III

4.3K 306 3
                                    

[This part was written by sireneyes]

Dengan semangat dan riang gembira, kedua makhluk itu mengitari rumah tua ini. Musik merasuki mereka, menari-nari di nadi mereka, berdentum di kepala mereka. Rasa lapar menggelegak dalam diri mereka. Menuntut sebuah pembebasan.

Terlalu banyak pilihan. Kedua makhluk itu bergerak dalam keramaian. Tak terlihat dalam kerumunan. Jari-jari mereka menulusuri tubuh-tubuh menggiurkan. Napas mereka yang panas menyapu kulit-kulit yang basah oleh keringat. Tangan mereka merindukan pedang.

Sebentar lagi. Mereka menatap satu sama lain.

Sebentar lagi darah akan mengalir. Kental. Dan  pekat. Sebentar lagi, perburuan akan kembali dimulai. Dan kali ini, tak akan ada yang bisa menghalangi mereka. Tidak oleh Hunter itu sekalipun.

Di belakang mereka, pintu dapur terbanting membuka. Membuat dentuman musik dan percakapan melengking serta tawa dari pesta itu menyergap. Cyro melihat dari melaui bahu lebar pria tampan di hadapannya, ke wanita berambut merah yang tersenyum lebar padanya dari pintu.

“Cyro! Kau bersama seorang pria? Kau hebat!” pekiknya yang tiba-tiba dia menutup mulutnya dengan satu tangan dan meringis malu.

“Aku berkata terlalu keras ya?” dia bertanya ragu-ragu.

“Oh, ya…” sahut Cyro. Dagunya menunjuk dadanya. Mary selalu masuk ke ruangan pada saat yang salah. Atau ini saat yang tepat? Cyro tidak yakin lagi.

“Maafkan aku.” kata Mary sambil mengangkat bahu untuk menunjukkan rasa malu, “Terlalu banyak minum anggur kurasa.”

“Tidak masalah.” Cyro tersenyum datar pada teman serumahnya, sadar bahwa ia seharusnya lega karena wanita pirang itu menerobos ke sini. Lalu mengapa aku tidak lega? Pertanyaan bagus, pikir Cyro dan mencari-cari jawaban.

Beberapa bulan lalu, ia mencoba semua strategi yang ia tahu untuk mewawancarai tokoh superkaya misterius di Budapest. Ia belum bisa menerobos anjing-anjing penjaga pria itu—para pengacara. Sekarang pria itu di sini—tampak luar biasa, pencium ulung, dan mungkin orang giladi dapur rumahnya. Ia bahkan tidak tahu apa yang ia pikirkan tentang pria itu. Tampan, tentu saja. Menggairahkan, tidak diragukan lagi. Namun pria macam apa yang membawa pedang dan menyusup ke pikiran orang lain?

Dengan semua pertimbangan yang ada, Cyro seharusnya merasa takut berduaan saja dengan pria itu. Namun, satu-satunya yang ia khawatirkan saat ini adalah moralnya—yang jujur saja, sudah lenyap sejak dulu.

Lagi pula, jika Harry D’Vasquez berniat membunuhnya, pria itu dapat melakukannya saat mereka berciuman. Cyro bergetar mengingat ciuman itu dan meredam hasrat untuk melakukannya lagi. For goodness’s sake! Apa yang sebenarnya terjadi?

“Jadi…” kata Mary memulai percakapan, menunjuk Harry dengan dagunya sambil berbicara pada Cyro, “siapa temanmu ini?”

“Dia bukan temanku.” bantah Cyro. Menatap Mary, lalu menatap Harry, dan kembali menatap teman serumahnya. Hanya beberapa saat lalu ia khawatir karena berduaan saja dengan pria itu. sekarang, ia nyaris menyesali kedatangan Mary di situ.

“Aku baru bertemu dengannya.” kata Cyro, menghindari menyebut nama Harry pada Mary karena beberapa alasan tertentu.

Sebelah alis tebal Mary tarangkat dan dia tersenyum lebar.

“Kemajuan yang bagus Cy.” Cyro mengernyit akan nama pangilannya itu.

“Oh ya, aku hebat.” gumam Cyro masam. Kembali memandangi Harry yang ada di hadapannya.

Immortal (LGBT) {INCOMPLETE} [OLD VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang