatu.” Ia menekan tombol pause dan menunjuk layar. “Lihat ini. Di sudut lorong, tepat sebelum Tony masuk ke frame. Perhatikan bayangan di tembok.”
Shirley mendekat, memperhatikan layar dengan saksama. “Itu... seseorang yang berjalan, kan?”
“Ya,” jawab Taylah cepat. Ia memperbesar gambar dan memperlambat gerakan. “Lihat caranya berjalan. Ini bukan Tony.”
Alex menyipitkan mata. “Kau yakin? Itu bisa saja bayangan Tony.”
“Tidak,” Taylah menjawab dengan tegas. “Lihat langkahnya. Lebih ringan, lebih cepat. Tony punya tubuh yang besar dan berjalan agak lambat. Tapi orang ini... dia lebih kecil dan lebih gesit.”
“Dari mana kau tahu cara gerak lelaki itu dan kebiasaannya? Kau bahkan tidak di sini saat semua terjadi,” ucap Tristan yang mempertanyakan tentang hal itu.
“Hei, aku bukan amatir. Saat aku mengambil kasus ini, aku sangat totalitas. Aku sudah mencari data tentang Tony dari berbagai sumber, entah sosial media, rekaman aktivitas dan lain-lain, tak sulit untuk mengetahui semua itu,” gumam Taylah sedikit memberengut karena Tristan terkesan meragukan dirinya dan menganggap ia sok tahu.
“Wah, you make me speechless.” Shirley bergumam terkesan dengan apa yang Taylah lakukan.
Daniella menarik napas dalam. “Kalau itu bukan Tony, lalu siapa?”
Taylah tersenyum lalu memutar ulang video lagi, kali ini memajukan rekaman beberapa detik. Saat Tony muncul di layar, ia memutar video ke kecepatan normal dan memperhatikan dengan saksama.
“Itu bukan Tony,” Shirley berkata dengan nada pelan, hampir seperti berbisik.
“Benar,” Taylah menegaskan. Ia melompat ke file lain, mencari rekaman dari kamera lain yang mengarah ke pintu keluar asrama. Saat ia menemukannya, ia menunjuk layar. Daniella dan Alex menahan napas saat Taylah memperbesar video pada frame itu. Wajah yang terlihat hanya samar, tapi cukup untuk mengenalinya. Shirley menutup mulutnya dengan tangan.
“Michael,” gumamnya. “Itu Michael.”
Semua terdiam. Taylah melipat tangannya, menatap layar dengan tatapan tajam. “Jadi selama ini, Tony memang tidak bersalah. Michael berada di tempat kejadian malam itu, bukan hanya sekadar kebetulan. Tapi itu tidak langsung berarti dia pelakunya.”
“Dia mungkin hanya berada di sana. Itu tidak membuktikan apa-apa,” Alex mencoba menyangkal, meski nadanya terdengar tidak yakin.
“Memang,” jawab Taylah. “Tapi ini cukup untuk menyimpulkan satu hal dengan pasti—Tony sama sekali tidak terlibat.”
Daniella duduk dengan lemas di sofa, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. “Dan sekarang dia sudah mati.”
Kegelisahan menyelimuti mereka semua. Mereka kembali memeriksa rekaman dari sudut yang berbeda, memastikan identitas sosok itu. Setiap bukti mengarah pada kesimpulan yang sama: orang dalam rekaman itu adalah Michael, bukan Tony.
“Tony tidak bersalah,” kata Shirley dengan suara penuh penyesalan. “Kita telah menuduhnya tanpa dasar yang cukup kuat.”
Tristan menghela napas dalam-dalam. “Ini semua salah kita. Tony meninggal karena kita salah menuduhnya. Sial, kenapa kita malah baru melihatnya sekarang?”
“Itu karena pengamatanku, omong-omong,” gumam Taylah yang mengambil botol minuman seenaknya lalu minum.
“Terutama karenaku, aku yang menangkap dan menuduhnya sudah menyerang Mark,” gumam Alex yang saat itu tampak sangat bersalah.
Shirley mengangguk pelan, suaranya penuh dengan penyesalan. “Kita seharusnya menyadari ini lebih awal. Kalau kita lebih cermat... mungkin Tony masih hidup.”
“Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi,” Taylah berkata dengan nada santai, meski ada sedikit kelembutan di suaranya. Kemudian ia melambai-lambaikan tangan dengan cuek. “Tak perlu mendramatisir.”
“Hei,” gumam Daniella ketus, ia tak suka dengan sikap Taylah yang tampak acuh tak acuh.
“Sekarang kita punya petunjuk baru. Michael tahu sesuatu, dan dia ketakutan karena suatu alasan. Kita harus mencari tahu kenapa.” Taylah menaruh botol itu di meja setelah selesai bicara.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Upacara Penyambutan Berdarah (Morgana University Series)
Mystère / ThrillerPenerimaan Mahasiswa baru sudah dibuka, Morgana University berada di sebuah kota kecil, banyak rumor simpang-siur tentang bangunan ini, konon katanya sering ada kematian seolah universitas ini dikutuk. Terutama ketika upacara penyambutan, akan selal...