Dengan perasaan kesal bercampur jengkel yang menyesakkan dada, Harry memasuki kastil. Ia tidak bermaksud melakukan semua hal itu pada Cyro. Menyentuhnya, merasakan pria itu, dan menyerah pada gairahnya. Ia juga tidak bermaksud untuk menyelami pikiran Cyro sehingga ia bisa melihat keluarga dan sahabat pria itu. Kasih sayang yang terjalin di antara mereka mengingatkan Harry kembali bahwa ia tidak pernah mengenal kasih sayang yang seperti itu.
Selama beratus-ratus tahun, ia tidak pernah sekalipun membiarkan dirinya terikat pada manusia. Harry tahu kehidupan manusia itu terlalu singkat. Membuka diri untuk persahabatan maupun kasih sayang hanya akan memicu timbulnya kepedihan. Harry sudah cukup memahami kepedihan seperti apa itu dan ia sama sekali tidak berniat untuk merasakannya. Lagi.
Sayangnya, baru beberapa waktu yang lalu ia melanggar prinsipnya gara-gara Cyro Sexton. Mengetahui bahwa kekuatannya semakin menguat karena perlakuannya pada Cyro, menyulut amarah dalam diri Harry. Marah atas segala yang ia dapatkan dari momen kebersamaannya bersama Cyro. Dulu ia bukan laki-laki lemah yang bergantung pada kekuatan orang lain, tapi sekarang ia bahkan tidak bisa melakukan apapun tanpa bergantung pada Cyro. Harry tahu kalau kebersamaannya dengan Cyro sangat berharga meski itu mengusik hati dan pikirannya. Harry yakin jika Cyro terus berada di sampingnya dan membiarkan ikatan takdir mereka terjalin sempurna, maka para makhluk biadab buruannya akan segera tertangkap.
Harry menyusuri lorong kastil dengan raut wajah gusar. Ia berjalan menuju dapur, datu-satunya tempat di mana ia bisa menemukan Dylan. Mantan anggota Navy itu selalu lapar. Harry membanting pintu ayun di dapur sampai terbuka. Pandangannya berhenti pada Dylan yang sedang duduk sambil memegang iga bakar dan sepiring besar daging ayam yang bahkan porsinya jauh lebih banyak dibandingkan saat makan malam tadi.
“Apakah pria itu membuatmu marah?” tanya Dylan sekilas setelah melihat raut wajah Harry.
“Dia bukan urusanmu.”
“Dia mate-mu kan?” tanyanya lagi sembari memenuhi kedua tangannya dengan iga dan ayam. Laki-laki itu tetap makan sambil bersandar menunggu Harry menjawab pertanyaanya. Harry mengernyit, mendadak ingat kalau Dylan pernah berbicara pada Sean.
“Sean memang tidak pernah bisa menutup mulutnya.” gerutunya.
“Hei, bukankah persoalan tentang mate juga pelajaran yang harus aku tahu tentang Hunter?” Dylan membela Sean dan dirinya sendiri dengan raut wajah geli dan memuat Harry semakin jengkel.
“Mate hanyalah legenda yang penuh omong kosong.” tandas Harry cepat. Ia menolak untuk mengingat kekuatan dan energi yang mengaliri tubuhnya saat menyentuh Cyro dengan intens. Ia juga menolak mengakui kemungkinan peningkatan kekuatan yang ia miliki jika ia bercinta dengan Cyro. Ia tidak ingin membayangkan pria itu menggeliat penuh gairah di bawah tubuhnya. Ia tidak ingin melihat Cyro merintih dan memohon padanya. Ia tidak mengingikan semua itu.
“Omong kosong? Ha! Omong kosong yang kau katakan tidak seperti kenyataan yang kulihat.” komentar Dylan sambil mengayunkan iga bakar di tangannya untuk memberi penekanan.
“Aku bisa melihat ada sesuatu yang terjadi di antara kau dan pria itu bahkan jika aku menutup mata.” Dylan terkekeh pelan, tidak ingin tersedak tapi tetap ingin mengusik Harry, “Aku merasa perlu sebotol brandy setiap kali melihat kau memandangi pria itu.”
Harry menyipitkan matanya dan mendengus kesal. Tapi sama seperti Cyro, Dylan tidak merasa terintimidasi oleh tatapan pria itu.
“Jadi, bisa kusimpukan kalau legenda omong kosong yang kau katakan jauh lebih nyata.” tambah Dylan masih sambil tertawa, ”Tapi asal kau tahu saja, aku tidak berniat mencari seorang wanita untuk menemaniku selamanya. Tidak pula untuk seorang pria cantik seperti Cyro-mu itu. Hubungan terlama yang pernah kujalani hanya berlangsung beberapa bulan. Satu pasangan untuk selamanya? Tidak, terima kasih.”
Meskipun otak Harry menyetujui pemikiran Dylan, tapi tubuhnya meneriakkan kebutuhannya akan diri Cyro. Tangannya gatal ingin menyentuh pria itu. Darahnya berdesir hanya dengan berada di dekatnya. Dorongan gairah yang bergolak di dalam dirinya bahkan sanggup membuatnya menaiki tangga menuju kamar Cyro. Alih-alih Harry menahannya dan berjalan menuju pintu belakang. Pintu yang mengarah ke halaman belakang dan garasi yang berkapasitas lebih dari sepuluh mobil.
“Tetap awasi dia.” kata Harry sembari menatap lekat mata Dylan.
“Kau mau pergi berburu?” tanya Dylan.
“Ya.”
“Kau yakin tidak ingin mengajakku juga?”
“Kau tahu peraturannya Dylan, buruanku tidak bisa jadi buruanmu juga. Waktu berburumu akan segera tiba. Percayalah”
“Tidak ada yang bilang kau tidak boleh membawa bantuan.” sanggah Dylan dengan menghendikkan bahu.
Memang benar, lebih dari sekali para Hunter saling bekerja sama saat berburu. Tapi pada akhirnya, hanya satu Hunter yang bisa menangkap satu buruan. Harry menghela napas.
“Lebih baik kau tetap di sini. Menjaga Cyro.” tatapan mata Harry meminta Dylan untuk tidak membantahnya.
“Yeah… baiklah.” Dylan mengangguk malas, “Aku akan menjaganya. Kau bisa mengandalkanku.”
Harry tidak mninggalkan Cyro—dan itu justru menjadi alasan kuat kenapa ia harus menjaga jarak dari pria itu.
“Aku memang mengandalkanmu.” tegas Harry lalu berjalan keluar sembari membanting pintu di belakangnya hingga menutup.
☆
Kesenangan.
Kegembiraan karena bebas menjelajahi dunia yang penuh dengan tubuh yang menunggu untuk di bantai. Siapakah yang harus ia pilih? Kalau bisa ia tidak ingin memilih di antara tubuh-tubuh indah itu. Laki-laki muda di hadapnnya masih menarik perhatiannya, meskipun ada wanita berambut coklat di dekat laki-laki itu yang tak kalah menggiurkannya.
Tapi ia sudah pernah menikmati penderitaan tubuh seirang wanita, dan nampaknya laki-laki itu jauh lebih menggugah seleranya malam ini. Variasi. Ia menginginkan variasi. Dalam melakukan pekerjaan yang menyenangkan seperti ini diperlukan variasi sebagai kunci kepuasan. Ia mendekat ke laki-laki muda itu dan berbisik lirih di telinganya. Dengan energi sihir penghipnotis di dalam suaranya, ia menawarkan ajakan yang tak mungkin bisa ditolak.
“Maukah kau menemaniku menikmati secangkir kopi setelah ini?”
Laki-laki itu menoleh padanya. Iris bola matanya tampak berbinar oleh efek sihir ketika menatapnya. Seulas senyum tersungging di bibir laki-laki muda itu. Ia mengangguk menerima tawaran sang vampir. Sama sekali tidak menyadari apa yang sedang ia hadapi. Tidak menyadari kalau malam ini akan menjadi malam terakhirnya. Bahwa sebelum matahari menampakkan diri di cakrawala, laki-laki itu akan meneriakkan permintaan untuk segera mengakhiri penderintaannya.
Sungguh menyenangkan. Mungkin di abad dan dimensi ini, ia bisa menemukan Pengantin baru.
☆
Harry menyusuri jalanan sepi di kota. Memasuki setiap lorong maupun sudut kumuh dan pelataran toko. Ia bahkan memeriksa setiap bayangan yang terbentuk dari lampu neon. Berharap menemukan jejak energi di tempat-tempat yang ia lalui. Harry juga berbicara pada para penghuni malam, mengajukan pertanyaan tentang tanda-tanda kehadiran makhluk lain dan tetap tidak mendapat petunjuk apapun tentang jejak makhluk-makhluk terkutuk itu.
Ketika ia masih berada di kastil, ia sangat yakin dapat menemukan mereka dalam sekejap mata. Tapi sekarang, keraguan menjalar dalam dirinya dengan keheningan lembap dari kabut dini hari yang berembut dari bukit.
Harry menghirup udara, mencari-cari aroma yang bisa menuntunnya menuju buruannya. Saat kota itu tetap menyembunyikan rahasianya, Harry memutuskan untuk kembali berkendara menuju bukit. Harry berharap ia akan menemukan makhluk-makhluk itu di sini—di suatu tempat di perbukitan gelap yang diselimuti bayangan yang cukup luas untuk menyembunyikan segala macam rahasia.
☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Immortal (LGBT) {INCOMPLETE} [OLD VERSION]
Paranormal♠ SILAHKAN BACA VERSI REVISI YANG SUDAH TAMAT DI AKUN @ksnapdragon ♠ Ketika bertemu dengan Cyro Sexton, Harry D'Vasquez tahu bahwa ia akhirnya telah menemukan mate-nya. Setiap kali mereka bersama, ikatan diantara mereka berdua terjalin semakin erat...