ch 20 : th's pov | menunggumu di peron 9 dan ¾

138 21 43
                                    

"Berhentilah mengacau Ji-ah!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Berhentilah mengacau Ji-ah!"

"Aku tak melakukan apapun!"

"Jangan berbohong! Kau bergabung ke perusahaan itu untuk menjadi penyanyi, bukan? Dengan begitu kau bisa mengumbar kenyataan bahwa kau memiliki anak bersamaku! Oh betapa liciknya kau!"

"Tidak- aku tak akan melanggar perjanjian kita! Aku hanya ingin-"

"Fakta bahwa kau dengan bangganya membiarkan wajahmu terekspos oleh dunia luar itu membuatku marah!"

Aku menutup telingaku rapat dan meringkuk di bawah kasur. Selain perdebatan, aku juga mendengar suara barang yang pecah dan teriakan eomma yang terdengar begitu menyakitkan. Jantungku berpacu. Tak terasa air mata juga mengalir di wajahku. Aku tak akan pernah terbiasa dengan pertengkaran ini.

Harusnya aku keluar dan melindungi eomma. Harusnya aku menghentikan pria yang ku sebut sebagai appa itu. Harusnya aku tak menutup telingaku seolah tak mempedulikan apapun yang terjadi di luar. Aku begitu egois.

Tak tau sudah berapa lama, tapi suara pertengkaran itu telah hilang-seperti tak terjadi apa apa. Aku mendengar suara klakson dari mobil appa yang tampaknya mau pergi ke suatu tempat. Dirasa sudah aman, aku memberanikan diri keluar kamar.

Suasana rumah sangat kacau. Banyak pecahan kaca dan tak ada satupun barang berada di tempatnya. Aku melihat para maid sibuk berlalu lalang membersihkan kekacauan.

Salah satu diantaranya menepuk bahuku. Itu kepala pelayan yang membantu kami semenjak aku kecil. Wajah kepala pelayan itu tampak muram. Sesuatu yang ragu untuk diucapkan, namun akhirnya diungkapkan, "Nyonya keluar dari rumah, tuan muda,"

Keningku mengerut, "Apa maksudnya itu?"

Kepala pelayan itu mengangguk takzim, "Nyonya membawa koper tadi tuan. Saya tak yakin nyonya akan pergi ke mana, tapi saya rasa nyonya tak akan kembali,"

Mataku membola. Tanpa berpikir apapun aku segera keluar rumah dan menghubungi eomma. Beberapa panggilan terhubung namun segera ditolak. Aku bingung hendak pergi kemana, tak ada tujuan yang pasti. Aku juga tak tau kemana appa pergi.

Aku mencoba bertanya pada penjaga rumah kami, namun pria itu tampak menghindari pertanyaanku. Rasa takut melingkupi hatiku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kemana eomma akan pergi? Apakah eomma benar benar akan meninggalkanku?

Aku hidup hanya karena eomma. Wanita yang membesarkanku dengan ketulusan dan kasih sayang, serta mengajariku cara bernyanyi. Jika bukan karena eomma, mungkin aku tak akan menjadi trainee di perusahaan besar seperti BigHope.

Tak ada kendaraan, aku memanggil taksi untuk membawaku ke rumah keluarga eomma. Aku tak yakin apakah eomma akan pulang ke rumah keluarganya, karena setauku keluarga eomma juga tak menerima putri mereka yang telah memiliki anak haram dengan seorang pria.

Semua salahku. Jika saja aku tak lahir, mungkin eomma tak akan kesulitan. Mungkin eomma masih diterima keluarganya atau meraih mimpinya sebagai penyanyi. Jika saja aku lebih berani, mungkin aku bisa membantu eomma dari kekerasan yang appa-ku lakukan.

One DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang