Jay benar-benar kalut saat melihat sang istri dibawa oleh perawat masuk ke ruangannya, tiap detik dan menit yang bisa ia lakukan hanya mondar-mandir di depan ruangan Livi, menunggu kabar istrinya tersebut.
Hatinya panas saat tak bisa melakukan perlawanan pada bosnya tersebut, padahal perjanjian mereka sebelum nya adalah agar Livi tak terluka, namun apa? Alendra sendiri yang menyakiti istrinya di depan matanya.
Jay merasa kecewa tak bisa melakukan apa-apa untuk istrinya, namun kali ini ia berjanji tidak akan kembali pada naungan Alendra dan bergerak mandiri. Tak ada lagi hubungan bos dan bawahan antara ia dan Alendra, karena saat ini juga ia akan memutuskannya.
Mengeluarkan ponsel dari dalam saku, dengan perasaan gusar ia menelpon Alendra.
"Sialan kau pak tua! Aku keluar.
Berani sekali kau menyakiti istriku, meski perjanjian sudah di tetapkan, kini aku bukan bagian dari organisasi ini lagi, selamat tinggal" Jay mematikan ponsel tersebut, bawahannya Mahen datang membawa keperluan Livi."Tuan maaf saya terlambat" sesal Mahen. Jay hanya menatap pria tersebut dan kembali duduk menunggu dokter dan perawat keluar.
Satu jam kemudian, benar saja.
Dokter keluar bersama seorang perawat."Bagaimana keadaan istri saya?" Tanya Jay.
"Istri anda mengalami benturan di kepala nya, dan beberapa luka di kaki dan tangan. Kepalanya sedikit bocor namun tak parah" ujar Dokter.
"Jadi sekarang istri saya sudah bisa di lihat?" Tanya Jay.
"Setelah ia dipindahkan ke ruang rawat inap, boleh"
"Baik terimakasih" dokter pamit, Jay menyuruh mahen menyelesaikan administrasi, sedang ia mengikuti Livi yang di bawa oleh beberapa perawat untuk pindah ruang.
"Jika butuh sesuatu, bisa tekan bell yang ada di samping ranjang ya tuan" ujar seorang perawat. Jay mengangguk. Mereka pergi meninggalkan Jay dan Livi.
Jay duduk di tepi ranjang/brankar Livi, menggenggam tangan tersebut dan mencium nya.
"Maaf sayang..." Gumam Jay. Ini salahnya, semua ini terjadi karena ia menyetujui permintaan Alendra meski ia tahu Alendra adalah orang yang berbahaya.
"Bangun sayang... Aku minta maaf, sakit ya?" Tanya Jay. Satu tangannya mengelus kepala Livi.
Pagi tadi, mereka masih sarapan dan bercanda tawa bersama, tapi sekarang istrinya sudah ada di atas ranjang rumah sakit.
"Honey... " Jay mencium pipi istrinya tersebut, tak puas hanya memandang wajah istrinya yang masih tampak cantik dengan wajah polos dan keadaan tertidur.
"M-mas..." Desisan tersebut terdengar di telinga Jay. Ia kaget melihat sang istri yang sedari tadi ia tunggu kesadaran nya akhirnya sadar juga.
"Sayang! Kamu udah bangun? Mana yang sakit? Mau apa?" Tanya Jay beruntun. Livi tersenyum.
Kepanikan Jay adalah tanda kekhawatiran pria tersebut.
"Aku gapapa, boleh minta air?" Pinta Livi. Jay memberikan sebuah gelas berisi air pada Livi.
"Kamu yakin gapapa? Aku panggil dokter ya?" Livi menggeleng.
"Aku gapapa" mengusap rahang suaminya, hal itu membuat Jay hampir melelehkan air mata, mungkin ini adalah salah satu tanda bahwa ia lega.
"Aku khawatir" tak tahan ia memeluk istrinya yang masih berbaring di ranjang, air matanya meleleh.
Livi tersenyum, sebegitu khawatir nya suaminya padanya. "Liat aku gapapa kan?" Tanya Livi.
"Kamu luka, kepalanya juga bocor. Di mana letak gapapa nya?" Kesal Jay.
Livi mencoba mendudukkan dirinya, berharap jika suaminya melihat ia duduk kekhawatiran nya akan berkurang. Namun hal itu malah membuat Livi kelihatan imut, badan kecil itu berusaha keluar dari kukungan seorang gapura kabupaten yang besar, jelas sulit.
"Mas berdiri dulu" kekesalan Livi akhirnya keluar juga. Jay tertawa telah bisa membuat istrinya itu kesal.
"Iya istriku yang kecil..." Goda Jay.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Time And Him /Liviana Live Two
Fiksi Penggemarseorang ahli psikolog yang harus bertransmigrasi ke tubuh seorang wanita yang sudah bersuami dan memiliki satu anak laki-laki.