I

9.3K 419 12
                                    

[This part was written by sireneyes]

Pesta berlangsung dengan meriah dan Cyro Sexton berputar-putar di kursi putar di belakang meja kerja. Menatap pintu yang memisahkan kamar tidurnya dengan ruangan lain di rumah itu. Suara musik rock yang memekakan gendang telinga berdentum memenuhi ruangan. Dentum bas menggetarkan dinding seperti kakek tua kelelahan yang mencari tempat untuk berbaring.

Kepalanya seakan dipukuli dan perutnya melilit. Cyro menyerah pada kondisi tak terelakkan itu. Tidak akan mungkin ia bisa menyelesaikan pekerjaan apapun saat ini. 

"Thanks a fucking lot, Edwin Davies." gumamnya dan melemparkan bolpoinnya ke buku catatan yang ada di hadapannya. Cyro membiarkan kepalanya bersandarkan ke belakang, memandangi langit-langit lewat matanya yang tegas dan mengucapkan sumpah serapah lagi untuk mantan kekasihnya. 

Mantan kekasihnya bukan hanya penipu dan tukang selingkuh. Oh, bukan. Tidak cukup hanya dengan meniduri sahabatnya dan Tuhan tahu berapa banyak wanita-wanita dan pria-pria lain di Chicago karena dia seorang biseksual, Edwin ternyata bajingan kelas satu. Sebelum Cyro menyadarinya, Edwin telah mengosongkan rekening bank Cyro dan rekening bank pria itu sendiri. Ia juga mencuri mobil Cyro. Kalau Cyro punya anjing, mungkin Edwin sudah menendangnya juga.

Ia tidak bisa tinggal di Chicago lagi. Tidak dengan semua orang yang menatapnya, berbisik membicarakannya, dan bertanya-tanya bagaimana mungkin pria cerdas seperti dirinya bisa sangat bodoh. Cyro menarik napas panjang dan mengingatkan diri sendiri bahwa pindah ke Budapest merupakan keputusan yang tepat. Meskipun ia harus meninggalkan kedua orangtua dan adik perempuannya. Ia berada di kota baru, dengan pekerjaan baru, dikelilingi orang-orang yang cukup beruntung karena belum pernah mendengar tentang Edwin Davies.

Tidak ada lagi ruangan bersekat di pinggiran kota untuknya. Sekarang ia berbagi rumah kuno dengan tiga orang wanita yang menjadi teman baiknya. Dan, ia sedang meniti kembali karier lamanya. Karir yang telah menyokong Edwin saat laki-laki itu menumpang di bawah naungan atapnya. Harapan Cyro saat ini adalah agar Edwin terserang kanker kulit di seluruh tubuhnya karena berjemur telanjang di bawah sinar matahari dengan Megan, mantan sahabatnya.

"Di hidungnya." Cyro membayangkan sambil tersenyum.

"Dia harus mendapat jerawat besar di hidungnya. Atau mungkin di bagian tubuhnya yang lain yang sangat ia banggakan. Yeah. Dan sesudahnya, itu akan membusuk dan lepas dari badannya. Bagian tubuhnya, bukan jerawatnya. Pelan-pelan dan menyakitkan." 

Dan kutukan-kutukan itu terus berlanjut, tapi kutukan ini adalah salah satu yang terbaik, pikir Cyro, sambil membayangkan Edwin berdiri tak berdaya memandang bagian tubuh yang dibanggakannya perlahan luruh, lepas, dan jatuh ke pasir. Dan untuk Megan, si wanita jalang pengkhianat, dengan dia berhubungan dengan Edwin saja sudah merupakan kutukan. Cyro menghembuskan napas dan mendengus.

"Ini bagus untukku." 

Dua tahun setelah Edwin menghancurkan hidupnya, Cyro dapat melihat sisi lucu dari kejadian yang menimpanya. Kira-kira begitu. Harga dirinya terguncang sedikit—baiklah, sebenarnya hancur, terinjak-injak, dan terludahi—namun, begitu Edwin menyingkir dari hidupnya, ia terpaksa mengakui bahwa ia tidak terlalu kehilangan pria itu. Jadi, apa kata-kata yang bisa menjelaskan kondisinya ini?

Cyro menggeleng. Sudahlah, sudah terlambat untuk mengintropeksi diri. Sebaliknya, ia sudah menghabiskan persediaan Coklat Hersheynya di kulkas. Ia bangun dan berjalan ke pintu kamarnya, menuju lorong yang menghubungkan kamar dengan dapur. Kamar terpisah yang ia tempati di rumah itu terletak di bagian belakang bangunan, memberinya privasi yang sangat ia sukai.

Immortal (LGBT) {INCOMPLETE} [OLD VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang